Resensi

Buku Brantas Sang Pembawa Berkah, dari Sejarah, Jejak Peradaban, hingga Mitos Sungai Brantas

Minggu, 15 September 2024 - 21:24 | 20.08k
Raymond Valiant (kanan), penulis buku ‘Brantas Sang Pembawa Berkah’ pada acara Ngobrol Buku di Teras Budaya M. A. Icksan (Trabasan), Kota Malang. Kamis (12/9/2024). (FOTO: Nadya Shafira Putri/TIMES Indonesia)
Raymond Valiant (kanan), penulis buku ‘Brantas Sang Pembawa Berkah’ pada acara Ngobrol Buku di Teras Budaya M. A. Icksan (Trabasan), Kota Malang. Kamis (12/9/2024). (FOTO: Nadya Shafira Putri/TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, MALANGSungai Brantas merupakan sungai bersejarah sekaligus bagian dari kehidupan masyarakat di pulau Jawa, khususnya di Jawa Timur.

Aliran air yang berhulu di kaki Gunung Arjuno dan bermuara di Kali Porong serta membentang di 15 kabupaten ini menjadi sungai terpanjang kedua di Jawa Timur setelah sungai Bengawan Solo.

Advertisement

Tak hanya terkenal dengan sejarahnya terkait peradaban manusia, sungai ini juga terkenal dengan mitos atau legenda yang sampai sekarang masih terkenal.

Salah satu mitos yang terkenal adalah tentang Mpu Baradha yang membelah Kerajaan Medang dengan aliran sungai yang sekarang bernama Sungai Brantas.

Ngobrol-Buku-2.jpgSejarahwan Dwi Cahyono (kanan) sebagai narasumber terkait buku ‘Brantas Sang Pembawa Berkah’ pada acara Ngobrol Buku. (FOTO: Nadya Shafira Putri/TIMES Indonesia)

Cerita-cerita tersebut menjadi bagian dalam buku “Brantas Sang Pembawa Berkah” karya Raymond Valiant, mantan Direktur Utama Perusahaan Umum (Perum) Jasa Tirta I.

Peristiwa Mpu Baradha yang membagi kerajaan Medang menjadi dua, konon dikarenakan Mpu Baradha yang terbang membawa kendi dan menuangkan air untuk membagi kerajaan menjadi dua yaitu Jenggala dan Panjalu.

Buku yang memiliki tebal lebih dari 300 halaman ini memiliki beberapa bab di dalamnya, namun ada satu bab yang mencantumkan mitos di dalamnya.

Dimulai dari bab pertama, buku ini membahas bahwa manusia tidak bisa dipisahkan dari air secara genetik.

“Kita lahir dari setitik air, dikandung bersama air, lahir bersama air, 70 persen dari tubuh kita adalah air, dan ketika meninggal pun masih dibasuh dengan air,“ ujar Raymond Valiant, sang penulis dalam acara ngobrol buku ‘Brantas Sang Pembawa Berkah’ di Teras Budaya M. A. Icksan (Trabasan) di Jl. Magelang no. 9, Malang. Kamis (12/9/2024).

Hal ini menjelaskan bahwa air merupakan komponen vital bagi manusia dimulai sejak dalam kandungan hingga akhir hayat. Akan tetapi, menurut Raymond, masyarakat masih sering menganggap air adalah sumber daya yang mudah didapatkan sehingga meremehkannya.

Beranjak ke bab 2, Raymond mengatakan bab ini lebih memberikan pemahaman terkait manusia mengenal peradaban bercocok tanam dengan mengandalkan air sebagai sumber daya alam dalam konteks daerah aliran sungai Brantas, sebagai salah satu lembah yang subur dan cocok untuk pusat bermukim serta bercocok tanam disana. 

Pada bab ini juga dijelaskan keterkaitan antara kerajaan Kanjuruhan yang memiliki keterkaitan dengan kerajaan Medang (kerajaan dalam mitos Sungai Brantas) dengan ditulisnya prasasti Kanjuruhan tentang pengelolaan air.

Selain itu, Raymond juga mengatakan Sungai Brantas memiliki peran yang sangat penting dalam sejarah pengelolaan air di Pulau Jawa, yang dibuktikan dengan banyaknya prasasti yang ditemukan di daerah aliran sungai Brantas.

“6 dari 10 prasasti yang berbicara khusus tentang pengelolaan air di pulau Jawa, berada di daerah aliran sungai Brantas,” ujarnya.

Ia juga menegaskan bahwa hal ini memiliki alasan khusus, yaitu karena sungai Brantas ini unggul secara hidrologi dan subur secara geologi. Bab ini menunjukkan bahwa riset yang dilakukan oleh sang penulis bermula dari tahun ditulisnya prasasti Kanjuruhan yaitu tahun 760. 

Ngobrol-Buku-3.jpgMusikalisasi Puisi berjudul ‘Aku’ karya Chairil Anwar oleh Komunitas Sangkar Malang pada Acara Ngobrol Buku ‘Brantas Sang Pembawa Berkah’, di kota Malang. (FOTO: Nadya Shafira Putri/TIMES Indonesia)

Hadirnya buku yang membahas Sungai Brantas  mendapatkan apresiasi dari salah satu narasumber yang diundang pada acara Ngobrol Buku, yaitu Dwi Cahyono.

“Menurut saya buku ini detail dan holistik, berbicara sungai Brantas ini secara hulu-hilir, bahkan terlebih dulu dibuka melalui hulunya dengan prasasti-prasasti yang ada di Malang,” ujar arkeolog Universitas Negeri Malang  yang aktif dan peduli terkait peninggalan situs budaya kuno di Jawa Timur tersebut. 

Tak hanya membahas tentang sejarah, pada bab 3 dalam buku ini juga menyertakan keterkaitannya tentang mitos sungai Brantas yang tersebar di masyarakat.

Bab ini mengangkat beberapa mitos yang menjadi cerita rakyat sebagai periode transisi antara pengelolaan air di masa Hindu Budha dan datangnya para penjajah, tentang air didalam nilai sungai Brantas, salah satunya tentang Sunan Bonang memindahkan aliran sungai Brantas di Kediri.

“Kita telaah mitosnya, ternyata sungai yang berubah-ubah arah itu oleh orang dulu belum bisa dipahami aspek hidroliknya jadi dianggap pindahnya sungai ini adalah karena kuasa orang sakti,” jelas Raymond.

Tak hanya dianggap sebagai cerita rakyat, mitos ini dikaitkan sebagai algoritma dan cara penceritaan yang disesuaikan dengan kemampuan masyarakat pada saat itu untuk memahami peristiwa alam yang terjadi.

Menurut Raymond, mitos terkait Sunan Bonang memindahkan sungai Brantas memiliki keterkaitan peristiwa yang dialami oleh masyarakat saat itu. 
“Mitos ini erat kaitannya dengan kemiskinan yang dialami oleh masyarakat di lembah Brantas, akibat dari perang Jawa,” tegasnya.

Karena kemiskinan dan kesulitan, masyarakat pada saat itu mencari figur yang dapat menjadi alasan mengapa pulau Jawa kondisinya melarat setelah perang Jawa terjadi.

Narasumber lain yaitu, sejarahwan Restu Respati menyebut buku Brantas Sang Pembawa Berkah sangat runut dari awal hingga akhir.

Restu juga mengapresiasi adanya bab tentang mitos.
“Saya mengenal mas Raymond sebagai orang yang empiris, tapi yang mengejutkan buku ini juga menuliskan sisi mitos,” tegasnya.

Namun Ia menambahkan apresiasinya bahwa mitos yang ada tak hanya sekedar dicantumkan, akan tetapi terlebih dahulu ditelaah secara ilmiah.

Pada bab keempat, penjabaran terkait materi sungai Brantas lebih diarahkan kepada pengaruh kolonialisme yaitu teknologi pengairan yang modern, yang dibangun sebagai bentuk pendekatan teknokratis pada masa Belanda dengan motif untuk menghasilkan fiskal (pendapatan) bagi penjajah.

Beralih ke bab 5, bab ini lebih menjelaskan apa yang terjadi pada tata kelola air di sungai Brantas pada masa penjajahan Jepang. Bab ini menjelaskan bahwa pemerintah Jepang mencoba memindah sebagian aliran di sungai Brantas ke bagian Selatan melalui sebuah terowongan.

Selanjutnya pada bab 6 menceritakan tentang intervensi yang dilakukan secara teknokratik yang dilakukan oleh Republik Indonesia di Sungai Brantas, dengan membangun dua bendungan yaitu bendungan Karangkates dan Bendungan Selorejo, yang sebagian besar didanai oleh Jepang.

Buku ini telah menarik banyak minat masyarakat yang tertarik dengan sejarah, riwayat pengelolaan air dan lahan, mitos yang berkaitan dengan sungai Brantas.

Tak ayal, buku yang baru berusia 20 hari sejak diterbitkan ini telah mencapai 200 penjualan dalam kurun waktu 2 minggu, dan sedang dalam pencetakan kedua saat ini. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES