Kiai Saleh Lateng Banyuwangi, Tradisi Istifta' dan Jejak Intelektualnya

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Salah satu ulama Banyuwangi, Jawa Timur, yang memiliki reputasi di tingkat nasional, bahkan internasioanl adalah KH Kiagus Saleh Syamsudin Lateng. Ulama yang wafat pada tahun 1951 tersebut, memiliki koneksi dengan ulama yang berada di Haramain (Makkah dan Madinah).
Ia terbiasa berkirim surat dengan ulama-ulama di sana. Baik yang berasal dari nusantara yang mukim di sana, atau ulama asli kota Makkah.
Advertisement
Surat menyurat Kiai Saleh dengan ulama di Haramain tersebut, tidak sekadar menanyakan kabar. Namun, berisi tentang masalah-masalah keilmuwan. Seperti halnya tentang istifta’ atau meminta fatwa.
Salah satu surat yang berbentuk istifta’ dari Kiai Saleh Lateng terekam dalam kitab Al-Ajwibah Al-Makkiyah ala Al-As’ilah Al-Jawiyyah. Kitab tersebut ditulis oleh Qadhiul Qudhot sekaligus mufti Haramain, Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Siraj (w. 1949). Kitab tersebut ditulis pada 1340 H atau 1922 M.
Dalam kitab fatwa tersebut, Kiai Saleh bersama para ulama asal Nusantara meminta fatwa atas beberapa permasalahan keagamaan yang timbul di Jawa. Sebagaimana dicatat dalam kata pengantar, Syekh Abdullah Siraj menyebutkan beberapa nama pengirim suratnya.
“Telah datang kepadaku sepucuk surat dari salah satu kota negeri Jawi yang ditandatangani oleh beberapa ulama negeri itu, (yaitu) al-Mukarram Syaikh Zubair ibn Abdul Qudus, Al-Haj Abdullah Faqih bin Ismail, Al-Haj Abdul Fattah bin Umar, Al-Haj Abdurrahim Giri, Al-Haj Muhammad Shiddiq Jember, al-Mukarram Muhammad Syamsuddin Banyuwangi, Al-Haj Abdul Aziz Banyuwangi, Al-Haj Ahmad Banyuwangi, al-Mukarram Abu Dzar, al-Mukarram Ahmad Sanusi, al-Mukarram Ma’ruf Kediri,” tulis Syekh Abdullah.
Dalam kata pengantar tersebut, nama Kiai Saleh Lateng ditulis dengan nama lainnya yang digunakan seusai menunaikan ibadah haji, Muhammad Syamsudin. Ini tentu informasi penting dalam menelusuri kiprah pendiri Nahdlatul Ulama (NU) Banyuwangi tersebut, terutama dalam ranah pemikiran.
Selama ini, setidaknya dari biografi stensilan yang ditulis oleh Abdul Manan Syah maupun manaqibnya yang dianggkat oleh Kiai Suhaimi Rafiuddin, lebih menonjolkan kiprah Kiai Saleh dalam ranah pergerakan dan perjuangan serta karomah-karomahnya saja. Sisi intelektualitas yang sebenarnya cukup menonjol amat sedikit sekali diperbincangkan.
Menyimak pengantar di atas, memberikan pemahaman bahwa para ulama tersebut tentu terlibat dalam forum diskusi (bahtsul masa’il) untuk membahas berbagai permasalahan keagamaan. Untuk memastikan jawaban akan permasalahan-permasalahan tersebut, mereka lantas meminta fatwa ke Qadhi di Haramain, sebagaimana yang jamak dilakukan oleh para pendahulu mereka.
Tentu saja, permohonan fatwa ke Haramain tidak begitu saja bisa dilakukan jika tak memiliki jejaring kesana. Biasanya, permasalahan-permasalahan di Nusantara yang diajukan ke Haramain itu, melewati para santri-santri Nusantara yang sedang menuntut ilmu di sana. Kiai Saleh yang sempat bermukim selama tujuh tahun (1895 – 1902) di Mekkah, tentu sudah memiliki jejaring yang terbangun untuk melakukan hal tersebut. Jadi, tidak heran jika namanya tercantum dalam tradisi istifta’ tersebut.
Keterlibatan Kiai Saleh dalam tradisi istifta’, juga dapat dilihat dari sebuah surat yang ditulis oleh KHR. Asnawi Kudus. Dalam surat yang terdiri dari enam lembar tersebut, berisi tentang jawaban atau fatwa yang dikeluarkan oleh Kiai Asnawi saat tinggal di Mekkah atas permasalahan keagamaan yang diajukan dari Nusantara. Surat yang masih berupa manuskrip tersebut, saya dapatkan dari sela-sela kitab koleksi Kiai Saleh sekitar Ramadan tahun lalu (1437 H).
Awalnya, surat yang menjawab tentang permasalahan kebolehan manaqib Syekh Abdul Qadir Jailani, masih berupa misteri bagi saya. Selain tak ada keterangan waktu yang menjelaskannya, juga tak dijelaskan secara rinci tentang siapa pengirimnya. Dengan mendapat informasi perihal kitab fatwa di atas, semacam ada insight yang bisa menjadi penjelas akan keberadaan surat tersebut.
Besar kemungkinan, surat tersebut adalah jawaban akan pertanyaan dari para ulama – termasuk Kiai Saleh – yang masuk dalam kaukus ulama sebagaimana ditulis dalam pengantarnya Syekh Abdurrahman di atas.
Lebih-lebih, dalam surat tersebut juga tertulis “Soal dari Kudus ke Mekkah”. Bisa jadi, surat itu berawal dari diskusi kaukus ulama di atas. Kemudian, Syekh Zubair bin Abdul Qudus sebagai salah satu anggotanya, didapuk untuk mengirimkan pertanyaan itu, ke Mekkah. Tidak hanya kepada Mufti Haramain, tapi juga kepada ulama asli Nusantara yang memiliki reputasi jempolan di sana, seperti KHR. Asnawi Kudus.
***
Dari serpihan informasi ini, setidaknya ada beberapa simpulan sementara yang bisa dikaitkan dengan sosok Kiai Saleh. Pertama, informasi tersebut semakin meneguhkan keterlibatan Kiai Saleh dalam jejaring ulama Nusantara, bahkan hingga ke Haramain.
Simpulan kedua terkait dengan isi fatwa yang membahas tentang hal furuiyah. Seperti tentang ijtihad dan taqlid, hukum tawasul dengan perantara para Nabi dan orang-orang saleh, hukum merayakan maulid Nabi Muhammad dan hukum ziarah kubur, menandakan bahwa Kiai Saleh terlibat dalam pergerakan zaman saat itu. Dimana, pada 1922, adalah masa-masa sedang hangat-hangatnya “pertikaian” antara kelompok modernis dan tradisional dalam memperdebatkan hal-hal furuiyah.
Kiai Saleh yang berdiri dipihak ulama tradisional, menjadi garda depan dalam membela tradisi dan amaliyah yang kerap dicap bid’ah itu. Maka tidak heran, Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari ketika akan mendirikan NU juga mengundang Kiai Saleh untuk terlibat dalam pertemuan di Bubutan, Surabaya pada 30-31 Januari 1926.
Kesimpulan ketiga, sebagaimana keyakinan saya selama ini, Kiai Saleh sebagai sosok ulama besar yang tidak hanya memiliki reputasi pada lingkup Banyuwangi tapi juga nasional dan global, pasti memiliki peninggalan-peninggalan yang merekam jejak intelektualitasnya. Kiai Saleh pasti memiliki karya berupa kitab-kitab. Tidak hanya kitab tipis berjudul “Urwahul Mauta” ataupun selebaran tentang “Babus Siyam” sebagaimana yang saya posting beberapa waktu lalu. Tapi, ada karya-karya lain sebagaimana tersirat dalam cerita-cerita Kiai Suhaimi Rafiuddin. Tentu, yang lebih dahsyat lagi. (*)
* Penulis adalah Ayung Notonegoro, penggiat di Komunitas Pegon yang bergerak dalam meneliti, mendokumentasi, dan mempublikasi sejarah dan hal ihwal tentang pesantren dan NU.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Rochmat Shobirin |
Sumber | : TIMES Banyuwangi |