
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Tentu kita harus sepakat, bahwa pendidikan tinggi merupakan pilar utama dalam membangun peradaban. Namun, di Indonesia, alih-alih diperkuat sebagai institusi penghasil ilmu pengetahuan, perguruan tinggi justru diarahkan untuk masuk ke industri ekstraktif.
Pemerintah menawarkan skema yang memungkinkan universitas mengelola tambang sebagai solusi atas krisis pendanaan pendidikan tinggi melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).
Advertisement
Salah satu isinya adalah tentang pengaturan pemberian wilayah izin usaha pertambangan mineral dan batu bara secara prioritas bagi perguruan tinggi guna peningkatan dan pembangunan kualitas pendidikan nasional.
Aturan ini tertuang dalam Pasal 51 (a) yang menyatakan, pemberian wilayah izin umum pertambangan mineral logam kepada perguruan tinggi dengan cara prioritas dengan pertimbangan luas wilayah izin usaha pertambangan mineral logam, akreditasi perguruan tinggi, dan untuk peningkatan akses dan layanan pendidikan bagi masyarakat.
Pertanyaannya, apakah RUU tersebut benar-benar solusi atau hanya strategi untuk menutupi kegagalan negara dalam mendanai pendidikan?
Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed menegaskan bahwa pendidikan harus bersifat membebaskan dan tidak boleh tunduk pada kepentingan kapitalisme atau kekuasaan yang menindas.
Pendidikan bukan sekadar proses akademik, melainkan alat emansipasi yang memungkinkan manusia berpikir kritis dan berdaya. Sayangnya, ketika universitas dipaksa masuk ke dalam lingkaran industri ekstraktif, pendidikan kehilangan perannya sebagai alat pembebasan dan justru menjadi bagian dari sistem yang memperkuat ketimpangan.
Keputusan pemerintah untuk memberikan hak kelola tambang kepada perguruan tinggi bukanlah kebijakan yang muncul tiba-tiba. Sebelumnya, Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) juga diberikan kepada organisasi keagamaan dengan dalih pemerataan akses terhadap sumber daya alam.
Kini, kebijakan serupa diarahkan kepada perguruan tinggi, seolah menjadi jalan keluar dari permasalahan pendanaan yang selama ini menghantui dunia akademik.
Sejarah mencatat bahwa pada era 1970-an hingga 1990-an, beberapa perguruan tinggi di Indonesia pernah diberi hak untuk mengelola tambang. Sayangnya, inisiatif tersebut berakhir dengan kegagalan.
Penyebabnya, bukan hanya kurangnya pengalaman dalam industri ekstraktif, tetapi juga karena perguruan tinggi bukanlah entitas bisnis yang memiliki keahlian dalam manajemen industri pertambangan.
Tambang bukan sekadar soal menggali dan menjual sumber daya alam. Industri ini melibatkan proses yang kompleks, termasuk mitigasi risiko ekonomi, sosial, dan lingkungan-hal yang jelas bukan fokus utama dari perguruan tinggi.
Artinya, Jika kampus dipaksa untuk beroperasi layaknya perusahaan tambang, maka bukan tidak mungkin independensi akademik akan terkikis.
Sebuah Dilema Akademik
Salah satu konsekuensi utama dari kebijakan ini adalah distorsi akademik. Kampus yang seharusnya menjadi pusat pengembangan ilmu akan tergiring dalam pragmatisme ekonomi. Dosen dan peneliti yang semestinya berfokus pada riset dan inovasi berisiko terseret dalam perhitungan profitabilitas bisnis.
Maka tak salah jika, Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Fathul Wahid, dengan tegas menyatakan bahwa integritas akademik akan dipertaruhkan jika perguruan tinggi mulai terlibat dalam bisnis tambang.
“Bagaimana kita bisa tetap menjaga kepercayaan publik terhadap institusi pendidikan jika perguruan tinggi sendiri mulai masuk ke industri yang sarat konflik dan eksploitasi?” tanyanya.
Kampus yang seharusnya menjadi pusat keilmuan justru berpotensi berubah menjadi korporasi yang menjual jasa pendidikan dengan orientasi ekonomi. Dalam jangka panjang, dunia akademik akan kehilangan esensinya sebagai tempat pengembangan ilmu pengetahuan dan inovasi yang berbasis kepentingan publik.
Menimbang Antar Kemaslahatan dan Eksploitasi
Dalam perspektif Islam, pendidikan adalah fardhu kifayah, tanggung jawab kolektif yang harus dijamin oleh negara. Sementara itu, eksploitasi sumber daya alam memiliki batasan moral dan etis yang tegas, sebagaimana ditegaskan dalam maqashid syariah, khususnya dalam menjaga hifz al-aql (pemeliharaan akal) dan hifz al-bi’ah (pemeliharaan lingkungan).
Bagaimana mungkin perguruan tinggi yang seharusnya menjadi penjaga ilmu justru dipaksa terjun ke dalam sektor yang bertentangan dengan prinsip akademik dan keberlanjutan lingkungan? Jika kampus menerima izin tambang, independensinya dalam bersikap kritis akan terancam.
Pernyataan Rektor UIN Jakarta, Asep Saepudin Jahar, yang mendukung kebijakan ini pun memunculkan dilema besar. Ia menyatakan, “Daripada tambang ini dirampok oleh pihak lain, lebih baik kami yang kelola. Tapi harus dengan konsorsium.”
Pernyataan ini mencerminkan dua sisi dari permasalahan ini: di satu sisi, ada kesadaran bahwa tambang selama ini hanya dinikmati oleh oligarki; tetapi di sisi lain, menerima izin tambang sama saja dengan mengakui bahwa negara gagal mengelola sumber daya alam secara adil dan berkelanjutan.
Jika perguruan tinggi terlibat dalam industri tambang, maka ada risiko besar bahwa kampus akan kehilangan sikap kritisnya terhadap kebijakan publik. Kampus akan kesulitan berbicara lantang mengenai keadilan sosial dan ekologi jika sudah terikat dengan kepentingan bisnis.
Bagaimana mungkin institusi yang selama ini menjadi benteng moral dan intelektual justru ikut berkontribusi pada eksploitasi sumber daya alam yang merusak lingkungan?
Jika kampus masuk ke sektor tambang, posisinya akan berhadapan dengan oligarki yang memiliki kepentingan ekonomi dan politik besar. Perguruan tinggi yang sejatinya harus independen dalam menyuarakan keadilan justru berisiko menjadi alat kekuasaan untuk mempertahankan status quo.
Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah pernah mengingatkan bahwa kehancuran sebuah peradaban berawal dari ketidakmampuan negara menjaga keseimbangan lingkungan dan ilmu pengetahuan.
Maka, seharusnya perguruan tinggi mengarahkan penelitian dan inovasinya pada solusi energi hijau, pertanian berkelanjutan, dan teknologi daur ulang, bukan pada industri yang hanya berorientasi pada eksploitasi sumber daya alam.
Bangsa yang besar tidak lahir dari kerakusan tambang, tetapi dari investasi pada pendidikan dan kecerdasan kolektif. Jika negara tetap memilih jalur ini, maka sejarah akan mencatat bahwa kita pernah memiliki universitas yang membangun peradaban, tetapi kemudian dijual untuk eksploitasi alam.
Negara yang gagal membiayai pendidikan tinggi bukan hanya mengkhianati konstitusi, tetapi juga mengorbankan masa depan generasi mendatang. Kini, alih-alih memperbaiki kebijakan fiskalnya, negara justru menyeret kampus ke dalam pusaran industri ekstraktif. Ini bukan solusi, melainkan ilusi yang dikemas ulang sebagai peluang.
Jika pemerintah benar-benar serius dengan amanah konstitusi, bukankah lebih logis untuk memperbaiki sistem pendanaan pendidikan daripada menyeret perguruan tinggi ke dalam industri yang sarat konflik sosial, eksploitasi, dan degradasi lingkungan?
Sudah saatnya negara menjalankan tanggung jawabnya dengan sungguh-sungguh, yaitu mendanai pendidikan tanpa mengorbankan independensi akademik dan masa depan lingkungan.
***
*) Oleh : Aden Farih Ramdlani, Mahasiswa Ilmu Politik Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rizal Dani |