
TIMESINDONESIA, SUMENEP – Aku datang memenuhi panggilan-Mu, ya Allah. Aku datang memenuhi panggilan-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu. Ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, seluruh kenikmatan, dan semua kekuasaan adalah milik-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu.
HAJI adalah rukun Islam kelima setelah syahadat, shalat, zakat, dan puasa ramadhan. Empat rukun di atas harus dikerjakan semua umat muslim tanpa terkecuali.
Advertisement
Sementara haji diwajibkan bagi umat Islam yang mampu, baik secara financial, kesehatan, maupun psikologis.
Haji bukan sekedar ibadah mahdlah, tetapi ritual yang mengandung dimensi sosial. Sebab, dalam proses ritual tersebut harus pula memiliki rasa empati terhadap yang lain.
Kebersamaan ketika thowaf, berjamah, dan dimensi sosial lainnya. Dalam ritual haji, kesadaran ontologis menjadi titik tolak yang ampuh untuk menghambakan diri seutuhnya.
Untuk itu, setiap jamaah haji mesti ingat terhadap posisi dirinya sebagai hamba Allah penuh kelemahan kekurangan.
Sikap menyombongkan diri karena telah mampu menunaikan ibadah haji dengan biaya mahal, harus ditanggalkan sebagaimana tergambar dalam pakaian Ihram.
Ihram adalah termasuk rukun haji. Ihram dimulai dari miqot (tempat atau garis memulai berihram). Saat ihram, semua pakaian harus dilepaskan dan ditinggalkan dan diganti dengan sehelai kain putih yang sangat sederhana.
Pakaian Ihram simbol ketaqwaan. Sehelai kain putih itu, terdiri dari kain katun tak dijahit dan salah satunya harus dililitkan ke pinggang, mencapai kebawah lutut, sedang yang lain disandangkan bebas pada pundak dan kepala dibiarkan tidak tertutup.
Rukun tersebut sangat terang bahwa kesombongan dan kecongkakan dilarang. Berpakaian begitu, manusia seakan tidak ada artinya. Kita hanya dituntut untuk bertaqwa kepada Allah.
Tidak ada oposisi biner, perbedaan derajat tinggi-rendah, kaya-miskin, atasan-bawahan, yang berpangkat dan tidak, semuanya sama dihadapan-Nya. Dalam Al-quran disebutkan “Dan pakaian taqwa itulah yang paling baik”. (QS al-A’raf:26).
Muhammad Asad memberikan ulasan panjang berkaitan dengan pakaian ihram bahwa alasan berpakaian semacam itu, bila kita kembali kepada amanat Nabi, adalah agar selama haji tidak terdapat rasa aneh dan janggal antara mereka yang beriman yang berkumpul bersama-sama dari segala penjuru dunia untuk mengunjungi Rumah Tuhan.
Tak ada perbedaan ras dan bangsa, kaya dan miskin, tinggi dan rendah, sehingga dengan demikian mereka merasa sesama saudara, sama dihadapan Tuhan dan manusia. (Muhmmada Asad, Jalan ke Makkah; Bandung: Mizan, 1993, hlm. 420-421).
* * *
BAGI para jamaah haji, niatan suci untuk menyempurnakan ibadah dan meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah harus benar-benar tertanam dalam hati.
Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa “Tidak sempurna ibadah seseorang dalam hidupnya bila tidak melaksanakan haji. Haji adalah tugas sekaligus impian seluruh kaum muslim di seluruh dunia.
Namun, menjadi miris ketika mendengar kabar bahwa banyak diantara para jamaah haji yang tidak lagi murni memenuhi panggilan Ilahi. Bukan pula dalam rangka menyempurnakan ibadah dan meningkatkan ketaqwaan. Melainkan, sebagaimana sering kali terjadi dikalangan masyarakat, berhaji hanya karena gengsi.
Gengsi kalau tidak memakai kopyah putih dengan sorban yang serba putih. Jika ada tetangganya mampu menunaikan ibadah haji, ia pun memaksakan diri untuk berangkat haji, meski melalui jalan hutang. Padahal tidak wajib menunaikan ibadah haji bila masih belum mampu, apalagi dengan jalur berhutang tanpa jaminan.
Tidak kalah tragisnya lagi munculnya kapitalisasi ibadah. Sebagian jamaah haji membawa dagangan. Setelah di Makkah, dagang itu dijual dengan harga mahal, dan banyak pula barang-barang lain mereka jual. Realitas ini sudah menjadi rahasia umum. Rasulullah menggambarkan “Salah satu tanda haji mabrur adalah setelah kembali si haji lebih baik dari sebelumnya”.
Akhir kata, rugi orang-orang yang berangkat ke Baitullah hanya karena mencari harta atau gengsi. Kesempatan emas menunaikan ibadah sebagaimana dilakukan Rasulullah tidak dipergunakan dengan sebenar-benarnya.
Padahal, tidak semua orang mendapat kesempatan beribadah ke-Baitullah, dan belum tentu pula tahun mendatang Allah akan memberikan peluang kembali menunaikan ibadah haji. Semoga jamaah haji yang tengah berada di tanah suci, termasuk golongan yang mendapatkan haji mabrur. Amien.(*)
*Penulis: Wartawan TIMESIndonesia
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Yatimul Ainun |
Publisher | : Sholihin Nur |