Teras Ilmu di Probolinggo, Ketika Mahasiswa Menyulut Api Pendidikan dari Pelosok Desa

TIMESINDONESIA, PROBOLINGGO – Di antara gemerlap digitalisasi yang kadang menyesatkan langkah anak-anak bangsa, sekelompok mahasiswa justru memilih jalan sepi: membumikan ilmu dari teras sederhana, di sebuah desa bernama Asembagus, Kecamatan Kraksaan, Kabupaten Probolinggo.
Mereka datang bukan membawa gelar, apalagi gaji. Hanya semangat, papan tulis pinjaman, dan niat tulus yang tak bisa dibeli. Rayon M. Hatta, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UNZAH Genggong, menjadikan malam-malam mereka sebagai ruang berbagi cahaya pengetahuan.
Advertisement
Kegiatan ini telah berlangsung sejak awal April lalu. Setiap Jumat hingga Minggu, selepas Maghrib hingga menjelang Isyak, puluhan anak-anak dari berbagai jenjang. PAUD, SD hingga SMP, berbondong-bondong ke basecamp mahasiswa yang terletak di desa itu.
Bukan untuk bermain gadget, melainkan belajar mengeja huruf, membaca doa, hingga menanamkan nilai-nilai hidup lewat pelajaran agama dan salat berjamaah.
Tak hanya belajar membaca, para mahasiswa juga mengajar Matematika, Bahasa Indonesia, dan pelajaran Agama. Jika anak-anak membawa tugas dari sekolah, mereka akan mengerjakannya bersama-sama di bawah bimbingan para mahasiswa. Suasana belajar dibuat menyenangkan, penuh canda namun tetap serius. Anak-anak merasa lebih percaya diri.
Bahkan sempat seorang ibu merasa heran ketika anaknya mampu mengerjakan PR dengan baik. Bukan karena dikerjakan oleh mahasiswa, melainkan hasil dari semangat belajar anak itu sendiri yang makin tumbuh sejak rutin mengikuti kegiatan ini.
Semua ini bermula dari sebuah percakapan kecil namun menggugah. Afi, seorang anak berusia 8 tahun, menatap mahasiswa yang sedang membaca buku kaderisasi, lalu bertanya dengan polos, “Kak, baca apa? Saya ingin bisa baca buku, tapi belum bisa,” ujarnya.
Pertanyaan sederhana itu menyentak nurani. Sejak saat itu, mahasiswa Rayon M. Hatta tak lagi sekadar menjadi aktivis kampus. Mereka menjadi guru. Menjadi kakak. Menjadi harapan.
“Awalnya hanya dua menit belajar, tapi dari situ kami sadar, anak-anak ini butuh ruang belajar yang mendukung,” ujar Syauqi Alaika Rahman, Ketua Rayon M. Hatta, sekaligus penggagas kegiatan ini.
Tak ada anggaran dari kampus. Tak ada gaji dari pemerintah. Semua dikerjakan swadaya oleh 30 anggota rayon. Papan tulis, spidol, dan penghapus pun masih pinjam dari Komisariat PMII. Namun semangat itu tak bisa dipinjam, ia lahir dari nilai dasar pergerakan (NDP), dari keyakinan bahwa perubahan besar selalu dimulai dari langkah kecil.
Saat ini, pengajar utamanya adalah Aldi, Firda, dan Syauqi sendiri. Jika ketiganya tengah sibuk, anggota rayon lainnya pun siap menggantikan tanpa pamrih. Kegiatan ini menjadi bentuk komitmen kolektif, bukan sekadar program individu.
Kehadiran mereka pun membawa arti besar bagi warga. Para ibu di desa merasa sangat terbantu dengan adanya kegiatan ini. Tak jarang mereka membawakan makanan sebagai bentuk terima kasih kepada para mahasiswa. Bahkan ada yang rela ingin membayar mereka, namun dengan tegas para mahasiswa menolak. Bagi mereka, ini adalah bentuk pengabdian, bukan ladang mencari upah.
Syauqi menyampaikan harapannya dengan nada tegas namun penuh empati. “Kami ingin anak-anak ini tumbuh dengan kecintaan terhadap ilmu. Kami juga berharap pemerintah Kabupaten Probolinggo lebih memperhatikan kualitas pendidikan di desa-desa yang aksesnya masih terbatas,” ujarnya.
Suaranya mewakili ribuan ibu di pelosok yang memohon agar anaknya tak lagi tertinggal zaman. Seperti kata ibu Nur, salah satu wali murid kepada mahasiswa, “Cong minta tolong matorok tang anak, ajerin macah, eppa'en tak latenan,” (Nak, titip anak saya, tolong ajari anak saya membaca, ayahnya tak sabaran,) pintanya.
Moh. Andi Fauzan, ketua Komisariat PMII UNZAH pun angkat bicara. Ia menyebut kegiatan ini sebagai wujud nyata peran sosial mahasiswa Islam Indonesia. “Saya sangat mengapresiasi langkah Rayon M. Hatta. Mereka bukan hanya mengajar, tapi juga membuka gerbang baru bagi anak-anak muda desa. Ini adalah pergerakan yang sesungguhnya,” tanggapnya.
Ia pun berharap Rayon M. Hatta agar tidak berhenti di tengah jalan. “Bukan mahasiswa namanya jika tak ada pergerakan, jangan sampai berhenti di tengah jalan. Jadilah penggerak utama perubahan pendidikan di Kabupaten Probolinggo.”
Di tengah malam yang kian gelap, ilmu pengetahuan memang seperti bintang: tak mampu menyinari seluruh dunia, tapi cukup untuk jadi penunjuk arah.(*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Imadudin Muhammad |
Publisher | : Sholihin Nur |