Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Gerakan Melawan Deforestasi

Rabu, 01 November 2017 - 05:55 | 33.93k
Mirin Primudyastutie. (Grafis: TIMES Indonesia)
Mirin Primudyastutie. (Grafis: TIMES Indonesia)
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Presiden RI Pertama Ir Soekarno pernah mengingatkan, bahwa “Barangsiapa ingin mutiara, harus berani terjun di lautan yang dalam". Peringatan ini sebenarnya ditujukan pada seluruh elemen bangsa supaya menjadi pengabdi yang baik. Salah satu elemen penting adalah kaum muda.

Jika kaum muda negeri ini benar-benar mencintai bangsa ini, maka mereka berkewajiban membuktikan baktinya pada bangsa Indonesia yang dihadapkan pada eksaminasi masalah asap. Label “darurat asap” tidak akan mungkin diberikan pada negeri ini, jika tidak akibat ulah para pendestruksi yang membakar hutan.

Kaum muda Indonesia ditantang oleh para pendestruksi itu untuk turun gunung melawannya. Para pendestruksi itu telah sekian kali dan lama menginjak-injak martabat bangsa dengan menampar dan menodai negeri ini di mata internasional.

Kita menjadi bahan ejekan bangsa-bangsa lain akibat demikian sering asap akibat pembakaran hutan mengepul dan memproduk horor dimana-mana. Para pendestruksi telah memproduk praktik deforestasi atau penggundulan hutan dengan cara melakukan pembakaran.

Mengapa salah satu penyakit bangsa yang dikenal dengan deforestasi layak dijadikan sebagai musuh bersama (common enemy), khususnya oleh kaum  muda? Bahayakah ketahanan dan keberlanjutan hidup bangsa ini, jika deforestasi dijadikan  sebagai obyek kriminalisasi kolektif dan sindikatif?

Deforestasi telah menjadi penyakit serius bangsa ini. Bahkan tidaklah berlebihan menyebut kalau state without forest atau “negara tanpa hutan”, dijadikan kosakata yang tepat untuk menggambarkan dan menjabarkan keadaan hutan di negeri yang sedang dalam kondisi memprihatinkan. Kondisi hutan demikian ini tak lepas dari ulah liar dan ganas manusia-manusa dan korporasi yang tidak bertanggungjawab yang menggunduli, membalak atau membakarnya.

Manusia yang terbilang tidak bertanggungjawab itu bukannya tidak tahu resiko dari apa yang diperbuatnya terhadap hutan, tetapi ia sebatas memikirkan kepentingan pribadi, kroni, dan korporasinya, sehingga deforestasi dijadikannya sebagai obyek yang diberhalakannya.

Label tersebut tidak mungkin sampai sekarang disandang oleh negara ini jika ulah tidak ramah dan tidak berkeadaban terhadap hutan terus berlangsung dari waktu ke waktu, sementara upaya rehabilitasi yang dilakukan kalah dibandingkan gerak cepatnya kekuatan para neokolonialis menghancurkan kawasan hutan.

Sumberdaya hutan Indonesia sebenarnya merupakan sumberdaya uatama bangsa ini. Dari kekayaan ini, kita bisa bercerita kepada anak cucu dan masyarakat manapun di dunia, bahwa sumberdaya hutan negeri adalah cermin “kayanya” atau bermodal kuatnya bangsa Indonesia di dunia. 

Sayangnya kekayaan hutan Indonesia itu di masa mendatang barangkali hanya akan tinggal jadi cerita atau untaian kata manis di buku-buku pelajaran sekolah, khususnya tentang “Indonesia yang gemah ripah loh jinawi”.

Selain itu, kita juga tahu, khususnya kalangan pembelajar, bahwa penyebab utama banjir dan longsor adalah berelasi dengan deforestasi. Pemerintah tiap saat melalui pelbagai media selalu mengingatkan perlunya pemeliharaan hutan. Tapi yang terjadi, hutan tetap rusak dan makin lama makin hancur. 

Tragisnya, kerusakan terjadi di hutan lindung yang antara lain berfungsi mencegah banjir, menahan longsor, dan memelihara kontinuitas sumberdaya strategis lainnya.

Dewasa ini, deforestrasi justru makin menjadi-jadi dengan pelbagai alasan ekonomi. Pemberian izin pertambangan di hutan lindung oleh pemerintah untuk puluhan perusahaan besar internasional, menunjukkan bukti bahwa negara pun tak peduli terhadap deforestasi.

Kondisi tersebut masih diperparah dengan penebangan kayu oleh perorangan maupun korporasi, legal maupun ilegal. Khusus yang ilegal saja tiap tahun nilainya mencapai Rp 60 triliun, suatu jumlah yang sangat besar untuk bisa digunakan mengentas (menanggulangi) kemiskinan masyarakat.

Chalid (2016) pernah memberikan catatan refleksinya, bahwa Pemerintah Indonesia sendiri telah mengakui bahwa tingkat deforestasi saat ini telah mencapai 3,8 juta hektar per tahun, meningkat dua kali lipat dalam lima tahun terakhir. Ini berarti Indonesia kehilangan hutannya seluas 7,2 hektar setiap menitnya."

Banyak periset mengingatkan, bahwa hutan kita berada dalam kondisi krisis serius dan sangat mengkhawatirkan. Deforestasi hutan telah mengakibatkan kerusakan hutan yang masif di hampir seluruh kawasan hutan negeri ini.

Ulah brutal dan barbar sebagian orang dan korporasi itu telah mengakibatkan negeri ini kehilangan aset besarnya. Hutan menjadi gundul, gersang, dan tidak lagi menghembuskan angin kesejukan dan keramahan akibat dibabat dan  dibakar oleh tangan-tangan kotor yang mengumbar keserakahannya.

Dampak pembalakan hutan itu tidak saja telah mengakibatkan hilangnya keanekaragaman hayati, hancurnya habitat-habitat satwa endemik serta semakin merosotnya kualitas sumberdaya Indonesia, namun juga menghasilkan ragam bencana ekologi di seluruh Indonesia, seperti banjir, tanah longsor, dan kebakaran hutan, yang merenggut ratusan korban jiwa setiap tahunnya.

Ironisnya lagi, kehidupan lebih dari 40 juta masyarakat adat dan lokal yang hidupnya tergantung langsung pada sumberdaya hutan terus memburuk dan miskin akibat kehancuran hutan tersebut.

Doktrin agama sudah menyebutkan, bahwa Tuhan tidak pernah melarang hambaNya untuk memanfaatkan kekayaan hutan. Tuhan sudah menganugerahkan nikmat besarnya ini demi mengantarkan masyarakat dalam kemakmuran. Tuhan menyuburkan hutan dengan segala isinya supaya masyarakat bisa mengambil manfaatnya.

Tuhan sudah menyediakan banyak dan beragam sumberdaya yang memadai untuk menopang kebutuhan hidup manusia. Kekayaan hutan telah dipersembahkanNya selain sebagai bukti keagungan KekuasanNya kepada manusia dan makhluk hidup lainnya di jagad raya, juga sebagai modal besar bagi keberlanjutan dan pencerahan  hidup manusia.

Meski tuhan memenuhinya itu, manusia salah dalam menyikapi dan memperlakukan anugerah Tuhan itu. Kekayaan hutan telah dijadikan sebagai obyek untuk dikomoditi dan dieksploitasi sejalan dengan selera atau target-target bebasnya.  Kepentingan mencari dan memburu keuntungan lewat pemanfaatan hutan lebih diberhalakannya dibandingkan menjaga kesuburan, keseimbangan dan keberlanjutan hutan.

Berkenaan dengan kondisi itu, dibutuhkan kesadaran seluruh elemen bangsa, khususnya di kalangan kaum muda  untuk melawan deforestasi, Kesadaran kaum muda sekarang untuk menjaga sumberdaya hutan sangatlah  penting. 

Sikap tidak menutup mata atau mendiamkan berbagai bentuk pembalakan hutan, merupakan sikap positip pemuda yang setidaknya bisa mencegah seseorang atau segerombolan orang bertindak semakin liar  dalam melakukan deforestasi. 

Kaum muda adalah pilar fundamental kehidupan masyarakat dan negara, yang punya tanggungjawab priviles untuk menunjukkkan peran vitalnya. (*)

 


Mirin Primudyastutie

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang dan Penulis Buku

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES