TIMESINDONESIA, MALANG – Perkembangan teknologi sangat pesat yang sering dibicarakan adalah ChatGPT atau Generative Pre-trained Transformer. Sebuah teknologi yang menghasilkan kemajuan kecerdasan buatan, serta mampu menghasilkan teks yang mirip dengan tulisan manusia.
Dalam beberapa tahun terakhir, ChatGPT digunakan di berbagai bidang seperti pemasaran, pendidikan, dan jurnalisme. Kemampuannya membuat artikel, laporan, dan analisis kompleks telah mengubah cara informasi diproduksi dan didistribusikan.
Advertisement
Situasi politik di dunia, termasuk di Indonesia, saat ini sedang dinamis dan penuh tantangan. Tahun politik di Indonesia sering diwarnai isu-isu penting yang menguji integritas dan objektivitas jurnalisme. Peran media sebagai pilar keempat demokrasi sangat penting.
Media dituntut menyajikan informasi akurat, objektif, dan dapat dipercaya kepada publik di tengah banyaknya informasi yang sering bias dan menyesatkan. Dengan hadirnya teknologi ChatGPT, muncul pertanyaan: apakah jurnalisme siap menghadapi gangguan dari teknologi ini, terutama dalam konteks tahun politik?
Teknologi ChatGPT ini menawarkan peluang baru tetapi juga menimbulkan kekhawatiran terkait etika, keandalan, dan dampaknya terhadap kualitas jurnalisme. Apakah ChatGPT akan membantu jurnalis menyaring dan menyajikan informasi yang lebih baik, atau justru memperburuk masalah misinformasi yang sudah ada? Pertanyaan ini sering muncul mengingat pentingnya peran jurnalisme dalam menjaga demokrasi, terutama pada tahun politik yang penuh kepentingan.
ChatGPT memiliki berbagai fitur relevan dengan dunia jurnalisme. Seperti, kemampuan analisis data. AI ini dapat menganalisis data dalam jumlah besar dengan cepat dan efisien, mengidentifikasi pola, dan memberikan wawasan untuk mendukung penulisan artikel atau laporan. Misalnya, ChatGPT bisa memproses data survei politik dan menghasilkan analisis mendalam tentang preferensi pemilih.
Penerapan ChatGPT dalam jurnalisme sudah mulai terlihat, meski masih dalam tahap awal. Contohnya adalah penulisan artikel berita otomatis. Beberapa media internasional menggunakan AI untuk menulis laporan berita sederhana seperti laporan keuangan perusahaan atau berita kilat yang tidak memerlukan analisis mendalam.
Contoh lainnya adalah analisis data politik untuk menganalisis hasil pemilu, tren pemilih, atau dinamika kampanye, memberikan pandangan komprehensif dalam waktu singkat.
Selain itu, ChatGPT juga digunakan dalam proses pemeriksaan fakta otomatis. Kemampuannya dapat memproses dan membandingkan informasi dengan database besar supaya lebih cepat memverifikasi fakta dalam berita, juga membantu mengurangi penyebaran informasi yang salah.
Akhir-akhir ini, OpenAI merancang fitur SearchGPT dengan menggabungkan kelebihan model AI dari OpenAI, yakni memberi jawaban cepat dan tepat dengan sumber jelas dan relevan. Jurnalis dan media diberi akses terhadap purwarupa SearchGPT untuk mendapatkan umpan balik. OpenAI berencana mengintegrasikan SearchGPT dengan ChatGPT.
Dilema etis muncul ketika jurnalisme mulai bergantung pada teknologi AI seperti ChatGPT. Pengumpulan berita, yang biasanya memerlukan riset dan wawancara mendalam, bisa digantikan dengan pengumpulan data otomatis oleh AI. Beberapa media telah berhasil mengintegrasikan teknologi AI tanpa mengorbankan nilai-nilai jurnalistik.
Misalnya, The Associated Press, yang telah menerbitkan laporan keuangan yang ditulis dengan mesin sejak tahun 2016 dengan tujuan memberikan waktu kepada wartawan untuk fokus pada pemberitaan yang mendalam dalam mengumpulkan data dan menyusun laporan.
Dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan, jurnalisme kemungkinan akan semakin dipengaruhi oleh teknologi AI. Dengan perkembangan AI yang terus berlanjut dalam produksi konten akan semakin besar. Jurnalis mungkin akan lebih banyak bekerja bersama AI, menggunakan teknologi untuk mendukung riset, analisis, dan pembuatan konten.
Sementara fokus mereka akan bergeser pada tugas-tugas yang membutuhkan kreativitas, etika, dan penilaian manusia. Penggunaan AI juga dapat memperluas jangkauan berita, memungkinkan penyajian informasi lebih cepat dan personalisasi konten untuk audiens lebih luas.
Meskipun potensi gangguan dari ChatGPT cukup besar, jurnalisme dapat beradaptasi dengan berbagai cara. Salah satunya adalah dengan mengintegrasikan teknologi secara etis, di mana AI digunakan sebagai alat pendukung, bukan pengganti jurnalis.
Peran jurnalis akan tetap terus menjadi penentu dalam hal interpretasi, analisis kritis, dan pengambilan keputusan yang tidak bisa sepenuhnya dilakukan oleh mesin Mungkin ini bisa dilakukan sebatas kolaborasi saja antara manusia dan AI, di mana ChatGPT digunakan untuk tugas-tugas rutin seperti penyusunan laporan sementara jurnalis fokus pada analisis mendalam dan investigasi yang memerlukan sentuhan manusia.
***
*) Oleh : Muhammad Dzunnurain, Mahasiswa Faculty of Teacher Training and Education, English Education Department Unisma.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |