'Kitab Demokrasi' Kaum Pesantren dalam Momentum Pemilu

TIMESINDONESIA, JAKARTA – SEJAK Indonesia berhasil merebut kemerdekaan, para ulama, kaum santri, sudah sepakat Indonesia menganut sistem pemerintahan yang demokrastis yang berasaskan Pancasila. Karenanya, mengkaji demokrasi dalam dunia pesantren, bukan sesuatu hal yang baru bagi dunia pesantren. Telah lama dunia pesantren menggeluti nilai-nilai demokrasi.
Namun, secara formal, kajian demokrasi mulai dibumikan di dunia pesantren, terlihat ketika muncul program pengembangan masyarakat di pesantren sekitar tahun 1970-an. Tema yang diangkat kala itu memang tidak memakai kata demokrasi, tetapi isu yang dikembangkan mempunyai kemiripan.
Advertisement
Misal, isu pengembangan masyarakat yang diangkat oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), pada awal 1970-an, yang intinya ingin membangkitkan partisipasi masyarakat dalam membangun dan meningkatkan ekonomi. Jika dikaitkan isu demokrasi sekarang, barangkali program tersebut sangat mirip atau bahkan sama dengan program partisipasi aktif untuk menyuarakan kehendak. Hal tersebut adalah saah satu bagian dari pendidikan yang diterapkan di dunia pesantren.
Pendidikan di pesantren, sebagai sub sistem pendidikan nasional, memang diharapkan dapat ikut serta dalam mewujudkan nilai-nilai demokrasi. Sebab dengan keikutsertaan tersebut berarti pesantren telah ikut andil dalam menyiapkan peserta didik untuk terbiasa bebas berbicara dan mengeluarkan pendapat secara bertanggungjawab, terbiasa menghargai pendapat orang lain, menumbuhkan keberanian moral yang tinggi, terbiasa bergaul dengan rakyat, ikut merasa memiliki dan telah banyak mempelajari kehidupan masyarakat.
Sejak Pemilihan Umum (Pemilu) pertama Indonesia tahun 1955, yang bertujuan untuk memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante, dengan jumlah kursi DPR yang diperebutkan berjumlah 260, sedangkan kursi Konstituante berjumlah 520 (dua kali lipat kursi DPR) ditambah 14 wakil golongan minoritas yang diangkat pemerintah, pesantren sudah ikut serta menjadi bagian arus utama perubahan politik saat itu.
Para kiai dan alumni pesantren sudah menjadi daya tarik politik yang sangat kuat karena dapat berkomunikasi langsung dengan masyarakat. Walaupun saat itu, terjadi “sulap politik” yang tidak sesuai dengan realitas yang ada. Hal ini dapat dilihat, banyak penelitian yang mengungkap signifikansi antara peran kiai yang dapat mendulang suara cukup signifikan atas kepentingan partai politik yang ada.
Sejak Pemilu pertama Indonesi (1955) hingga pemilu 2014, sudah banyak para kiai atau ulama yang terjun kedunia politik. Bahkan juga banyak lulusan pesantren yang terlibat secara aktif dalam perubahan politik secara nyata. Misalnya, naiknya tokoh pesantren seperti Gus Dur (almarhum KH Abdurrahman Wahid) menjadi presiden, lulusan pesantren yang menjadi anggota dewan hingga menjadi ketua umum partai politik. Hal ini adalah bukti nyata dari pergeseran peran politik kiai di tingkat politik yang lebih besar.
Di sisi lain, saat ini juga banyak NGO dan LSM serta kelompok studi yang anggotanya adalah lulusan pesantren, sangat aktif menyuarakan demokrasi dan menjadi pendukung utama konsolidasi demokrasi di Indonesia. Diskusi para pakar alumni pesantren yang terpublikasi dalam beberapa buku "Pergulatan Pesantren dan Demokratisasi", "Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan" serta “Bakiak Politik Sorban Negarawan" dan ratusan buku lainnya, juga membuktikan bahwa mereka ternyata tidak asing dengan nilai-nilai demokrasi, seperti pluralisme, kesetaraan, dan sebagainya.
Perjumpaan dengan berbagai masalah-masalah keduniawian seperti persoalan kekuasaan dan pergaulan social, sangat memungkinkan masuknya nilai-nilai demokrasi sebagai alternatif lain untuk memecahkan persoalan-persoalan tersebut. Salah satu contoh yang terkait dengan persoalan kepemimpinan di pesantren adalah suksesi atau pergantian kepala asrama pondok, yang biasanya terjadi di pesantren salaf.
Keberadaan kepala kamar pondok yang biasanya diamanahkan kepada seorang ustadz senior untuk menjadi wakil kiai, adalah juga membuktikan bahwa ada praktik demokrasi di pesantren, karena "kepala kamar pondok" biasanya dipilih oleh para santri. Walau tidak bisa dinafikan bahwa meski telah dibentuk pengurus yang bertugas melaksanakan segala sesuatu yang berhubungan dengan jalannya pesantren sehari-hari, kekuasaan mutlak senantiasa masih berada di tangan sang kiai.
Namun, dengan ikut sertanya pesantren dalam proses pembumian demokratisasi di Indonesia, harus diakui, bahwa tantangan yang dihadapi pesantren semakin hari semakin besar, kompleks, dan mendesak sebagai akibat semakin meningkatnya kebutuhan pembangunan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tantangan ini menyebabkan terjadinya pergeseran-pergeseran nilai di pesantren, baik nilai yang menyangkut sumber belajar maupun nilai yang menyangkut pengetahuan pendidikan. Hal tersebut, jelas akan memaksa pesantren untuk mencari bentuk baru di era modern saat ini.
Saat ini, kiai sudah bukan lagi merupakan satu-satunya sumber belajar, meski kedudukan kiai di pesantren masih tetap merupakan tokoh kunci. Menyadari semakin banyaknya buku terjemahan yang beredar, tak harus terpusat pada kitab salaf, kiai akhirnya merestui santri belajar apa saja asal tetap pada aqidah-syariah agama dan berpegang pada moral agama dan Islam yang rahmatal lil alamain (rahmat bagi seluruh alam).
Pesantren juga mempersilahkan santri belajar di lembaga formal di luar pesantren. Bahkan pesantren juga sudah banyak yang menyelenggarakan pendidikan formal, di samping masih menyelenggarakan sistem diniyah. Perubahan ini menunjukkan inklusivitas pondok pesantren dalam menyikapi arus perubahan dari luar. Munculnya kelompok generasi muda jebolan pesantren yang terlibat dalam diskusi ide-ide tentang perubahan kemungkian besar juga karena mendapat bekal pola pikir inklusif di pesantren.
Inklusivitas pesantren, juga ditunjukkan dengan akomodatifnya pesantren terhadap produk-produk teknologi sebagai dampak dari modernisasi dan globalisasi. Dengan masuknya produk teknologi modern yang tak lain adalah media global, sudah barang tentu membuka lebar bagi masuknya nilai-nilai global, seperti nilai-nilai demokrasi, ke dalam pesantren. Sebab melalui media global, semacam televisi, persoalan demokrasi baik di dalam maupun di luar negeri merupakan pemberitaan yang mendapatkan porsi cukup besar.
Maka dengan semakin intensnya pesantren mengakses produk teknologi global, akan menjadikan santri semakin luas wawasan berpikirnya, termasuk dalam kaitannya dengan persoalan demokrasi. Secara konvensional, pesantren memang tidak secara khusus melakukan pendidikan demokrasi, tetapi bukan berarti tradisi di pesantren jauh dari tradisi yang demokratis.
Tradisi keilmuan para santri adalah tradisi yang demokratis, seperti adanya penghargaan atas perbedaan, menganggap wajar pluralitas, sikap tasamuh atau toleransi, tawassuth atau jalan tengah, tawazun atau keseimbangan, dan i'tidal atau bersikap adil. Sikap inilah yang menjadi “kitab demokrasi” bagi kaum pesantren dalam setiap momentum Pemilu.
Pada setiap momentum pemilihan sosok pemimpin, mulai dari Pemilihan Kepala desa (Pilkades), Pemilihan anggota legislatif (Pileg), Pemilihan kepala daerah bupati atau walikota (Pilkada) hingga Pemilihan presiden dan wakil presiden (Pilpres) pesantren selalu menjadi target sasaran para calon untuk mendulang suara kaum pesantren.
Misalnya pada Pilpres tahun 2014 lalu, para kandidat calon presiden dan wakil presiden tak pernah lepas untuk mendatangi banyak pesantren. Dukungan para kiai seakan menjadi “azimat” salah satu calon. Dua kandidat calon presiden yakni Prabowo Subianto dan Joko Widodo berebut dukungan dari para kiai. Hal tersebut adalah salah satu bukti, bahwa sosok kiai dan dunia pesantren tak bisa dilepaskan dari proses salah satu terciptanya demokratisasi di Indonesia.
Pesantren yang sejak awal dijadikan sebagai basis religious education masyarakat ternyata mampu menunjukkan eksistensinya dengan keberhasilannya dalam mengambil peran sentral terhadap peningkatan pengetahuan masyarakat di bidang agama. Selama ratusan tahun, pesantren telah terbukti konsistensinya dan keberhasilannya dalam menjalankan tanggung jawab untuk mencerdaskan masyarakat.
Pada dinamika politik tanah air mutakhir pada Pilpres 2014 lalu, telah menarik pesantren dalam wilayah politik praktis sekaligus menciptakan berbagai konstalasi politik dalam tubuh kaum santri. Dalam kelanjutannya, situasi demikian menjadikan pesantren harus menghadapi berbagai dilematika persoalan yang menguji konsistensi dan istiqamah pesantren terhadap persoalan umat dan bangsa secara keseluruhan.
Sebagai contoh KH Maimoen Zubair, pengasuh pondek pesantren Al-Anwar Sarang Rembang menyatakan dukungannya kepada Calon Presiden nomor urut 1 Prabowo-Hatta yang menyatakan bahwa "dengan kemenangan Prabowo insyaallah Indonesia akan menjadi Negara yang Gemah Ripah Loh Jinawi, walau bangsa Indonesia ini berbeda-beda tapi tetap satu tubuh."
Di Jawa Timur, akibat banyak kiai ikut berpartisipasi dalam percaturan Pilpres 2014 lalu, tak jarang pesantren secara kelembagaan ikut mengkampanyekan kepada masyarakat untuk menentukan pilihan di bilik suara dan tidak menjadi golongan putih (golput). Terbukti di wilayah Malang, kaum intelektual pesantren bekerjasama dengan kaum intelektual di beberapa perguruan tinggi membentuk "Laskar Santri Anti Golput".
Laskar Santri Anti Golput tersebut dinilai sangat efektif untuk membantu penyelenggara pemilu menyosialisasikan supaya masyarakat tidak golput saat Pilpres. Hampir semua pesantren di Malang Raya (Kabupaten Malang, Kota Malang dan Kota Batu), para kaum sarungan menjadi pelopor anti golput. terutama di internal pesantrennya.
Usai Pilpres, pemenangan Pilpres, Jusuf Kalla, yang digandengan Joko Widodo menjadi Wakil Presiden langsung kembali bersafari mendatangni banyak pesantren untuk menyampaikan ucapan terima kasih karena banyak pesantren dan kiai yang telah mendukungan dan akhirnya keluar menjadi pemenang. "Terima kasih kepada pesantren dan para kiai, terutama warga NU yang mendukung pasangan Jokowi-JK," kata Jusuf Kalla, seperti dilansir sebuah media online.
Di wilayah Tapal Kuda (Banyuwangi, Jember, Probolinggo, Situbondo, Bondowoso, Pasuruan dan Lumajang), serta Madura, yang "menjamur" lembaga pondok pesantren, terlihat menjadi 'ladang emas' bagi calon presiden dan wakil presiden untuk meraih dukungan. Dengan partisipasi para kiai dan pesantren, jelas angka golongan putih bisa ditekan.
Selain itu, pada Pilpres 2014 lalu, pesantren sudah menjadi salah satu "komoditas politik" yang secara kualitatif dan kuantitatif diperhitungkan sebagai basis kekuatan politik. Komodifikasi ini terutama memanfaatkan posisi, kepemimpinan dan otoritas yang dimiliki oleh para kiai pengasuh pesantren, baik terhadap santri mereka maupun terhadap pandangan sosial masyarakat Indonesia secara umum.
Dalam aspek kualitatif, komodifikasi pesantren ditempuh melalui peran kiai yang memiliki posisi strategis untuk dapat dijadikan salah satu key-speaker, "alat bujuk rayu" atau "sumber justifikasi" kekuasaan, di mana secara emosional logika politik ditempatkan pada hal-hal yang bersifat mistis. Bangunan kekuasaan politik yang tercipta pun berangkat dari gelembung mistifikasi kekuatan atas nama kiai. Kekuasaan etis yang dimiliki oleh kiai—berupa simbol-simbol, nilai, norma dan sebagainya—dengan sengaja diarahkan dan ditujukan untuk menjadi legitimasi politik atas sebuah kekuasaan.
Sedangkan dari segi kuantitatif, komodikasi pesantren memanfaatkan sebuah situasi ketika hubungan kiai dengan masyarakat telah terpatok dalam relasi patron-client. Kekuasaan politik pun ingin didukung oleh kekuasaan massa riil kiai dengan membawa sejumlah dukungan atas nama agama. Karisma, kepandaian, kesaktian dan garis silsilah keluarga kiai dijadikan sebagai pendulang suara massa yang dipergunakan untuk memback up setiap kepentingan politik. Maka, banyak dijumpai mobilisasi-mobilisasi massa demi kepentingan politik atas nama agama (kiai).
Model politisasi pesantren lantas menjadi satu wilayah terbuka dan selain itu juga menjadi pentas perebutan basis kekuatan politik yang bisa dijadikan jaminan bagi upaya membangun kekuasaan baru atas nama rakyat. Bahkan, setiap kali menjelang pemilu, seolah pesantren berganti wajah; dari semata-mata sebagai basis edukasi tradisi berubah menjadi basis konsolidasi kekuasaan.
Penulis menilai, bahwa pada Pilpres tahun 2014 lalu, menjadi tahun paling ‘panas’ dan menegangkan dalam iklim demokrasi di Indonesia. Sebuah kenyataan yang mendebarkan, sebab nasib Indonesia ke depan, begitu bergantung pada pelaksanaan Pilpres. Tentu saja kita tidak mau nasib bangsa begitu saja tergadaikan dan tercederai oleh praktik politik praktis.
Praktik politik yang tak bersendikan etika, penuh manipulasi, dan politik transaksional. Karena itu menurut ulama Syafi'iyah, politik harus sesuai dengan prinsip syari'at Islam, yaitu setiap upaya, sikap dan kebijakan harus diarahkan untuk mencapai tujuan umum prinsip syari'at (maqashidus syari’at). Tujuan tersebut di antaranya: Pertama, menjunjung tinggi kebebasan beragama sebagaimana Islam yang memiliki spirit membebaskan.
Kedua, mengembangkan nalar sehat untuk kemaslahatan umat. Ketiga, melindungi jiwa raga setiap manusia dari segala bahaya dan memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang primer, sekunder, maupun tersier. Keempat, menjaga harta kekayaan dengan pengembangan usaha komoditasnya dan menggunakannya tanpa eksploitasi. Kelima, memelihara keturunan dengan memenuhi kebutuhan fisik mau pun rohani.
Pesantren selalu menjadi magnet para politikus (pejabat) yang menghasilkan. Tak pelak, mereka tak segan melakukan berbagai safari politik ‘dadakan’ dengan melakukan ziarah ke para wali dan kiai, silaturahmi ke kiai-kiai pesantren, dan aktivitas yang dianggap religius lainnya. Realitas politik semacam itu, karisma kiai merupakan sesuatu yang menggoda bagi siapapun yang berkuasa. Akibatnya, sering kali kiai didekati oleh para pejabat untuk meraih simpati masyarakat.
Mengutip apa yang disampaikan Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) yang dimuat dalam media, “Pondok pesantren memegang peranan penting dalam proses terciptanya demokratisasi di Indonesia. Sehingga harus diberi porsi lebih dalam pendidikan politik di pesantren.” Hal tersebut disampaikan Jokowi saat mengakhiri safari silaturahmi ke Ponpes di Jawa Barat, di Pesantren Miftahul Huda, Banjar, pada Juni 2014 lalu.
Pesantren tak hanya menarik dalam percaturan dinamika politik. Namun, juga menarik untuk dikaji dan diteliti. Meskipun selama ini banyak peneliti menjadikan pesantren sebagai objek kajian, selalu saja tersedia perspektif tertentu yang belum bisa diungkap. Hal tersebut menunjukkan bahwa pesantren memiliki kekayaan khazanah pengetahuan sosial yang dapat diteliti dari berbagai aspek keilmuan.
Posisi pesantren yang demikian menjadi bukti bahwa pesantren bukan hanya lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia dan masih tetap eksis hingga kini, tetapi juga merupakan entitas sosial yang memiliki pengaruh cukup kuat sekaligus unik dalam sistem politik di Indonesia.
Hal tersebut dapat dilihat dari perhatian yang diberikan kekuatan-kekuatan poltik: partai politik atau para politisi yang selalu melakukan kunjungan politik ke pesantren-pesantren yang berpengaruh di berbagai daerah untuk menggalang dukungan politik. Sejak era reformasi yang ditandai demokratisasi dan keterbukaan sistem politik, sikap politik kaum santri dirasakan semakin menonjol. Apalagi sosok KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, yang juga seorang santri, berhasil menjadi presiden kelima RI. Komunitas pesantren dan para kiai yang memimpin pesantren mengalami euforia politik, sehingga ramai-ramai terlibat dalam politik praktis.
Sejauh ini perdebatan tentang keterlibatan pesantren dalam politik selalu berada dalam tarik-menarik dua pendapat yang saling bertolak belakang. Tarik-menarik tersebut antara pendapat yang mengabsahkan serta menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar dan pendapat yang mengkritiknya dengan keras sebagai pengingkaran terhadap fungsi pesantren sebagai lembaga pendidikan yang seharusnya selalu menjaga independensi dan posisi politik.
Pendapat pertama mengasumsikan bahwa komunitas pesantren bagaimanapun juga merupakan entitas yang memiliki hak dan aspirasi politik sebagaimana warga negara lain. Mereka didukung oleh argumentasi teologis bagaimana dan mengapa praktik politik praktis dipilih. Pendapat ini semakin kokoh apalagi disokong realitas semakin banyak pemimpin pesantren (kiai) yang terjun dalam dunia politik langsung maupun tidak.
Pendapat kedua mengkritik dengan keras bahwa keterlibatan pesantren dalam dunia politik lebih banyak mendatangkan bahaya daripada manfaat. Hal ini mengacu pada realitas politik kekinian yang sering dianggap “kotor”. Karena itu, bagaimanapun baik dan kokoh landasan serta argumentasi teologisnya, pesantren yang terlibat politik akan terseret ke dalam dunia yang “kotor” pula. Perdebatan seperti itu memang tidak akan pernah selesai, sebab masing-masing akan menunjukkan berbagai argumentasi etis maupun praksis untuk mendukung pendapat masing-masing.
Yang jelas, fungsi dasar pesantren adalah sebagai lembaga pendidikan Islam. Namun, pesantren juga memiliki pengaruh dan peran politik yang penting di tengah-tengah masyarakat tradisional. Oleh sebab itu, pesantren selalu berada dalam pusaran arus tarik-menarik kepentingan politik, sehingga tidak sedikit pesantren yang akhirnya melibatkan diri dalam politik. Tingkat intensitas dan bentuk keterlibatan pesantren dalam politik bisa bermacam-macam, baik secara langsung maupun tidak, sebagaimana kita saksikan pada pelaksanaan momen-momen politik seperti Pemilihan umum (pemilu), pemilihan presiden (pilpres), atau pemilihan umum kepala daerah (Pilada).
Menurut BJ. Bolland di dalam bukunya berjudul “The Struggle of Islam in Modern Indonesia” mengatakan bahwa ketertarikan umat Islam kepada partai politik bukan saja disebabkan oleh kamampuan partai politik memperjuangkan dan membela kepentingan Islam, tetapi lebih karena adanya tipologi umat Islam dalam memandang hubungan politik dengan Islam.
Terdapat tiga tipologi dalam berpolitik ketika dihadapkan dengan Islam, yaitu tipologi ideologis, tipologi kharismatik, dan tipologi rasional. Dalam tipologi ideologis, umat Islam memosisikan berpolitik sama dengan beragama Islam, sehingga semangat pembelaan politik sama dengan semangat membela dan memiliki Islam.
Memilih sebuah partai politik sama dengan memilih agama Islam, dan seterusnya ketaatan dalam politik sama dengan ketaatan menjalankan ajaran Islam. Sedangkan tipologi kharismatis mengasumsikan bahwa umat Islam memilih sebuah partai politik mengikuti sikap dan perilaku sesorang yang dikagumi di sekitarnya.
Apa yang dikatakan dan dilakukan figur selalu menjadi rujukan masyarakat. Akibat kekaguman yang berlebihan, umat Islam sering tidak mampu bersikap dan berpikir rasional. Dalam tipologi rasional, kemampuan umat Islam dalam memilih partai politik (atau disebut sikap politik) benar-benar didasarkan pada pandangan rasional.
Memilih atau tidak memilih partai politik tertentu dilihat dari kemampuan partai politik menawarkan program yang dapat memperbaiki atau memperjuangkan nasib rakyat. Menurut Khoirudin, dalam bukunya berjudul “Politik Kiai”, saat ini mayoritas umat Islam masih menempati posisi tipologi pertama dan kedua ketimbang tipologi ketiga.
Karena itu, ketika umat Islam memandang bahwa berpolitik sama dengan beragama Islam, karakter itu akan mendorong munculnya tokoh-tokoh agama sebagai tokoh politik. Persoalan umat yang bersinggungan dengan kepentingan politik tidak lagi ditangani oleh politisi profesional, tetapi diambil alih oleh kiai dan tokoh-tokoh pesantren yang merasa memiliki pengaruh dan otoritas keagamaan lebih besar atas umat yang dipimpinnya.
Dengan demikian keterlibatan pesantren dalam politik sesungguhnya membuktikan bahwa setiap pesantren dan kiai memiliki cara sendiri-sendiri sesuai sejarah pesantren, spektrum pengaruh pesantren di tengah masyarakat, potensi peluang politik yang dimiliki, serta seberapa besar tarikan politik eksternal yang mereka alami.
Proses-proses politik yang terjadi di pesantren menunjukkan bahwa keterlibatan pesantren dalam politik didorong oleh motif politik yang beragam. Bisa saja karena dorongan dan kekuatan yang berasal dari dalam pesantren, atau faktor individu untuk mencapai sebuah tujuan tertentu.
Namun, keterlibatan pesantren di ranah politik yang semakin marak akhir-akhir ini secara nyata telah menimbulkan berbagai dampak cukup signifikan. Pertama, keterlibatan pesantren dalam politik secara nyata telah mendeligitimasi peran pesantren sebagai otoritas moral dan referensi keagamaan. Banyak pesantren mengalami penurunan kualitas karena kiai atau pimpinan pesantren lebih sibuk berpolitik.
Kondisi itu membuat masyarakat memandang pesantren tidak lagi objektif dalam sikap-sikap politiknya, karena cenderung menguntungkan kelompok politik tertentu sehingga terjadi delegitimasi peran pesantren.
Kedua, pesantren telah turut mengukuhkan politik pragmatis karena pesantren telah menjadikan politik sebagai ajang untuk mempertukarkan dukungan politik dengan kompensasi-kompensasi materi yang diterima—suatu kondisi yang semakin menjauhkan pesantren dari masyarakat. Ketika masyarakat mulai menyoroti sikap politik pesantren yang dianggap hanya merusak independensi pesantren dan memecah umat ke dalam politik partisan.
Ketiga, terjadi resistensi masyarakat atas sikap politik pesantren. Hal tersebut secara nyata dapat disaksikan dalam sikap politik masyarakat yang seakan-akan membangkang terhadap pilihan politik pesantren. Karena, seiring demokratisasi dan perkembangan pendidikan, masyarakat semakin bisa membedakan antara sikap pesantren sebagai sikap keagamaan yang patut dicontoh, ditaati, dan diteladani serta sikap pesantren yang sebetulnya murni politik kepentingan yang tidak berkaitan dengan ajaran keagamaan sehingga tidak harus ditaati.
Dengan demikian, kedepan pesantren perlu berhati-hati dalam menentukan sikap politiknya, sebab keterlibatan politik pesantren memiliki dampak yang tidak sebanding dengan manfaat yang diperoleh. Apalagi bila kesibukan politik telah melalaikan kiai maupun pengelola pesantren dari urusan pendidikan di pesantren.
Mungkin di masa depan, pesantren perlu melakukan revitalisasi peran politik yang lebih sesuai dengan semangat zaman dan keinginan masyarakat yang sudah semakin rasional. Bagaimanapun
politik pesantren pada dasarnya bukan politik kekuasaan, tetapi politik kerakyatan yang begerak pada ranah kultural. (*)
*Abdul Holik, Anggota KPU Kabupaten Malang Periode 2014-2019
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Yatimul Ainun |
Publisher | : Rochmat Shobirin |