
TIMESINDONESIA, PADANG – Sebelum ia benar-benar duduk, kursi itu sudah mulai diperebutkan. Sebelum sumpahnya terucap, tahta itu sudah diincar. Yang menjadi sorotan bukan Presiden terpilih, tapi wakilnya. Sosok yang sejak awal dianggap ganjil dalam logika konstitusi, kini dibicarakan untuk dimakzulkan.
Ironi politik Indonesia memang tak pernah kehilangan lakon. Dan kita menyaksikan satu babak baru dari drama lima tahunan yang tak pernah selesai di kotak suara.
Advertisement
Wacana pemakzulan Gibran Rakabuming Raka, Wakil Presiden terpilih 2024, menyeruak dari ruang-ruang diskusi politik, menyelinap ke kolom opini, hingga mengendap di meja-meja lembaga legislatif.
Konon, desakan itu datang dari kalangan yang masih geram pada keputusan Mahkamah Konstitusi tempo hari, yang memberi karpet merah bagi pencalonan anak presiden lewat tafsir usia yang lentur. Kini, dengan status Wapres terpilih di tangan, Gibran dianggap jadi batu sandungan bagi demokrasi yang sehat.
Yang menarik, suara pemakzulan tak menyasar Prabowo Subianto. Tidak ada wacana untuk membatalkan keseluruhan pasangan, tidak pula usulan mengulang pemilu.
Justru yang hendak “disingkirkan” hanyalah sang pendamping, sang putra mahkota. Sebuah langkah yang ganjil dari sisi hukum, namun masuk akal dari sisi kalkulasi kekuasaan.
Secara konstitusional, pemakzulan Wakil Presiden dimungkinkan. UUD 1945 Pasal 7B menyebut bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan oleh MPR atas usul DPR, jika terbukti melakukan pelanggaran hukum berat atau perbuatan tercela.
Di sinilah letak perdebatan: apakah proses pencalonan yang cacat secara etik, meski sah secara hukum positif cukup untuk dijadikan alasan pemakzulan?
Pertanyaan itu tak penting bagi mereka yang sudah mengendus peluang kekuasaan. Yang lebih menarik dibicarakan sekarang adalah: siapa yang akan menggantikan Gibran jika benar-benar dimakzulkan?
Beredar sejumlah nama yang dianggap “pantas” dan “netral” untuk mendampingi Prabowo. Dari tokoh partai besar yang merasa dilangkahi oleh pencalonan Gibran, muncul nama Airlangga Hartarto, Ketua Umum Golkar yang dulunya disebut-sebut sebagai calon kuat cawapres.
Nama Muhaimin Iskandar, yang kini menjadi representasi suara Nahdlatul Ulama dan merasa dikhianati koalisi besar, juga tak ketinggalan. Bahkan, nama Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) diam-diam mulai masuk dalam pusaran wacana.
Sebagai Menteri ATR/BPN dan Ketua Umum Partai Demokrat, AHY dianggap bisa mengisi kekosongan Gibran sembari merekatkan kembali blok Prabowo-SBY yang sempat retak selama kampanye.
Tak hanya itu, muncul pula nama-nama “kejutan” dari luar panggung politik elektoral; tokoh profesional, teknokrat, bahkan akademisi senior yang dinilai bisa menjadi figur transisi bagi kekuasaan yang tetap stabil tapi tidak terlalu berbau dinasti.
Tentu, semua ini terjadi sebelum pelantikan. Sebuah ironi besar. Sebab seorang wakil presiden yang belum bekerja sehari pun sudah dibidik keluar dari peta. Di balik dalih moralitas konstitusional, terselip hasrat kekuasaan yang tak sabar menunggu lima tahun.
Inilah wajah politik Indonesia yang sebenarnya: bukan tentang ide atau gagasan, tapi tentang posisi dan pengaruh. Kursi kekuasaan tak pernah kosong dari bidikan.
Ketika Mahkamah Konstitusi memberi ruang lewat putusan yang diwarnai konflik kepentingan, ia juga membuka celah baru bagi drama pemakzulan. Dan celah itu kini dimasuki oleh mereka yang merasa berhak merebut kembali apa yang dahulu mereka anggap dirampas.
Tapi permainan ini juga punya risiko. Memakzulkan Gibran bukan perkara sederhana. Ia bukan hanya anak mantan presiden, tapi juga bagian dari konfigurasi politik baru yang mulai ditanamkan sejak awal pemerintahan Jokowi.
Jika DPR terlalu gegabah, bisa saja yang goyah bukan hanya Gibran, tapi stabilitas koalisi Prabowo itu sendiri. Belum lagi tekanan publik yang bisa berbalik arah jika pemakzulan dianggap sekadar balas dendam politik.
Namun bagi sebagian pemain, risiko adalah bagian dari permainan. Karena dalam dunia politik, kekuasaan tak pernah mengenal jeda. Sebelum tangan menyentuh sandaran kursi, lawan sudah menyusun strategi kudeta. Dan sebelum sumpah diucap, hasrat untuk menggantikan sudah dibisikkan.
Wacana pemakzulan ini mungkin tak akan sampai ke paripurna. Tapi sinyalnya sudah terbaca: bahwa kekuasaan bukan milik pribadi, dan setiap kursi, seberapa tinggi pun, selalu punya bayangan pengganti.
Maka tak salah jika banyak orang kini menyebut dinamika ini sebagai “berebut tahta”. Sebuah perebutan yang diselimuti dalih etika, dibalut norma hukum, tapi digerakkan sepenuhnya oleh hasrat kekuasaan.
***
*) Oleh : Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rizal Dani |