
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Perbincangan publik hari ini berayun dan berlabuh pada kambuhnya isu kebangkitan Partai Komunisme Indonesia (PKI) melalui penayangan kembali film “Pengkhianatan G30S/PKI” besutan Arifin C. Noer.
Apakah PKI benar-benar bangkit untuk balas dendam karena telah ditumpas tandas pada tahun 1965-1966 sebagaimana yang dikhawatirkan oleh sejumlah kalangan sehingga kebangkitan mereka perlu direm melalui penayangan sebuah film? Apakah film tersebut cukup efektif sebagai instrumen pelanggengan pewarisan dan pengawetan memori buruk terhadap PKI? Tulisan ini akan menguraikan pertanyaan tersebut.
Advertisement
“Hantu PKI”
Membicarakan dan mengidentifikasi wujud dan gerak PKI hari ini sesulit mengindra dengan tepat kata ‘oknum’. Ia secara semantik memiliki konsep (thought) dan simbol, baik berupa bunyi maupun kata itu (symbol), tetapi ia tidak memiliki referen atau acuan yang konkret-maujud (referent). Secara semiotik, PKI adalah penanda (signifier) yang kehilangan petanda (signified); ia memiliki bentuk (kerangka), tetapi ia tidak memiliki signifikansi atau perujukan yang konkret. Atau referennya sepenuhnya kalis dan ghaib sehingga ia tidak mampu menghadirkan arti yang sesungguhnya.
Karena ia tidak memiliki rujukan konkret, PKI mirip dengan ‘hantu’. Maka, ia menjadi menakutkan karena sesiapun berpotensi untuk dijadikan ‘korban rujukan’ atau masyarakat mengenal ‘di-PKI-kan’. Ia menjadi instrumen politik baru bahwa sesiapapun yang ditempeli cap PKI, maka akan luruh dan perlahan musnahlah karier politiknya.
Terkait dengan penayangan kembali film itu, apa yang dilakukan pemerintah hari ini sejatinya adalah upaya pewarisan dan pengawetan ingatan buruk terhadap PKI. Sehingga kata PKI--menurut saya--mempunyai cakupan arti atau dimensi arti yang diasosiasikan secara berbeda antar-generasi.
Dengan kata lain, kata PKI di-angan-kan berbeda-beda: pertama, bagi sisa generasi 1960an yang masih hidup, kata PKI tampak menakutkan, menyeramkan, dan dendam yang tak tuntas karena mereka mengalami secara nyata peristiwa berdarah itu; kedua, bagi generasi 1970/80an yang hidup dalam masa kejayaan dan keperkasaan awal Orde Baru, kata PKI membawa dampak arti yang traumatik dan menakutkan karena mereka mengerti nestapanya nasib apabila terendus ‘tidak bersih lingkungan’; ketiga, generasi ‘90an tatkala masa-masa sekolahnya wajib menonton dan membuat resume film itu merupakan ‘generasi yang mejan’, yaitu generasi yang tidak berhasil dengan baik dalam proses pewarisan ingatan itu.
Mereka sudah disiapkan untuk menerima pewarisan ingatan, tetapi tidak berhasil karena terburu meledaknya reformasi. Akhirnya, buyarlah proses indoktrinasi itu. Kemungkinan, generasi ini mampu mensintesiskan dengan apik peristiwa itu karena mereka mampu menerima informasi secara seimbang.
Bagaimanakah dengan generasi sekarang (generasi milenial)? generasi yang terpaut jauh dengan peristiwa itu, apakah ia bisa diwarisi ingatan buruk tentang PKI melalui sebuah film? generasi ini tumbuh tanpa beban masa lalu; mereka generasi yang bebas mengekspresikan dirinya sekehendak mereka, apalagi generasi Z ini berpikir dan bernalar dengan cara cepat, praktis-pragmatis, dan bersifat ikonik.
Apakah pewarisan dan pengawetan ingatan buruk terhadap PKI cukup ampuh melalui penayangan kembali film itu?
Gumerah Bocah (childlore)
Satu minggu sebelum mewabahnya isu bangkitnya bahaya laten komunisme, Kiai Kanjeng dan Cak Nun menggelar pertunjukkan di Universitas Brawijaya Malang pada 13 September 2017, ada satu pertunjukkan yang memiliki kegayutan pada pembahasan ini, yakni pelantunan jenaka gumerah bocah, yang oleh Kadarisman (2016) dipadankan dengan childlore dalam tradisi Amerika dan Inggris.
Gumerah bocah adalah aktualisasi suka cita verbal anak-anak yang berada di pelosok pedesaan. Ia adalah prasasti keceriaan anak-anak yang berwujud lagu anak-anak.
Secara linguistik, gumerah bocah ditandai dengan permainan vokal melingkar sempurna dan memiliki rujukan benda-benda yang terikat oleh budaya setempat, yang lumrah disebut ungkap-lekat-budaya (culturally loaded expression), misalnya gethuk, nagasari, jenang kathul, dll.
Ia tidak bisa diterjemahkan melalui padan leksikal. Ia membutuhkan penjelasan yang bersifat kebudayaan. Dalam pertunjukan itu Novi Budianto, personil Kiai Kanjeng; pemain saron, menyanyikan gumerah bocah yang jamak ditemui di dusun-dusun Jawa pada tahun 1950an dan 1960an berikut teks yang dinyanyikan tersebut.
Minak Jingga… ayo gaa.../godong tela………ayo la..../landa gendeng…... ayo deng..../dengkul jaran……. ayo ran.... /rante kapal………..ayoo pall...//palu arit…../Pe Ka i…… ayo iiii../iwak babi…… ayo bi../bintang sabit………..//Masjumi………ayo ii
Gumerah bocah di atas dinyanyikan dengan jenaka oleh Novi Budianto sebagai wakil generasi 1960an. Pelantunan gumerah bocah itu mengundang riuh-tawa para hadirin yang memenuhi Gedung Samantha Krida Universitas Brawijaya.
Padahal, pada tahun 1950an dan 1960an gumerah bocah tersebut digunakan untuk mengolok-olok Partai Masjumi.
Hal itu, setidaknya, dapat ditelisik pada penyandingan frasa iwak babi ‘daging babi’ yang didekatkan dan diikuti frasa ‘bintang sabit’ sebagai simbol partai Masjumi kala itu. Hal ini sontak membuat pendukung Masjumi geram karena penyandingan hal yang jelas-jelas haram dan menjijikkan disandingkan pada simbol luhur mereka.
Memang, gumerah bocah pada waktu itu berfungsi sebagai instrumen politik menjelang pemilu 1955 dan perebutan pengaruh terhadap Soekarno (Sutarto 2009) dalam buku “Mulut Bersambut: Sastra Lisan dan Folklor Lisan sebagai Instrumen Politik pada Era Soekarno dan Soeharto”.
Hal ini menjadi penanda penting bahwa masa itu semua partai politik menggunakan folklore, sastra lisan, ludruk, dan seni pertunjukkan lainnya sebagai corong kepentingan dan keberpihakan ideologi.
Dalam pertunjukkan itu, kejenakaan itulah yang hadir dan sepenuhnya menghibur. Memang, perhelatan Kiai Kanjeng dan Cak Nun adalah ajang pelarutan penderitaan dan kesedihan yang disandang oleh sebagian besar Jamaah Maiyah.
Mereka duduk sejenak untuk merasakan kebahagiaan dan kejenakaan bersama. Sesekali menertawakan kekonyolan diri sendiri. Ringkasnya perhelatan itu memiliki fungsi katarsis atas keresahan masyarakat bawah dari himpitan ekonomi hingga permasalahan sosial yang pelik.
Fungsi katarsis itu diperagakan dengan baik oleh Novi Budianto. Ia selayaknya kakek yang mencoba menghibur cucunya melalui gumerah bocah. Gumerah bocah tersebut mampu menghibur dan tilas konflik yang melekat pada teks itu tidak hadir sepenuhnya. Ia malah menjadi ajang tertawaan terhadap kondisi politik masa itu.
Gumerah bocah dan penayangan kembali film itu, yang pernah mengemban fungsi instrumen politik pada masanya, disuguhkan dalam konteks dan semangat zaman yang benar-benar beda. Tentu saja, ia akan mengundang respon yang masygul dan ganjil.
Penayangan kembali film itu, menurut saya, akan mengundang respon kekonyolan dan ajang menertawakan kebodohan sejarah yang telah lewat. Ia justru akan memantik pertanyaan usil generasi milenial: “eh lu tau gak akun FB n IGnya Aidit?”, dan itu adalah seloroh bocah generasi milenial yang kepo terhadap sejarah kelam bangsanya.
*Pengampu matakuliah Semantik dan Linguistik Kebudayaan pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Yatimul Ainun |
Publisher | : Rizal Dani |