Opini

Catatan HPN: Bubarnya Sistem Presidensil Karena Misetika Presiden

Jumat, 09 Februari 2024 - 06:59 | 25.32k
Ilustrasi. (Foto: Getty Image)
Ilustrasi. (Foto: Getty Image)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Mengambil momentum peringatan Hari Pers Nasional (HPN), yang jatuh pada tanggal 9 Februari hari ini, kita dapat menekankan pentingnya peran media dalam mengontrol sistem presidensil secara on the track. Media memiliki fungsi penting sebagai penjaga kebenaran, penyeimbang kekuasaan, dan pengawas terhadap pelaksanaan pemerintahan dan sistem politik. 

Dengan demikian, peran media yang independen dan berkualitas sangat diperlukan untuk memastikan akuntabilitas dan transparansi dalam menjalankan sistem presidensil.

Selain itu, sistem electoral threshold juga seharusnya menjadi cerminan dari komitmen etika politik yang tinggi antara pengusung dan yang diusung. 

Komitmen etika "saling berbalas budi" yang mencakup kebaikan, kebermanfaatan, dan kejujuran seharusnya menjadi prinsip yang dijunjung tinggi dalam proses politik. 

Pengingkaran, pengkhianatan, dan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) tidak boleh menjadi bagian dari proses politik yang sehat, karena hal ini dapat merusak sistem politik secara keseluruhan.

Dengan demikian, jika pelanggaran etika dan konstitusi terus dibiarkan terjadi, maka sistem presidensil akan menjadi rusak dan kehilangan legitimasinya. 

Oleh karena itu, perlunya peran media yang kuat dan komitmen etika politik yang tinggi dari para pemimpin dan partai politik menjadi krusial untuk menjaga kesehatan sistem politik dan demokrasi di Indonesia. 

Liberalisasi Politik

Sistem presidensil di Indonesia telah menjadi topik perdebatan yang hangat dalam beberapa tahun terakhir. Banyak yang berpendapat bahwa sistem ini tidak lagi efektif karena arogansi dan liberalisasi politik yang dijalankan oleh para pemimpinnya. Salah satu contohnya adalah kasus Presiden Jokowi, yang diusung oleh PDI Perjuangan pada Pemilu 2014 dan 2019 namun ternyata di akhir masa jabatannya justru keluar dari dukungan partainya. Hal ini menunjukkan adanya ketidakstabilan politik yang bisa merusak sistem presidensil itu sendiri.

Tidak hanya itu, serangkaian pelanggaran etika oleh presiden, KPU, dan MK juga menimbulkan keraguan terhadap keberlangsungan sistem presidensil. Meskipun pelanggaran tersebut terjadi, penegakan hukum dan konsekuensi hukum seringkali tidak dapat dilaksanakan dengan alasan bahwa etika tidak memiliki kaitan langsung dengan hukum. 

Padahal, hukum seharusnya dibuat berdasarkan pada pranata, nilai-nilai budaya, adat istiadat, dan agama, sehingga keberadaan etika seharusnya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sistem hukum.

Oleh karena itu, perlu adanya kajian ulang terhadap penerapan sistem presidensil di Indonesia, terutama dalam konteks hilangnya etika. Salah satu wacana yang muncul adalah pemilihan presiden dan kepala daerah yang tidak lagi langsung dipilih oleh rakyat, melainkan melalui lembaga legislatif atau penguatan trias politika. 

Selain itu, syarat maju sebagai calon presiden dan wakil presiden juga perlu direformasi agar lebih inklusif, seperti melalui sistem rekrutmen calon independen atau DPD, dengan tahap pengajuan yang diajukan dengan dukungan 50+1 suara rakyat melalui proses verifikasi dukungan kartu tanda penduduk.

Penguatan trias politika diyakini akan membawa dampak positif dalam fungsi pengawasan dan penguatan pada eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dengan demikian, pergeseran menuju sistem yang lebih inklusif dan berbasis pada nilai-nilai etika diharapkan dapat membawa perubahan yang positif bagi sistem politik Indonesia, sehingga dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan memperkuat sistem pemerintahan secara keseluruhan.

Selain itu, penguatan trias politika juga dapat mengurangi potensi terjadinya konflik kepentingan antara lembaga-lembaga negara. Dengan keseimbangan kekuatan yang lebih baik antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif, diharapkan keputusan-keputusan yang diambil akan lebih memperhatikan kepentingan masyarakat secara keseluruhan.

Selain itu, dengan adanya pemilihan presiden dan kepala daerah yang melalui proses verifikasi dukungan langsung dari rakyat, diharapkan para pemimpin yang terpilih akan lebih mewakili kehendak dan aspirasi rakyat. Hal ini dapat mengurangi potensi terjadinya keterpencilan antara pemimpin dan rakyat, sehingga tercipta hubungan yang lebih erat antara pemerintah dan masyarakat.

Dengan demikian, melalui perubahan sistem ini, diharapkan tercipta landasan yang lebih kuat untuk membangun negara yang demokratis, transparan, dan bertanggung jawab. Tentu saja, perubahan seperti ini tidak akan terjadi dengan mudah dan memerlukan proses panjang serta konsensus yang kuat di antara berbagai pihak terkait. Namun, dengan kesadaran akan pentingnya mengatasi misketika dalam sistem presidensil, langkah-langkah perubahan tersebut menjadi sebuah hal yang mendesak untuk diperjuangkan demi masa depan yang lebih baik bagi bangsa dan negara.

Titik Krusial Pemilu

Pemilu 2024 akan menjadi titik krusial dalam menentukan arah demokrasi Indonesia ke depan. Kualitasnya tidak hanya bergantung pada tingkat partisipasi yang tinggi, tetapi juga pada bagaimana penegakan rule of the game-nya dapat dijalankan. 

Pentingnya penerapan aturan dan sanksi yang tegas akan menentukan integritas Pemilu dan kepercayaan masyarakat terhadap hasilnya.

Pembiaran terhadap pelanggaran aturan akan berdampak pada degradasi kualitas pendidikan politik yang menurun, di mana masyarakat akan kehilangan kepercayaan terhadap proses demokrasi. 

Selain itu, tingkat integritas para pemimpin bangsa juga akan terganggu dalam perjalanannya, karena proses Pemilu yang kurang adil dan transparan akan mempengaruhi legitimasi pemerintahan yang terbentuk.

Oleh karena itu, menjaga kualitas Pemilu 2024 merupakan tanggung jawab bersama bagi semua pihak terkait. Diperlukan komitmen yang kuat untuk menjalankan proses Pemilu sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dan aturan yang berlaku. Hanya dengan demikian, kita dapat memastikan bahwa hasil Pemilu benar-benar mencerminkan kehendak rakyat dan menjadi pijakan yang kokoh untuk membangun masa depan Indonesia yang lebih baik.

Dengan menjadikan peringatan Hari Pers Nasional sebagai momentum untuk merenungkan dan memperbaiki sistem politik, diharapkan akan tercipta kesadaran yang lebih kuat mengenai pentingnya menjaga etika politik dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Hanya dengan adanya komitmen bersama untuk memperbaiki sistem politik, menjaga kebebasan pers, dan menghormati nilai-nilai demokrasi, kita dapat memastikan bahwa masa depan Indonesia akan menjadi lebih cerah dan berkelanjutan. (*) 

* Penulis adalah Sudarmaji, Jurnalis Times Indonesia

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Sudarmadji
Publisher : Rifky Rezfany

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES