Opini

Ilmu Pertahanan

Sabtu, 26 Maret 2022 - 12:14 | 40.79k
Hasto Kristiyanto. Sekjen PDI Perjuangan
Hasto Kristiyanto. Sekjen PDI Perjuangan

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Ilmu pertahanan berawal dari logika sederhana. Ilmu ini berangkat dari sesuatu hal yang intrinsik, yang ada di dalam setiap makhluk hidup. Yaitu suatu naluri untuk survive; suatu naluri bertahan hidup. 

Hakekat dasar ilmu pertahanan inilah yang dipakai oleh Bung Karno dengan mencanangkan “Indonesia Merdeka Sekarang” melalui perjuangan bangsa sendiri guna menembus kekuatan pertahanan Belanda. Dalam analoginya, Bung Karno mengambil contoh sederhana. Bahwa yang namanya cacing saja, jika terinjak-injak, akan kluget-kluget melakukan perlawanan. 

Advertisement

Ketika cacing saja melakukan perlawanan, apalagi suatu bangsa terjajah. Kesadaran sebagai bangsa terjajah, senasib sepenanggungan, namun memiliki rekam jejak sejarah yang gemilang melalui kejayaan Sriwijaya dan Majapahit inilah yang memperkuat energi perlawanan untuk merdeka. 

Sejarah memiliki nilai yang penting. Oleh Bung Karno, sejarah dipakai untuk menyalakan semangat juang. It’s like a burning of fire, suatu api perjuangan yang tidak akan pernah kunjung padam meski menghadapi berjuta rintangan. Pemahaman konteks sejarah, terjadinya peristiwa, dan makna di balik setiap peristiwa harus diangkat apa adanya sebagai kebenaran sejarah. 

Hal ini penting guna mengoreksi pendekatan sejarah masa Orde Baru yang lebih sering menampilkan kronologi peristiwa. Sejarah bahkan sering dibelokkan demi kepentingan politik penguasa. 

Pemahaman kebenaran sejarah yang sesuai konteks dan maknanya inilah yang seharusnya dipakai. Dalam kaitannya dengan ilmu pertahanan, sejarah mengajarkan pentingnya kekuatan pertahanan yang berdiri di atas konsepsi Trisakti, yakni berdaulat di bidang politik; berdiri di atas kaki sendiri (berdikari) di bidang ekonomi; dan berkepribadian dalam kebudayaan. 

Relevansi Trisakti dalam pertahanan sangatlah nyata. Perang Rusia-Ukraina misalnya, menampilkan bagaimana kekuatan pangan berupa produksi gandum, minyak bunga matahari dll, bisa dijadikan senjata di dalam menghadapi sanksi ekonomi yang dilakukan negara-negara Barat. Demikian halnya kemampuan Rusia di dalam mensuplai gas sebagai sumber energi di Eropa. 

Di sini sangat jelas bahwa kedaulatan ekonomi suatu negara dapat menjadi senjata yang menciptakan efek gentar. Belum lagi senjata sosial akibat memobilisasi jutaan pengungsi yang menjadi persoalan tersendiri yang begitu merepotkan. 

Ilmu pertahanan dengan demikian memiliki perspektif luas. Kesemuanya dirumuskan dengan baik dalam konsepsi ketahanan nasional dengan apa yang disebut sebagai Astagatra. Astagatra mencakup: Trigatra (aspek geografi, demografi, sumber kekayaan alam), dan Pancagatra, yakni ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pertahanan-keamanan (ipoleksosbudhankam) yang oleh kemajuan jaman dipertajam dengan dua aspek penting lainnya, hukum dan teknologi. Indonesia sudah lama membangun konsepsi Astagatra. Namun ketika di dalam implementasinya sering dikalahkan oleh praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme, melunturlah ketahanan nasional itu. 

Belajar dari perang Rusia-Ukraina, kekuatan Astagatra bisa menjadi instrumen kebijakan yang sangat penting guna meningkatkan “daya tawar” suatu negara di dalam memperjuangkan kepentingan nasionalnya. Bagi Indonesia sendiri, dalam praktek kebijakan luar negeri dan pertahanan, berbagai “simulasi” baik secara sendiri-sendiri, maupun sebagai satu kesatuan, Astagatra harus diuji daya ampuhnya di dalam hubungan antar bangsa, tanpa menghilangkan prinsip-prinsip kerjasama. 

Keyakinan terhadap kekuatan Astagatra sudah teruji oleh sejarah. Jangankan kekuatan ipoleksosbudhankam sebagai Pancagatra, hanya dengan kekuatan alam pikir saja, Bung Karno mampu menembus hal yang paling mendasar dari kekuatan pertahanan Hindia Belanda. 

Kekuatan alam pikir yang diajarkan Bung Karno dimulai dari ide; kekuatan imajinasi; dan kekuatan semangat sebuah bangsa. Berhadapan dengan kekuatan pertahanan Belanda yang begitu kuat pada tahun 1930an, Bung Karno mulai menggalang kekuatan dengan membangun kesadaran berbangsa, bahwa dari Sabang sampai Merauke adalah satu kesatuan cita-cita; satu jiwa; satu kehendak; dan satu tujuan untuk Indonesia Merdeka. 

Guna memperhebat senjata melalui kekuatan pikiran tersebut, Bung Karno pada tanggal 4 Juli 1927 mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI). Partai inilah yang berdiri di depan, melakukan kursus-kursus politik, dan mengorganisir rakyat hingga bangkitlah kesadaran kolektif untuk merdeka. Dari sinilah kekuatan yang maha dahyat timbul. Segenap rakyat Indonesia sadar tentang pentingnya menyatukan kekuatan guna menghadapi Belanda yang saat itu tampil sebagai salah satu kekuatan kolonialisme terbesar di dunia. 

Pada masa itu, hegemoni Belanda di perdagangan internasional mampu memegang kendali atas komoditas kopi, gula, karet, coklat, teh, minyak atsiri, dan berbagai varian rempah-rempah yang bernilai tinggi. Namun kolonialisme Belanda yang sudah berurat berakar dalam sistem pemerintahan, sistem pendidikan, sistem perdagangan, dan militer ternyata bisa dikalahkan oleh kekuatan alam pikir yang menggerakkan rakyat untuk bangkit. 

Di sinilah terletak keuanggulan strategi Bung Karno. Ia tidak memilih head to head melawan kekuatan pertahanan Belanda. Ia lebih memilih memadukan kekuatan alam pikir dan kekuatan rakyat yang bersatu. Hal yang sama dilakukan dalam operasi pembebasan Irian Barat. Bung Karno mengedepankan kekuatan ide dan imajinasi. 

Dalam operasi ini, kekuatan militer Belanda dihadapi dengan perpaduan diplomasi luar negeri dan pertahanan, termasuk menggalang kekuatan the new emerging forces dari bangsa-bangsa Asia, Afrika dan Amerika Latin. Di sini kekuatan ide, daya imajinasi, diplomasi, militer, dan kekuatan semangat bangsa terbukti menjadi strategi paling ampuh untuk mengusir Belanda yang dikatakan sebagai “pisau belakang kapitalisme yang setiap saat bisa menusuk Indonesia dari belakang”. 

Ilmu pertahanan dalam inti kekuatannya bersentuhan dengan kehendak dan semangat kolektif yang menyatu dengan rakyat. Ilmu pertahanan setiap bangsa berbeda dengan bangsa lain. Ilmu pertahanan ini sangat khas. Sebab hanya bangsa Indonesia sendirilah yang tahu persis tentang cara bagaimana mempertahankan diri. Bangsa Indonesia sendirilah yang paling memahami segala hal yang berkaitan dengan Tanah Air Indonesia dan bagaimana cara mempertahankannya. 

Karena itulah menurut Bung Karno, pertahanan negara harus dibangun di atas cara pandang geopolitik. Pengetahuan geopolitik berupa pemahaman terhadap tanah airnya, manusianya, jiwa suatu bangsa, sumber daya, dan kekuatan budaya suatu bangsa. Pemahaman geopolitik yang dimaksudkan di sini mencakup seluruh hal yang berkaitan dengan konstelasi geografi, konstelasi ekonomi, dan konstelasi budaya, serta konstelasi politik. 

Ilmu pertahanan mencakup seluruh aspek kehidupan bangsa. Karena itulah mengapa pertahanan negara menjadi tanggung jawab setiap warga negara Indonesia. Meskipun demikian, ilmu pertahanan tidak hanya berkaitan dengan daya survival suatu bangsa. Implementasi ilmu pertahanan harus mendorong kepamimpinan bangsa Indonesia di panggung dunia, termasuk kemampuan untuk melakukan force projection. 

Dalam dunia militer, kemampuan suatu negara untuk bisa mengarahkan kekuatan militer di luar batas wilayahnya disebut sebagai force projection. Force projection ini pernah dilakukan Indonesia di dalam mendukung kemerdekaan Aljazair, mendukung nasionalisasi Terusan Suez di Mesir; mendukung perjuangan Pakistan di dalam menghadapi imperialisme Inggris. Kemampuan yang sama juga ditunjukkan dengan mengirimkan pasukan perdamaian di berbagai belahan penjuru dunia. Dalam perspektif yang lebih luas, force projection ini mencakup keunggulan suatu bangsa dalam memperebutkan kepemimpinan terhadap bangsa lain. 

Kepemimpinan ini dapat muncul melalui bidang olah raga, pendidikan, kebudayaan, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk militer. Namun di atas segalanya, sejarah membuktikan bahwa kekuatan semangatlah yang menjadi dasar bagi kepemimpinan Indonesia untuk dunia.

Dengan pemahaman force projection tersebut, maka membangun daya unggul pertahanan suatu negara tidak bisa dilakukan dengan jalan pintas, misalnya dengan membeli peralatan militer super canggih. Pembelian peralatan militer yang paling hebat sekalipun, sekiranya dilakukan dengan pinjaman luar negeri, maka akan memperlemah “kekuatan pertahanan” di bidang ekonomi. Terlebih lagi ketika pembelian peralatan militer tersebut berpotensi menciptakan kerawanan fiskal pada masa yang akan datang. 

Tidak ada jalan pintas dalam membangun kekuatan pertahanan negara. Dalam konteks ini, Bung Karno mengingatkan bahwa esensi kekuatan pertahanan negara harus diawali dengan keberanian untuk meletakkan nasib bangsa dan nasib tanah air di tangan kita sendiri. Kunci dari bekerjanya prinsip ini harus dimulai dari dunia pendidikan. Sebab membangun kekuatan pertahanan tidak terlepas dari dunia pendidikan. 

Negara-negara maju seperti Inggris, Amerika Serikat, Rusia, Tiongkok, Jerman dll, memiliki kekuatan pertahanan yang berdikari karena pendidikannya maju. Selama pendidikan Indonesia masih sibuk dengan urusan seragam, urusan perbedaan suku, agama, status sosial, dan selama dunia pendidikan tidak mengedepankan merit system, maka selama itu pula dunia pendidikan tidak akan mengalami kemajuan.

Dunia pendidikan mengedepankan nalar dan budi; membangun seluruh kemampuan kognitif untuk berlomba-lomba menguasai ilmu-ilmu dasar, ilmu kebudayaan yang mampu melahirkan jiwa merdeka, dan hasrat untuk memerdekakan bangsa dalam seluruh aspek kehidupan. Dengan menguasai ilmu-ilmu dasar tersebut pasti akan berkorelasi langsung dengan kemampuan membangun kekuatan pertahanan negara secara berdaulat dan berdikari. 

Belajar dari berbagai hal di atas, kalau dengan kekuatan alam pikir, Bung Karno mampu menembus kekuatan pertahanan Belanda, apalagi jika dipadukan dengan kekuatan Astagatra, hukum dan penguasaan teknologi serta semangat berdikari melalui dunia pendidikan yang mengedepankan riset dan inovasi. Semua akan menjadi kekuatan yang maha dahsyat. 

Di sini bisa diambil kesimpulan bahwa tidak ada jalan pintas di dalam membangun kekuatan pertahanan. Karena itulah daripada berkhayal membangun kekuatan pertahanan dengan cara berhutang, lebih baik dimulai dari hal yang paling fundamental yakni membangun seluruh kemajuan dunia pendidikan. Jadi mari belajar ilmu pertahanan dalam seluruh aspek kehidupan. Hal ini lebih jauh produktif dibandingkan membuang energi yang tidak perlu seperti kemauan menunda Pemilu. Merdeka! (*)

*) Penulis adalah Hasto Kristiyanto. Sekjen PDI Perjuangan

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES