Soal Sumpah Pocong, Gus Salam: Bentuk Ketidakpuasan Masyarakat Terhadap Hukum di Indonesia

TIMESINDONESIA, JOMBANG – KH Abdussalam Shohib, Pengasuh Pondok Pesantren Mambaul Ma’arif Denanyar, Kabupaten Jombang turut prihatin dan memberikan pendapat terkait Saka Tatal yang melakukan sumpah pocong demi membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah dalam kasus Vina Cirebon.
Menurut kiai yang akrab disapa Gus Salam tersebut, tradisi sumpah pocong merupakan bentuk kekecewaan masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia yang carut marut dan hancur.
Advertisement
“Fenomena ini menunjukan ketidakpuasan masyarakat terhadap hukum di Indonesia,” kata Gus Salam kepada awak media saat ditemui di kediamannya, Sabtu (10/8/2024).
Lebih lanjut, Mantan Wakil Ketua PWNU Jawa Timur itu menyebut bahwa tradisi sumpah pocong umumnya digunakan sebagai upaya terakhir untuk membuktikan kebenaran dalam suatu perselisihan atau sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui jalur hukum formal.
“Harusnya para penegak hukum di Indonesia harus instropeksi diri dan berbenah diri. Menurut saya ini hal wajar masyarakat mencari keadilan hukum di Indonesia. Namun, ia tidak menemukan keadilan, akhirnya menempuh jalur sumpah pocong,” ungkapnya.
Namun, bagaimana pandangan Islam terhadap sumpah pocong? Dan mengapa praktik ini masih bertahan di tengah masyarakat modern? Menurut Gus Salam, sumpah pocong sebenarnya bukanlah ajaran dalam Islam, melainkan bentuk kearifan lokal yang berkembang di masyarakat. Meski begitu, praktik ini mencerminkan ketidakpuasan masyarakat terhadap sistem hukum yang ada di Indonesia.
“Sumpah pocong sebenarnya tidak dikenal dalam syariat Islam. Islam memiliki aturan dan mekanisme tersendiri untuk menyelesaikan sengketa, seperti qasam (sumpah) di hadapan pengadilan. Sumpah pocong muncul dari tradisi lokal dan sering kali dianggap sebagai jalan pintas ketika masyarakat merasa bahwa hukum formal tidak dapat memberikan keadilan,” ujar Gus Salam.
Dalam Islam, kata Gus Salam, segala bentuk sumpah harus dilandasi oleh kebenaran dan ketulusan hati. Jika seseorang bersumpah palsu atau bersumpah dengan maksud menipu, maka ia telah melakukan dosa besar. Oleh karena itu, sumpah pocong, meski dianggap memiliki kekuatan mistis oleh sebagian masyarakat, tidak memiliki dasar hukum dalam Islam.
“Masyarakat yang masih melakukan sumpah pocong biasanya merasa kecewa dengan proses hukum yang ada. Mereka menganggap bahwa sumpah pocong bisa menjadi penentu terakhir untuk membuktikan kebenaran. Padahal, ini bisa menjadi jebakan jika dilakukan tanpa dasar kebenaran yang jelas,” tegasnya.
Lebih lanjut, Gus Salam menyoroti fenomena ini sebagai indikasi adanya ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum. Hal ini menuntut adanya perbaikan dalam sistem hukum di Indonesia agar dapat lebih adil dan dapat dipercaya oleh masyarakat. Menurutnya, ketidakpuasan terhadap hukum sering kali mendorong masyarakat mencari solusi alternatif yang tidak selalu sejalan dengan hukum agama maupun negara.
“Ketika masyarakat merasa tidak mendapatkan keadilan, mereka cenderung mencari solusi lain yang menurut mereka bisa memberikan keadilan, meskipun melalui cara-cara yang sebenarnya tidak disarankan dalam Islam. Ini menunjukkan bahwa ada tugas besar bagi kita semua, termasuk para ulama dan aparat hukum, untuk memberikan pemahaman yang benar dan memperbaiki sistem yang ada,” tuturnya.
Gus Salam juga mengajak masyarakat untuk lebih bijak dalam menyikapi masalah dan tidak tergesa-gesa mengambil jalan sumpah pocong. Ia menekankan pentingnya mendekati para ulama atau tokoh masyarakat yang memahami agama dengan baik sebelum mengambil keputusan yang melibatkan hal-hal mistis atau tradisi yang belum tentu sesuai dengan ajaran Islam.
“Sebaiknya, jika ada perselisihan, kita selesaikan dengan kepala dingin dan melalui jalur yang benar. Konsultasikan dengan ulama atau tokoh yang memahami hukum Islam agar tidak terjebak dalam praktik-praktik yang justru bisa menyesatkan,” ungkap Gus Salam. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Faizal R Arief |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |