TIMESINDONESIA, MALANG – Proses gugatan sengketa pemilihan umum berlangsung, maka pada saat itu juga kita akan melihat bersama–sama bagaimana Indonesia berdiri sebagai bangsa dan negara hukum serta kita juga akan tahu dimana posisi keadilan di negeri ini berada, kebenaran atau kemenangan. Para hakim tentu berada pada posisi yang cukup sulit sebab awal mula yang akhirnya menjadi rumit ketika putusan MK No. 90 disahkan lalu Gibran Rakabuming Raka secara hitungan hari dapat dikatakan sah sebagai calon pasangan dengan adanya perubahan aturan hukum tersebut.
Berbagai peristiwa dan seluruh pendapat tentang Gibran saat itu berlalu begitu saja, tidak ada bahasan yang didengar secara serius sebab semua telah terlanjur diputuskan. Sehingga akibat semua telah terlanjur ini akhirnya segalanya dapat berjalan, hal ini bisa disimpulkan bahwa secara administrasi hasil produk hukum sebagai landasan Gibran dinyatakan sah sebagai calon memang telah benar, tapi pertanyaannya apakah prosesnya juga benar?. Pada kejadian ini kita bisa sama–sama menilai bahwa putusan yang menjadi ketetapan hukum tidak berjalan sebagaimana seharusnya sehingga hilanglah integritas dan moral daripada lembaga Mahkamah Konstitusi (MK).
Advertisement
Hal tersebut menjadi benar dan meyakinkan ketika ketua MK Anwar Usman diputuskan melanggar kode etik, namun karena keputusan MK bersifat mengikat dan tidak ada kewenangan bagi MKMK pada saat itu untuk menggugurkan putusan MK No. 90 maka Gibran berlalu begitu saja. Selain itu hal yang menarik dapat kita lihat, bahwa munculnya Gibran pada posisi calon wakil bukan karena dorongan anak muda atau masyarakat tapi para penguasa dan pejabat. Tentu dari hal tersebut kita bisa bertanya apa yang sebenarnya diharapkan dari keberadaan Gibran?.
Jika jawabannya karena Indonesia butuh anak muda, bonus demografi, mayoritas anak muda, kemampuan Gibran, atau hal lainnya, bagi saya itu semua bulshit. Prasangkanya adalah kemenangan dengan menggandeng kekuasaan maka sosok itu hanyalah Gibran. Kita bisa lihat selama proses perjalanan pemilu apa yang kemudian baru dari sosok Gibran, ide? Gagasan? tidak ada yang baru kecuali soal sosok yang muda dan gaya yang khas saja, narasi dan jawaban tidak lain hanyalah pidato yang seringkali Presiden Jokowi sampaikan mulai dari hilirisasi hingga hilirisasi kembali.
Lalu pada proses sengketa pemilu yang kembali digelar sidang pada Mahkamah Konstitusi tahun 2024 ini akan menjadi sejarah yang terus diingat sebagai pelajaran, entah hasilnya akan baik atau buruk semua akan mencatat tentang dua hal. Pertama, bagaimana MK sebagai institusi mulia yang setiap putusannya selalu mengikat (semacam firman Tuhan) jatuh dan hancur lebur sebab sikap nepotisme atau yang Kedua, MK hadir memberi jawaban akan kepastian Indonesia sebagai negara hukum yang adil.
Posisi dan keberadaan Mahkamah Konstitusi sedang diuji, akankah ia kembali dilempari ujaran semacam Mahkamah Keluarga? atau akan banyak apresiasi dan senyum yang merekah pada setiap insan akademik (khususnya akademisi hukum) serta seluruh lapisan masyarakat lainnya. Rasa–rasanya MK perlu memposisikan sebagai Mahkamah Konstitusi yang menjunjung tinggi subtansi, nilai dan etika bukan mahkamah kalkulator yang hanya mengkalkulasi tentang menang dan kalah suara tapi lebih daripada itu ada keadilan dan kebenaran yang sedang remang–remang dan butuh cahaya kepastian.
Sisi lain yang perlu diperhatikan ialah tentang pasca atau setelah, mulai dari pasca putusan MK tentang sengketa pemilu nanti dan pasca kesaksian yang disampaikan oleh para saksi terkait dengan berbagai macam keterangan yang diberikan. Harus ada kepastian dan tanggung jawab keamanan pada setiap suara yang disampaikan sehingga tidak menjadi persoalan baru yang meresahkan bagi masyarakat dimana mereka juga memiliki hak keamanan, menyampaikan pendapat dan keadilan serta kesejahteraan.
Kita perlu bersama–sama mengawal dan mengembalikan serta menjunjung tinggi nilai–nilai reformasi jangan kembalikan pada keadaan dimana demokrasi hanya menjadi hiasan pada setiap kata tapi dibelakang dibelenggu oleh kekuasaan. Pemilu hanya seremonial belaka tapi dibelakang penguasa telah mengatur dan mendorong pada hasil sesuai yang diinginkan penguasa bukan masyarakat. Kita sempat membuka gerbang tentang masa depan Indonesia, hak asasi manusia, supremasi hukum dan kesejahteraan melalui reformasi maka jangan biarkan semua yang telah dibuka kembali tertutup dan negara ini berada pada posisi yang serasa maju tapi kenyataannya mundur. (*)
***
*) Oleh : Ahmad Fauzi, Mahasiswa Administrasi Publik Universitas Islam Malang
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |