Kopi TIMES

Menguak Makna di Balik Plesetan “Pancasila”

Rabu, 18 Januari 2017 - 04:21 | 202.12k
Ainul Yaqin (Grafis: TIMES Indonesia)
Ainul Yaqin (Grafis: TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTALAGI-lagi Australia, beberapa minggu lalu kita dikejutkan dengan pemberitaan media yang sempat menajdi viral, yaitu Pancasila yang diplesetkan menjadi Pancagila oleh Australia.

Kejadian tersebut berawal dari tulisan Pancasila di ruang pimpinan di sebuah Akademi Militer Pasukan Khusus (SAS) Australia di Perth yang diplesetkan menjadi Pancagila pada bulan Desember 2016 silam.

Advertisement

Hubungan Indonesia-Australia mengalami pasang surut. Pada beberapa tahun silam misalnya intervesi Autralia soal Timor Timor (Timor Leste), penyadapan intelegen Australia terhadap pemerintah Indonesia dan mengungkit-ngunkit bantuan untuk bencana sunami Aceh.

Sebagai respon serius terhadap tindakan Australia tersebut, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dengan tegas memutusan kerja sama militer dengan Autralia sampai waktu yang tidak ditentukan.

Pihak Autralia pun dengan cepat melayangkan surat permohonan maaf kepada militer RI Melalui Air Chief Marshal Mark Donald Binskin.

Permintaan maaf tersebut terkait kurikulum dan pendidikan militer di Australia yang menyinggung masa lalu TNI saat konfrontasi di Timor Leste dan tulisan yang mempelesetkan Pancasila menjadi Pancagila. Pihak militer Australia berkomitmen untuk memperbaiki kurikulum dan akan melakukan investigasi.

Pancasila bagi masyarakat Indonesia adalah ideologi. Ideologi dalam sebuah Negara memiliki peran yang sangat strategis. Ia berposisi sebagai urat nadi, jati diri sekaligus identitas sebuah bangsa.

Selain sebagai ideologi, Pancasila menjadi alat perekat dan pemersatu dari berbagai ragam kalangan yang tumbuh di Indoneia. Nilai-nilai yang terdapat dalamnya diserap dari budaya dan agama yang hidup di Indonesia.

Makna Pancasila

Secara leterlek, Pancasila bermakna “lima dasar”. Namun pemaknaan leterlek tidak cukup memadai untuk mengungkapkan konsep mental dan perasaan masyarakat Indonesia tentang Pancasila.

Sebab kata “lima dasar“ memiliki muatan makna dan nuansa yang berbeda dengan kata “Pancasila” sebagai ideologi walapun sama secara harfiah. Maka pemlesetan kata “lima dasar” menjadi kata ‘lima gila” tidak akan berpengaruh apa-apa baik secara mental mapun politik terhadap masyarakat Indonesia.

Untuk menjelaskan makna Pancasila  secara utuh harus dimaknai secara arbitrer. Ia tidak harus dan selalu terikat dengan makna harfiahnya. Secara arbitrer “Pancasila” memiliki makna yang sangat sakral. Didalamnya terkandung sejarah, nilai-nilai dan cita-cita mulia, aktor dan peradaban. Ia berposisi sebagai jati diri, identitas sekaligus harga diri bangsa Indonesia.

Oleh karenanya, ketika “Pancasila” diplesetkan menjadi “Pancagila”, ia akan memberi makna dan nuansa yang berbeda terhadap masyarakat Indonesia. Itu sama artinya dengan mengingjak-injak harga diri bangsa.

Maka wajar kemudian kalau masyarakat Indonesia tersinggung dan sakit hati. Karena Pancasila sudah menjadi simbol kebangsaan yang menjadi kebanggaannya. Pemlesetan terhadap simbol Negara itu sama artinya dengan pemberangusan terhadap harga diri bangsa. Sebab Pancasila bukan hanya sebatas lima dasar tapi lebih dari itu Pancasila adalah simbol kemenangan, peradaban dan perjuangan.

Sebagai konsep ideologis, ia disusun dari nilai-nilai luhur oleh para pendiri bangsa yang tergabung dalam tim Sembilan, akhirnya menjadi kesepekatan bersama yang dikenal dengan nama Piagam Jakarta (Jakarta Charter). Kekuatan-kekutan budaya, golongan dan agama menyatu dalam satu payung yakni Pancasila.

Tidak ada satu Negara pun di dunia ini yang lebih beragam dibanding Indonesia baik dari sisi sosiologis maupun geograsfis. Perbedaan yang mestinya berpotensi konflik, justeru menjadi kekuatan tersendiri bagi berdirinya bangsa.

Secara ontologis, hakikat Pancasila yaitu ketuhanan dan kemanusiaan. Artinya secara ideologis, orang Indonesia mengakui adanya Tuhan dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini berbanding terbalik dengan sikap Militer Australia yang justeru menghina Pancasila menjadi Pancagila.

Bagi masyarakat Indonesia, kata “gila” memiliki konotasi yang negatif. Ia menggambarkan kebodohan, tak berperadaban, tak bermartabat dan abnormal. Plesetan Pancagila sama artinya dengan mengatakan bangsa Indonesia adalah bangsa yang tidak berperadaban. Secara tersirat mereka menyamakan orang Indonesia dengan orang yang tidak punya peradaban dan menganggap dirinya lebih beradap.

Hal ini sangat naif, apa lagi dilakukan Militer asing dalam sebuah pendidikan. Kalau hal ini dibiarkan akan mengakibatkan hubungan kedua Negara makin tidak sehat. Militer sebagai tulang punggung pertahanan Negara mestinya tetap menjaga hubungan baik dan menghargai bangsa lain untuk menjaga keamanan bersama.

Stigma negatif di kalangan militer Australia terhadap Indoensia tampaknya cukup nyata. Terbukti sikap mereka yang melecehkan TNI dan Pancasila serta tindakan mereka yang tidak etis dan bertentangan dengan ideologi bangsa Indonesia menurut Gatot. Sungguh tidak etis sebuah lembaga pendidikan yang seharusnya menjunjung tinggi nilai kedamaian malah mengajarkan permusuhan.

Praktik tersebut jika dilakukan secara terus menerus akan mengakibatkan rasa kebanggaan warga Indonesia terhadap Pancasila sebagai ideologi akan melemah. Melemahnya rasa kebanggaan akan berujung pada lemahnya rasa nasionalisme.

Hal ini menjadi preseden buruk yang bisa memberi celah mudahnya diadu domba yang berakibat pada lahirnya perpecahan. Hubungan yang memanas akibat ulah Australia bisa jadi dan tidak mustahil dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk memisahkan diri dari Indonesia.

Hal ini terbukti dengan pengebaran bendera Bintang Kejora di Konsulat Jenderal Republic Indonesia (KJRI) Melbourn oleh kelompok Papua Merdeka, yang perlu diwaspadai oleh pemerintah Indonesia. Seperti yang dikatakan Guru besar Hukum Internasional UI, Hikmahanto Juwana.

Bagi kita, Pancasila sudah final sebagai Ideologi pemersatu yang menjadi dasar dalam kebijakan politik dalam dan luar negeri. Kita harus merawat dan menjaganya demi keutuhan NKRI.

Tidak hanya karena menjaga hubungan baik dengan Negara luar kemudian mengorbankan keutuhan dan kehormatan bangsa. Sejatinya, tidak ada satu Negara pun yang tidak butuh terhadap neraga lain.

Di tengah terjadinya dinamika politik bangsa saat ini yang cukup memanas, ideologi tran-nasionalis yang menggema, dan ancaman perpecahan yang selalu menghantui keutuhan bangsa, jangan-jangan, dibalik peristiwa plesetan ada agenda terselubung yang lebih besar yang berakibat buruk terhadap kesatuan NKRI.

Jangan-jangan pula itu adalah akumulasi kebencian yang baru tercium ke publik. Sebab persoalan ideologi adalah persoalan hidup mati, nyawa sebuah bangsa yang mesti kita pertahankan sampai titik darah pengahabisan. Sudah saatnya kita harus lebih waspada dan antisipasif dalam hubungan Bilateral Indonesia-Australia. (*)

*Penulis adalah Ainul Yakin, dosen di Institut Agama Islam Nurul Jadid (IAINJ), Paiton, Probolinggo, Jawa Timur

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES