Forum Mahasiswa

Di Balik Tagihan Bea Masuk yang Selangit

Sabtu, 04 Mei 2024 - 09:00 | 45.45k
Suci Rizka Fadhilla, Jurusan Ilmu Hukum, Universitas Andalas
Suci Rizka Fadhilla, Jurusan Ilmu Hukum, Universitas Andalas
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, PADANG – Dalam era saat ini, masyarakat dihebohkan dengan besarnya tagihan bea masuk atas pembelian produk luar negeri. Polemik ini mencuat ketika seorang pengguna media sosial, yang akan kita sebut sebagai X, mengungkapkan bahwa dirinya dikenai bea masuk sebesar Rp 31,8 Juta hanya karena membeli sepatu senilai Rp 10,3 Juta. Hal ini memicu kebingungan di kalangan netizen terkait besaran tagihan yang fantastis.

Menurut Jafar, bea masuk adalah pungutan negara yang dikenakan pada barang impor. Jenis-jenis bea masuk antara lain bea masuk umum, yang tarifnya tertera dalam Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI), dan bea masuk khusus seperti bea masuk anti dumping, imbalan, tindakan pengamanan, dan pembalasan.

Advertisement

Namun, yang menjadi pertanyaan adalah: Apa payung hukum yang berlaku saat ini terkait aturan bea masuk beserta denda administratif yang dikenakan? Apa alasan di balik besaran denda yang begitu fantastis?

Berdasarkan observasi daring yang kami lakukan, sebagian besar permasalahan kepabeanan lebih menekankan pada sanksi administratif. Hal ini ditegaskan oleh Direktorat Jenderal Bea Cukai yang mengomentari kasus viral tersebut, merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96 Tahun 2023 Pasal 28 Ayat (3) dan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2019 Pasal 6. Denda yang dikenakan pada pembeli sepatu disebabkan oleh kesalahan dalam pencantuman nilai pabean atau cost, insurance, and freight (CIF) oleh perusahaan pengiriman, dalam hal ini, DHL.

Undang-Undang Nomor 96 Tahun 2023 Pasal 3 Ayat (3) menegaskan bahwa importir barang kiriman bertanggung jawab atas pembayaran bea masuk, cukai, dan sanksi administratif dalam rangka impor. Ini sejalan dengan kasus yang dihadapi, yaitu sanksi administratif yang dikenakan kepada pembeli barang kiriman, sesuai dengan Pasal 3 yang disebutkan di atas.

Namun, terdapat antitesis terhadap regulasi tersebut, terutama pada Pasal 40 Huruf a Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 Tentang Cukai, yang memberikan kewenangan kepada Direktur Jenderal untuk memperbaiki kesalahan dalam surat tagihan atau surat keputusan keberatan, serta mengurangi atau menghapus sanksi administratif berupa denda dalam kasus kesalahan pencantuman nilai pabean.

Dapat disimpulkan bahwa besaran sanksi administratif dapat dikurangi atau bahkan dihapuskan oleh Direktur Jenderal Bea Cukai jika terbukti bahwa penerima sanksi melakukan kesalahan. Jika melihat kasus pembeli sepatu yang terkena denda administratif karena kesalahan perusahaan pengiriman dalam mencantumkan data, seharusnya hal ini dapat dimaklumi. 

Lebih lanjut, pembeli sepatu tidak melakukan kesalahan apa pun, kecuali menunggu kedatangan barang yang dibelinya. Jika pun dikenai denda, seharusnya ditujukan kepada pihak yang melakukan kesalahan, yaitu perusahaan pengiriman, bukan pembeli.

Sanksi administratif pada dasarnya bertujuan untuk mendorong ketelitian, kejujuran, kepatuhan, dan tanggung jawab importir dalam melakukan impor barang serta melindungi keuangan negara dari potensi kerugian akibat pelaporan yang tidak akurat dan praktik under invoicing. Ironisnya, di balik tujuan mulia tersebut, terdapat keluhan dari pembeli yang mendapat tagihan tidak wajar.

Menurut penulis, ketegasan aparat bea cukai dalam hal ini haruslah dikaji ulang terkait besaran denda bea masuk. Terlebih lagi, sudah ada aturan yang memberikan kewenangan kepada Direktur Jenderal Bea Cukai untuk mengurangi bahkan menghapus denda jika terbukti adanya kesalahan atau ketidaksengajaan dalam pencantuman nilai pabean.

Dengan demikian, penting bagi pihak berwenang untuk lebih mempertimbangkan keadilan dalam menetapkan sanksi administratif, terutama dalam kasus di mana pembeli tidak bertanggung jawab atas kesalahan yang terjadi selama proses impor.

***

*) Oleh : Suci Rizka Fadhilla, Jurusan Ilmu Hukum, Universitas Andalas

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES