Boso Walikan Malang, Bahasa Pemberontakan yang Tetap Mbois (Bagian 1)

TIMESINDONESIA, MALANG – Bahasa bukan sekadar alat komunikasi. Ia juga identitas. Setiap bahasa daerah di Indonesia punya ciri khas dan unik. Bahasa Jawa saja, ada perbedaan di bagian barat, tengah, dan timur. Demikian juga "Bahasa Arek". Antara Surabaya dan Malang, banyak perbedaaannya. Meski banyak juga persamaannya. Salah satu perbedaannya adalah soal tradisi Boso Walikan yang berkembang di Malang.
Ciri Boso Walikan adalah menggunakan kata terbalik saat berkomunikasi. Malang jadi Ngalam, makan jadi nakam, polisi jadi silup, abah jadi ebes, wedhok (wanita) jadi ndewor, dan banyak lagi. Ciri ini tidak ditemukan dalam Bahasa Arek daerah lain.
Advertisement
Uniknya, tidak semua kata bisa dibalik secara asal dan jadi Boso Walikan. Ada banyak kata-kata yang tetap diucapkan sesuai kata aslinya saat berkomunikasi. Ada juga yang bahkan berubah dari kata aslinya. Ada faktor kearifan lokal untuk memilih kata apa yang bisa dibalik atu diubah.
Sampai saat ini, Boso Walikan masih tetap digunakan. Dan berkembang menjadi bahasa identitas. Ketika seseorang menyelipkan boso walikan saat berkomunikasi dengan orang lain, saat itu ia mengidentifikasi dirinya sebagai Arek Malang. Besar di Malang. Tinggal di Malang. Leluhurnya orang Malang. Atau pernah tinggal lama di Malang.
Boso Walikan tumbuh menjadi legacy yang tak lekang dimakan zaman. Ia tumbuh dan beradaptasi menjadi bahasa gaul yang mengikuti perubahan zaman.
Sejak kapan muncul Boso Walikan?
Bicara soal ini, arek Malang harus tahu siapa itu Ebes Suyudi Raharno.
Dulu, Ebes Suyudi Raharno adalah komandan Gerilya Rakyat Kota (GRK). Tahun 1948, situasi Kota Malang mencekam. Belanda menguasai seluruh kota, pasukan Mayor Hamid Rusdi babak belur di Wonokoyo (8 Maret 1949). Arek-arek Malang yang bergabung sebagai pejuang GRK semuanya pada sembunyi sambil membangun kekuatan.
Saat itu, Gerilya Rakyat Kota adalah bentuk perjuangan yang sifatnya tersembunyi dan rahasia. Saat penjajah Belanda mengetahui adanya gerakan ini, pihak Belanda mencari pribumi dan non pribumi untuk direkrut menjadi spion atau mata-mata.
Beberapa kali gerakan dan strategi perlawanan Ebes Suyudi ketahuan Belanda. Intel yang tersebar dan membaur dengan masyarakat di sudut-sudut kota dengan cepat mendapat informasi gerakan arek arek pejuang GRK.
Gawat. Ebes Suyudi mulai paham mengapa gerakan dan serangan GRK sering digagalkan Belanda. Bersama Mayor Hamid Roesdi, dan Wasito, ia akhirnya memutuskan untuk bikin kode bahasa baru dalam berkomunikasi. Cuma pasukan mereka saja yang paham kode itu.
Nah, ide brilian itu ternyata cukup berhasil mengecoh Belanda: sederhana tapi jenius. Hasilnya? Intel Belanda auto gagal paham. Pejuang GRK kini bisa ngobrol bebas di pasar atau pos jaga dengan cara pura-pura jadi pedagang. Padahal ia lagi ngirim sandi untuk gerakan-gerakan perlawanan berikutnya.
Sandi Boso Walikan ini sukses bikin intel-intel Belanda ketahuan. Mereka yang tidak bisa menjawab kode walikan terbaru maka pejuang GRK bisa langsung mengenalinya. Intel yang nyamar jadi pedagang di Pasar Besar meski dia ngomong "nakam" saat mulai berkomunikasi, tapi ketika sandinya sudah diubah dengan versi baru, maka akan ketahuan ia adalah intel. Bukan pejuang GRK.
Sejarah Boso Walikan ini juga ditegaskan Dukut Imam Widodo dalam sebuah bukunya: "Malang Tempo Doeloe" (Bayumedia, 2006). Boso Walikan memang digunakan sebagai bahasa isyarat atau sandi dalam melakukan perlawanan oleh Gerilya Rakyat Kota pada Agresi Militer II (Maret 1949).
Dari Medan Perang ke Jalanan Malang
Memang Boso Walikan sebagai bahasa sandi selesai fungsinya usai Belanda kalah dan mundur dari Kota Malang. Namun, tidak bagi Arek Malang.
Sekitar 1950-an, bahasa walikan justru muncul sebagai bahasa slang baru. Memang tidak banyak catatan sejarah yang mencatat mengapa bahasa sandi itu muncul dalam percakapan saat itu.
Namun, Dosen Universitas Malang (UM) Nurenzia Yannuar dalam tesis doktor filsafat di Universitas Leiden, Belanda, 2019: "Boso Walikan Malangan: Structure and Development of Javanese Reversed Language", mencatat perkembangan bahasa walikan itu.
Defri Werdiono mengungkap penelitian Nurenzia Yannuar tersebut. Sekitar 1950-1960-an, bahasa walikan ternyata sering digunakan oleh mafia, preman atau korak Malang. Termasuk pedagang di pasar bekas (pasar loak) Comboran juga menjadikan bahasa walikan sebagai bahasa yang hanya digunakan sesama pedagang.
Baru sekitar 1970-1980 an bahasa walikan mulai banyak dijadikan bahasa gaul ala anak muda dan siswa sekolah dalam keseharianya.
Nah, pada 1980-an akhir, saat klub sepak bola Arema berdiri, bahasa walikan berubah jadi bahasa yang menyatukan Aremania. Bahasa solidaritas Arek Malang yang kemudian tersimpul dalam kata: "Salam Satu Jiwa".
Baru pada sekitar 2000-an, menurut Nurenzia Yannuar, bahasa walikan mulai jadi bahasa identitas Arek Malang.
Sejak saat itu, bahasa pemberontakan arek pejuang GRK itu, jadi "bahasa kebanggaan" yang banyak dipakai arek Malang saat itu.
Bahasa pemberontakan itu, berubah jadi bahasa slang jalanan arek Malang
Bahasa pemberontakan itu, berubah jadi bahasa slang kampung-kampung yang ada di Malang.
Bahasa pemberontakan itu, berubah jadi identitas baru bahasa arek Malang.
Bahasa pemberontakan itu tidak mati. Bahasa sandi itu berubah jadi bahasa keseharian dan bahasa gaul arek Malang dari generasi ke generasi. (Bersambung ke bagian 2)
---------------
Tulisan ini disarikan dari beberapa sumber:
Setyanto, Aji. (2016). Osob Ngalaman (Bahasa Asli Malang) Sebagai Salah Satu I-con Malang (Studi Struktur Osob Ngalaman dalam Sosial Network). Universitas Brawijaya Malang.
Nabilla Nurazizah Fiaji, Eksistensi Bahasa Walikan Sebagai Simbol Komunikasi pada "Gen Z" di Kota Malang, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Jurnal Pendidikan dan Ilmu Sosial, Volume 3, Nomor 3, Desember 2021; 378-385
Dukut Imam Widodo dalam buku Malang Tempo Doeloe (Bayumedia, 2006)
Defri Werdiono, "Bahasa ”Walikan” Malang, dari Alat Perjuangan hingga Masuk Dunia Intelektual",https://www.kompas.id/baca/nusantara/2024/02/27/bahasa-walikan-malang-dari-alat-perjuangan-identitas-hingga-masuk-dunia-intelektual
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Faizal R Arief |
Publisher | : Sholihin Nur |