Gut-Brain Axis: Ketika Perut Bicara ke Otak dan Nafsu Makan Jadi Kacau

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Pernah merasa lapar terus padahal baru saja makan? Atau anak Anda menolak makan berhari-hari tanpa alasan jelas? Bisa jadi penyebabnya bukan sekadar “mood” atau “drama makan”, tapi sinyal tubuh Anda sedang terganggu—khususnya dari “otak kedua” kita: usus.
Selamat datang di dunia Gut-Brain Axis, jalur komunikasi rahasia antara perut dan otak yang mengatur rasa lapar, kenyang, bahkan suasana hati. Jika jalur ini terganggu, bukan hanya nafsu makan jadi tak menentu, tapi bisa berujung pada obesitas, stres makan (emotional eating), bahkan kondisi ekstrem seperti GTM (Gerakan Tutup Mulut) pada anak.
Advertisement
Perut Bukan Cuma Tempat Makan, Tapi Juga Pusat Komando
Gut-Brain Axis adalah sistem komunikasi dua arah antara otak (hipotalamus) dan usus, yang terhubung lewat nervus vagus—saraf utama yang membawa pesan dari perut langsung ke otak. Sistem ini didukung oleh hormon-hormon penting seperti ghrelin (hormon lapar), leptin (hormon kenyang), GLP-1, dan PYY.
Ketika sistem ini berjalan mulus, tubuh kita tahu kapan harus makan dan kapan berhenti. Tapi ketika gut microbiota (komunitas bakteri baik di usus) terganggu alias gut dysbiosis, sinyal jadi kacau. Ghrelin bisa “bisu”, leptin bisa “ditolak”, dan hasilnya: makan terus tanpa rasa puas, atau malah nggak doyan makan sama sekali.
Dysbiosis: Ketika Bakteri Jahil Mengambil Alih
Usus yang sehat (gut eubiosis) dihuni oleh mayoritas bakteri baik (sekitar 85%) yang membantu memproduksi serotonin, hormon kenyamanan yang juga bantu mengatur rasa kenyang dan emosi. Tapi ketika bakteri jahat dominan (gut dysbiosis), produksi serotonin bisa turun drastis—akibatnya, kita lapar terus, stres, bahkan makan jadi pelampiasan.
Sebaliknya, kadar serotonin yang terlalu tinggi (misalnya akibat obat atau suplemen) bisa bikin cepat kenyang dan kehilangan selera makan. Ini yang terjadi pada kasus GTM pada anak—mereka menolak makan bukan karena nakal, tapi karena tubuh mereka “merasa kenyang terus”.
GTM dan Obesitas: Dua Wajah dari Satu Masalah
Fenomena GTM sering bikin orang tua panik. Tapi ternyata, ini bisa dijelaskan lewat ketidakseimbangan hormon dan neurotransmitter yang dipengaruhi oleh mikrobiota usus. Di sisi lain, obesitas juga punya akar masalah serupa—yaitu tubuh tidak lagi merespons sinyal kenyang dengan benar. Tubuh jadi “buta” terhadap leptin dan GLP-1, akhirnya makan terus tanpa kontrol.
Solusinya? Mulai dari Perut!
Menjaga keseimbangan mikrobiota usus adalah kunci. Caranya? Cukup sederhana:
• Konsumsi probiotik dan prebiotik dari makanan fermentasi seperti tempe, yogurt, kefir, atau suplemen terpercaya.
• Kurangi gula berlebih, hindari antibiotik sembarangan.
• Jaga waktu tidur dan kelola stres, karena otak dan perut bekerja sebagai satu tim.
Studi menunjukkan bahwa intervensi dengan probiotik multistrain bisa menormalkan kadar ghrelin dan leptin, menurunkan berat badan, serta mengurangi keluhan makan pada anak-anak dan orang dewasa (John et al., 2023; Kobyliak et al., 2016).
Penutup: Dengarkan Suara dari Dalam Perut Anda
Di era ketika semua serba cepat dan praktis, kita sering lupa bahwa tubuh punya mekanisme canggih yang perlu dirawat. Gut-Brain Axis bukan sekadar konsep sains rumit, tapi kenyataan biologis yang memengaruhi cara kita hidup sehari-hari. Mulailah dari yang paling dasar: rawat ususmu, dengarkan perutmu, dan kendalikan hidupmu.
Karena bisa jadi, suara lapar dan kenyangmu bukan berasal dari otak… tapi dari mikroba kecil yang hidup di perutmu. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Dhina Chahyanti |
Publisher | : Rochmat Shobirin |