Dampak Kenaikan Tarif Impor AS terhadap Perekonomian Global dan Indonesia

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Pada 15 April 2025, Amerika Serikat (AS) mengumumkan kebijakan kenaikan tarif impor barang dari Cina hingga 245%, sebagai respons terhadap langkah balasan yang diambil oleh Cina.
Kebijakan ini dikeluarkan oleh Gedung Putih, dalam rangka meneruskan kebijakan perdagangan yang sudah diterapkan sejak masa pemerintahan Presiden Donald Trump, yaitu kebijakan "America First".
Advertisement
Keputusan ini merupakan bagian dari serangkaian tindakan yang lebih besar yang bertujuan untuk mengurangi ketergantungan AS terhadap impor dari negara-negara tertentu, terutama Cina, yang dianggap memonopoli pasar global dengan harga yang lebih murah dan praktik perdagangan yang dianggap tidak adil.
Tarik ulur antara AS dan Cina ini dimulai sejak beberapa tahun lalu, tetapi semakin memanas setelah Cina mengambil langkah-langkah balasan, termasuk menghentikan ekspor beberapa logam langka dan teknologi tinggi yang sangat dibutuhkan oleh industri di seluruh dunia, termasuk sektor militer dan semikonduktor.
Meskipun kebijakan tarif ini diberlakukan langsung antara AS dan Cina, dampaknya tentu akan mempengaruhi perekonomian global, termasuk Indonesia. Dalam konteks Indonesia, yang memiliki hubungan perdagangan erat dengan kedua negara ini, dampak dari perang tarif ini sangat signifikan. Cina telah lama menjadi mitra dagang utama Indonesia, terutama dalam hal impor barang-barang manufaktur dan bahan baku.
Kenaikan tarif yang diterapkan oleh AS terhadap barang-barang Cina dapat menyebabkan lonjakan harga barang-barang impor, yang pada akhirnya akan mempengaruhi harga barang dan jasa di pasar domestik Indonesia.
Hal ini berpotensi mendorong inflasi domestik yang dapat membebani daya beli masyarakat Indonesia, yang telah menghadapi tantangan ekonomi sejak pandemi COVID-19.
Lebih jauh lagi, perang tarif ini dapat memperburuk daya saing Indonesia di pasar global, terutama terkait dengan sektor ekspor. Sektor-sektor yang mengandalkan bahan baku atau produk dari Cina atau AS dapat menghadapi biaya produksi yang lebih tinggi akibat tarif impor yang lebih mahal.
Misalnya, industri otomotif, elektronik, dan teknologi yang bergantung pada impor komponen dari Cina, atau industri pertanian dan pertambangan yang memiliki hubungan dengan pasar AS, akan merasakan dampak langsung dari kebijakan ini. Oleh karena itu, Indonesia perlu mengambil langkah-langkah strategis agar dapat mengurangi dampak negatif dari kebijakan ini.
Di sisi lain, Indonesia juga harus menanggapi dengan hati-hati perang dagang yang sedang berlangsung. Salah satu langkah yang sangat dibutuhkan adalah penguatan kebijakan ekonomi domestik.
Pemerintah Indonesia perlu terus mendorong pengembangan sektor-sektor vital yang dapat mengurangi ketergantungan pada impor, seperti penguatan industri manufaktur dalam negeri, pengembangan teknologi lokal, dan peningkatan daya saing produk Indonesia di pasar internasional.
Pemerintah juga harus memastikan bahwa kebijakan fiskal dan moneter yang diterapkan dapat menjaga stabilitas ekonomi dalam negeri. Salah satu langkah yang dapat diambil adalah menjaga kestabilan harga barang dan jasa, serta memastikan kebijakan suku bunga yang tepat untuk mengendalikan inflasi dan mendukung pertumbuhan ekonomi.
Selain itu, Indonesia perlu lebih intensif dalam menjalankan diplomasi ekonomi untuk membuka pasar-pasar baru di luar AS dan Cina. Negara-negara di kawasan Asia dan Eropa, yang tidak terlibat dalam perang dagang ini, harus dijadikan target utama untuk memperluas pasar ekspor Indonesia.
Melalui kerjasama yang lebih erat dengan negara-negara tersebut, Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada pasar tunggal yang rentan terhadap gejolak global. Diplomasi ekonomi yang proaktif juga dapat membuka peluang bagi Indonesia untuk berperan lebih aktif dalam membentuk perekonomian global yang lebih adil dan menguntungkan bagi negara-negara berkembang.
Bank Indonesia (BI) juga harus terus memantau perkembangan inflasi dan memberikan kebijakan moneter yang tepat guna menjaga kestabilan ekonomi. Jika tarif impor AS terhadap Cina berdampak pada lonjakan harga barang-barang tertentu, BI perlu mempertimbangkan untuk menyesuaikan suku bunga demi menjaga daya beli masyarakat dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Dalam jangka panjang, kebijakan yang mendukung pengembangan sektor-sektor domestik, serta menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan daya saing produk dalam negeri, akan sangat penting untuk menjaga ketahanan ekonomi Indonesia.
Kesimpulannya, kebijakan tarif yang diberlakukan oleh AS terhadap Cina dengan tarif yang sangat tinggi, mencapai 245%, akan berdampak luas pada perekonomian global, termasuk Indonesia.
Walaupun dampaknya lebih langsung terasa pada hubungan perdagangan AS dan Cina, Indonesia harus siap untuk menghadapi tantangan ekonomi yang muncul akibat perang tarif ini.
Dengan langkah-langkah kebijakan yang tepat, seperti penguatan sektor domestik, pengembangan diplomasi ekonomi, dan pemantauan inflasi, Indonesia dapat mengurangi dampak negatif dan memanfaatkan peluang yang ada di tengah ketegangan global.
Ke depan, Indonesia harus lebih kreatif dalam mencari pasar-pasar baru, serta meningkatkan daya saing produk dalam negeri agar tetap dapat bertahan dan berkembang di tengah ketidakpastian ekonomi dunia.
***
*) Oleh : Hilma Fanniar Rohman, Dosen Perbankan Syariah Universitas Ahmad Dahlan. Peneliti ICONS.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rizal Dani |