
TIMESINDONESIA, MALANG – Menyelami kehidupan Tan Malaka adalah menziarahi denyut nadi revolusi. Segenap hidupnya ditahbiskan untuk memikirkan bangsa, menggelorakan semangat pemuda, hingga memanaskan mesin-mesin penggerak revolusi. Namun, sepanjang hidupnya pula ia tersingkir, diasingkan, dan disalahpahami.
Ibrahim, gelar Datuk Sutan Malaka lahir di Nagari Pandan Gadang, Suliki Sumatera Barat, 2 Juni 1987. Sedari kecil, ia mengaji dengan ayahnya Haji M. Rasyad. Ibrahim kecil juga mempelajari pencak silat, latihan yang kelak membantunya memperkuat tubuh dan kaki ketika melakukan perjalanan panjang menjelajahi dua benua. Pada 1908-1913, Tan Malaka belajar di Kweekschool di Fort de Kock.
Advertisement
Perkenalan Tan Malaka dengan dunia pergerakan dan pemikirian, berlangsung ketika ia belajar di Belanda. Selama kuliah, ia dengan mudah membaca buku dan mengunyah informasi tentang peta pemikiran, ideologi dan politik dunia. Momentum revolusi Rusia, yang menjadi muasal ketertarikan Tan Malaka pada komunisme dan sosialisme. Ia dengan rakus membaca karya-karya Karl Marx, Friedrich Engels, Vladimir Lenin dan Friedrich Nietzsche. Gagasan para filsuf inilah yang menguatkan pondasi pemikiran Tan Malaka, di samping hikmah berupa nilai-nilai agama didikan ayahya.
Kemudian, Tan Malaka bertemu dengan Henk Sneevliet, otak di balik berdirinya Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV), yang menjadi cikal bakal lahirnya Partai Komunis Indonesia (PKI). Dari perkenalan inilah, kemudian Tan Malaka terdorong untuk bergerak melakukan revolusi. Ia masuk ke PKI, namun hanya sebentar, karena bermusuhan dengan tokoh-tokoh PKI yang lain.
Bermula dari kegagalan pemberontakan PKI di Banten dan Sumatera Barat, Tan Malaka dikucilkan. Ia dimusuhi dan dianggap pengkhianat, Trotsky-nya Indonesia. Tan Malaka sudah sejak awal tidak setuju dengan pemberontakan ini, bahkan berusaha mencegahnya. Namun, usaha pemberontakan terus digulirkan Semaun (1899-1971), Alimin Prawirodirjo (1899-1964), dan Musso (1897-1948). Dari peristiwa inilah inilah, Tan Malaka kemudian memisahkan diri dari PKI.
Akan tetapi, jiwa Tan Malaka adalah jiwa revolusi. Ia menulis banyak buku, yang menjadi pondasi pergerakan kemerdekaan Indonesia. Di antara karyanya: Massa Actie (1926), Pari dan PKI (1927), Asia Bergabung (1943), Madilog (1948), Islam dalam Tinjauan Madilog (1948), Gerpolek (1948), Dari Penjara ke Penjara (1970). Bahkan, presiden Soekarno merujuk buku Massa Actie dan mengutip pemikiran-pemikiran Tan Malaka, dalam berpidato ataupun menuliskan gagasan (Poeze, 1976).
Gerilya Tan Malaka
Jalan hidup Tan Malaka bergerak di lorong sunyi. Ia menuntaskan laku untuk berkeliling dua benua, menempuh lebih dari 98.000 km perjalanan darat, dan menyepi dari penjara ke penjara. Laku sunyi Tan Malaka ini bukan tanpa misi, ia terus mengamati, memetakan dan menuliskan hasil renungan sebagai buah karya sekaligus mengobarkan semangat pemuda. Namun, tetap saja Tan Malaka sering disalahpahami. Ia dituduh komunis, antipancasila dan musuh bangsa. Ratusan karya yang membahas tentang Tan Malaka menyisir setiap lorong gelap dalam hidupnya.
Akan tetapi, ada satu hal yang tidak banyak diungkap, yakni sisi spiritual Tan Malaka. Kisah spiritualisme inilah yang sejatinya menjadi argumentasi laku sunyi dan suluk hidup Datuk Ibrahim. Dalam karya ‘Dari Penjara ke Penjara’, Tan Malaka mengenang kisah ketika ia sedang demam.
Ibunya dengan tekun membacakan al-Qur’an yakni surah Yasin. Menjelang tidur, sang Ibu juga sering menceritakan kisah-kisah para nabi. Ibunya juga secara berulang, mengungkapkan tentang kisah perjuangan Nabi Muhammad, yang kemudian menjadi inspirasi gerakan Tan Malaka.
Dalam risetnya, Rudlof Mrazek (1994) mengungkap bahwa Ayah Sutan Malaka, Haji Rasyad, hanya bisa melakukan komunikasi dengan putranya dengan hubungan batin, yang tercipta dari laku suluk dalam tradisi tarekat. Tentu saja, kisah ini tidak banyak diungkap dalam teks-teks dan laporan penelitian yang mengisahkan Tan Malaka.
Laku spiritual Tan Malaka menarik untuk dicermati, agar menjadi perimbangan gerakan politik dan ideologinya. Tan Malaka dibai’at oleh ayahandanya, Haji Rasyad yang berguru pada ulama sufi Syech Ahmad Baru’ah as Suluki. Dari sini, garis keilmuan dan sanad (jejaring ilmu) Tan Malaka dapat dilacak. Syech Ahmad Baru’ah merupakan murid dari Syech Muhammad Dalil bin Muhammad Fatawi (Syech Bayang, 1864-1923), yang mengarang kitab penting: Taraghub ila Rahmatillah (1916). Garis keilmuan Syech Muhammad Dalil, tersambung dengan gurunya, Syech Muhammad Khatib al-Minangkabawi (1860-1916).
Dari jejaring keilmuan ini, dapat dipahami bahwa Sutan Malaka memiliki garis keilmuan yang tersambung dengan ulama Nusantara, yakni melalui garis Syech Khatib al-Minangkabawi. Jika benar demikian, maka Tan Malaka adalah penganut tarekat Naqsyabandiyah, yang tersambung dari ayah dan gurunya, hingga ke Syech Khatib. Laku suluk Tan Malaka kemudian menjadi pondasi dalam perjalanan panjang hidupnya.
Tan Malaka seolah menjadi hantu dalam sejarah Indonesia. Ia memiliki 23 nama samaran, yang menjalin kontak dengan beberapa tokoh perjuangan pada paruh pertama abad XX. Ia berdialog dengan Soekarno (1901-1970), Sjahrir (1909-1966), Sukarni (1916-1971) dan tokoh-tokoh pemuda lainnya. Dari catatan KH. Abdurrahman Wahid (1940-2009), saat masih kecil sekitar tahun 1945, ia sering didatangi tamu ayahandanya, A. Wahid Hasyim (1914-1953). Tamu tersebut mengaku sebagai Paman Husein. Benarlah, bahwa Ilyas Husein adalah salah satu nama samaran Tan Malaka.
Suluk Datuk Ibrahim
Dari biografi hidupnya, menjadi jelas bahwa Tan Malaka adalah perpaduan dari pondasi Islam dan pemikiran kiri. Laku suluk Tan Malaka terlihat dengan bagaimana ia tidak tinggal diam menyusun pergerakan, namun memilih menepi dari ritme pemerintahan. Ia ‘menghilang’ bersama nama samaran dan identitas yang ia kaburkan: berbaju dekil, celana selutut dan topi bundar. Tan Malaka bergerak di lorong sunyi.
Maka, menjadi salah alamat apabila salah satu ormas Islam di Jawa Timur mengklaim Tan Malaka sebagai tokoh komunis, yang haram dibincangkan. Ketua Bidang Nahi Munkar, FPI Jawa Timur, Ustadz Dhofir, mengungkapkan bahwa agenda bedah buku tersebut tidak boleh dilaksanakan, karena “Tan Malaka adalah tokoh PKI yang harus dihilangkan dari negeri ini”. Menyelami Tan Malaka haruslah mengungkap pelbagai sisi hidupnya.
Dari beberapa catatan, ketika berdialog dengan massa, Tan Malaka mengungkap, “Di hadapan Tuhan, saya seorang muslim”. Ungkapan ini menjadi penanda bahwa Tan Malaka ingin menikmati spritualitas dalam kesendirian, namun terus bergerak untuk merawat api revolusi di kalangan pemuda. Satu tujuannya: melawan kolonialisme. Riwayat Tan Malaka berakhir di lereng Gunung Wilis, Desa Selopanggung Kecamatan Semen, Kediri, pada 21 Februari 1949. Hingga kini, sejatinya pemikiran Tan Malaka terus bergema, meski jasadnya telah membujur di alam kubur.
Munawir Aziz, esais dan peneliti, alumnus Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM), Jogjakarta (Twitter: @MunawirAziz)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Yatimul Ainun |
Publisher | : Ahmad Sukmana |