Toksik Atmosfir, Faktor Pertama Penyebab Pandemi Baru

TIMESINDONESIA, JAKARTA – WHO telah mengumumkan pada Kamis (4/5/2023) bahwa pandemi COVID-19 telah berakhir. Namun kita harus tetap waspada terhadap ancaman merebaknya pandemi baru. Apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana mengatasinya? Berikut analisis Ge Recta Geson, founder AMRO Institute.
Sesungguhnya virus tidak akan bisa dieradikasi dari muka bumi, termasuk COVID-19. Oleh karena itu kita harus bisa hidup berdampingan dengan damai bersama COVID-19. Bagaimana caranya? Kita perlu mempelajari faktor-faktor penyebab merebaknya pandemi.
Advertisement
Empat Faktor Merebaknya Pandemi
Dari sekian banyak faktor ada empat faktor yang menjadi menjadi penentu merebaknya pandemi.
1. Lingkungan Buruk & Toksik Atmosfir
Ketika populasi melebihi daya dukung lingkungan (carrying capacity), maka jumlah oksigen akan menipis dan sebaliknya CO2 akan melimpah. Menurut seorang pakar bioteknologi lingkungan, seorang manusia memerlukan ruang sebesar 4,7m2.
Dengan perhitungan ini, planet bumi diperkirakan mampu mendukung 5,7 miliar jiwa. Di tahun 2023, populasi bumi mencapai 8,04 miliar jiwa. Berdasarkan kalkulasi daya dukung tersebut, jelas jumlah ini melampaui daya dukung bumi.
Pertumbuhan penduduk seperti deret ukur menghasilkan limbah organik dan anorganik. Jika tidak dikelola dengan baik limbah organik akan membusuk dan menghasilkan gas-gas beracun dan berbau busuk seperti amoniak (NH3), metana (CH4), dan H2S. Serta bahan toksik lainnya dari limbah anorganik.
Senyawa-senyawa ini ditambah dengan pestisida, desinfektan serta emisi industri dan kendaraan seperti CO, SO2, NO2, O3 akan menciptakan lingkungan yang buruk dan toksik atmosfir. Hanya bakteri patogenik dan virus yang dapat hidup di lingkungan tersebut.
Bagi manusia, bakteri dan virus ini dicap “jahat” karena menjadi penyebab penyakit yang bisa mengurangi populasi tanaman, ternak, dan manusia. Tetapi, sejatinya mereka adalah pelopor untuk membersihkan, memurnikan, dan me-reset lingkungan supaya bisa dihuni oleh makhluk-makhluk lain dalam keseimbangan ekosistem baru.
2. Agen
Strain virus baru berpotensi menjadi penyebab pandemi. Manusia sudah kebal dengan strain virus lama karena imun tubuh sudah mengenal dan membentuk antibodi untuk melawan strain virus lama.
Virus sebagai makhluk Tuhan memiliki naluri untuk meneruskan keturunan. Habitat dari binatang yang merupakan inang virus semakin mengecil karena dijadikan lahan pertanian, industri, dan pemukiman.
Oleh karena itu, virus secara alami akan berusaha untuk menginfeksi inang yang paling banyak yaitu manusia. Tetapi, proses ini diperlukan waktu ratusan tahun agar virus dapat menjadi strain baru yang bisa menginfeksi inang yang baru pula.
Pemakaian pestisida, desinfektan, dan antibiotik yang tidak rasional memberikan bahan bakar untuk virus agar dapat bermutasi dengan lebih cepat. Sebuah riset yang dilakukan oleh Holland dkk dari Universitas California di San Diego mengungkapkan bahwa virus dapat bermutasi dengan lebih cepat ketika terekspos oleh bahan kimia yang sering dipakai sebagai desinfektan.
3. Inang
Sel inang memiliki reseptor sebagai tempat menempelnya virus. Seperti ACE-2 yang menjadi reseptor penempelan COVID-19 pada manusia. Orang dengan respons imun yang lemah akan terinfeksi oleh virus. Kemudian, virus akan berkembang biak menjadi banyak dan terjadi infeksi hebat sehingga mengakibatkan kerusakan organ.
Uniknya, pada pandemi COVID-19, virus dapat menyerang orang dengan respons imun berlebihan pula. Sedikit saja penempelan COVID-19 pada paru-paru akan memancing respons imun (sitokin proinflamasi) berlebihan yang berakibat kerusakan paru-paru yaitu pneumonia dan ARDS. Kejadian inilah yang dikenal sebagai badai sitokin.
4. Pola Makan Tidak Sehat
Residu pestisida dan antibiotik pada makanan dapat merusak komunitas mikroba pada usus (mikrobiota). Hal ini dapat mengakibatkan defisiensi imun sehingga rentan terhadap serangan infeksi.
Pola makan yang tidak seimbang yang berarti tinggi lemak, karbohidrat dan kurang serat dari buah dan sayur dapat mengakibatkan terjadinya dysbiosis atau kurang keragaman mikroba pada mikrobiota usus.
Pada akhirnya, dysbiosis dapat mengakibatkan terjadinya penyakit kronis atau autoimun (respon imun yang berlebihan).
Toksik Atmosfir Faktor Pertama Penyebab Merebaknya Pandemi Baru
Dilihat dari IQAir pada 13 September 2023 pukul 17.23 WIB Indeks kualitas udara (AQI) dan polusi udara PM2,5, Indonesia masih masuk dalam 10 besar rangking kualitas udara terburuk di dunia bersama Pakistan, Israel, Qatar, India, Uni Emirat Arab, Iraq, Malaysia dan Cina. Parameter yang dijadikan Air Quality Index (AQI) antara lain particulate matter, CO, SO2, NO2 dan O3.
Kualitas udara yang buruk menciptakan toksik atmosfir sehingga menjadi lingkungan yang kondusif untuk bakteri Patogenik (bakteri yang merugikan) dan Virus yang membuat resiko penyakit infeksi meningkat bahkan lebih buruk dapat mengakibatkan merebaknya pandemi baru.
Pencegahan Pandemi yang Ramah Lingkungan dan Sustainable
Pencegahan yang ramah lingkungan dan sustainable adalah melakukan rebalancing tata kehidupan planet ini:
1. Mengendalikan pertumbuhan populasi.
2. Memperbaiki lingkungan buruk dan toksik atmosfir dengan cara:
• Mengelola dan mengurangi sampah organik supaya tidak membusuk yang akan memakan oksigen dan sebaliknya menghasilkan gas-gas beracun. Sampah organik didaur ulang secara bakterial menjadi senyawa bioaktif yang diperlukan semua makhluk hidup yaitu: asam amino, asam lemak rantai pendek (SCFA), gula, vitamin, antioksidan, enzim, dan hormon.
• Mengurangi emisi dari industri dan kendaraan bermotor.
• Detoxifikasi emisi dari industri dan kendaraan bermotor seperti CO, SO2, NO2 dan O3 secara enzimatik menjadi CO2, Sulfat, Nitrat, H2O dan O2 yang tidak berbahaya dengan menyemprotkan probiotik multistrain ke kamar, kantor dan mobil menggunakan Healthy Air Microbiome (HAM).
• Menekan bakteri patogen di udara dan menghancurkan virus dengan menggunakan HAM di kamar, kantor dan mobil.
3. Membangun Mikrobiota yang beragam dan seimbang dalam usus. Mikrobiota adalah komunitas mikroba beserta materi genetiknya yang berguna untuk kesehatan. 80% sel imun adaptive yakni Lymfosit T dan Lymfosit B dalam tubuh diproduksi oleh kelenjar getah bening usus sebagai respon terhadap mikrobiota.
Mikrobiota pula yang memodulasi respon imun/sitokin menjadi seimbang dimana tidak terjadi respons imun yang berlebihan atau rendah. Memiliki respon imun yang seimbang maka kita bisa hidup berdampingan dengan damai bersama virus.
Bagaimana membangun mikrobiota usus yang beragam dan seimbang?
• Konsumsi probiotik yang didapatkan dari makanan dan minuman fermentasi seperti tempe, tape, acar, kecap, yogurt dan kimchi.
• Konsumsi buah dan sayur. Serat yang terkandung dalam buah dan sayur merupakan makanan probiotik (prebiotik).
• Cara praktis untuk mendapat asupan probiotik yang beragam dan prebiotik adalah dengan suplementasi probiotik multistrain.
PRO EM1 adalah Suplemen Kesehatan dengan lisensi EMRO Okinawa, Jepang, yang mengandung probiotik hidup dan metabolit aktif dengan masa simpan yang panjang. Berbahan baku alam 100% asli Indonesia yang telah mendapat izin edar BPOM sebagai Suplemen dan Sertipikat Halal dari BPJPH, Kementerian Agama RI.
Healthy Air Microbiome (HAM) adalah alat nebulizer yang berisi probiotik multistrain yang hidup beserta metabolit aktifnya, disemprotkan secara berkala ke dalam kamar, kantor dan mobil dalam bentuk partikel aerosol berukuran nano. Ada 3 pengaturan, semprot setiap 1, 5 dan 10 menit.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Deasy Mayasari |
Publisher | : Rochmat Shobirin |