Kiai Mahmud Ali, Sang Pendekar Fiqih dari Glagah Banyuwangi

TIMESINDONESIA, BANYUWANGI – Fiqih merupakan bidang keilmuwan penting bagi umat Islam. Karena ilmu yang mengatur tentang hukum syara' (agama) itu, menyangkut persoalan keabsahan beribadah, hingga boleh tidaknya suatu perbuatan dilakukan.
Dengan ilmu fiqih inilah, hukum suatu perbuatan atau suatu barang dilabeli halal, haram, makruh, mubah, sunnah, wajib, najis ataupun suci. Singkat kata, ilmu fiqih adalah sesuatu yang penting.
Advertisement
Karena pentingnya ilmu fiqih, justru tak sembarang orang bisa dengan mudahnya menentukan hukum. Perlu adanya kajian kitab-kitab fiqih secara mendalam. Itu pun tak patut jika hanya dilakukan oleh satu orang saja.
Dalam tradisi di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU), untuk menentukan hukum tertentu, harus melalui musyawarah yang dikenal dengan istilah Bahtsul Masail. Dalam forum ini, para peserta bisa mengajukan pendapat hukum suatu persoalan yang dibahas. Asalkan memiliki dasar argumentasi yang merujuk pada kitab fiqih mu'tabarah (diakui). Dan, argumentasi yang paling kuatlah yang dijadikan jawaban dari hukum persoalan yang dibahas.
Tradisi Bahtsul Masail tersebut, juga muncul dikalangan keluarga besar Nahdliyin Banyuwangi. Yakni, forum Bahtsul Masail setiap empat bulan yang dihelat pada Majelis Musyawarah Pengasuh Pesantren (MMPP) Banyuwangi. Di forum yang telah diinisiasi sejak 1964 tersebut, para ulama ahli fiqih di Bumi Blambangan berkumpul. Mereka membahas persoalan-persoalan hukum agama yang terjadi di masyarakat.
Pada forum Bahtsul Masail MMPP inilah, muncul seorang Kiai yang memiliki pengetahuan luas dalam ilmu fiqih. Penguasaannya pada kitab kuning yang menjadi rujukan, juga sangat mendalam. Ia adalah KH Mahmud Ali.
Kiai Mahmud Ali berasal dari Desa Paspan, Kecamatan Glagah. Ia dilahirkan dari pasangan Abdillah dan Makbullah sekitar tahun 1940. Awalnya, saat lahir dia diberi nama Maulud oleh orang tuanya. Tapi sejak naik haji, namanya diganti Mahmud Ali, oleh guru sekaligus mertuanya, Kiai Abdul Wahab Penataban.
Meski latar belakang orang tuanya bukanlah berasal dari kalangan ulama, tapi memiliki kesadaran yang cukup tinggi tentang pentingnya ilmu agama. Mahmud kecil atau Maulud, dimasukkan ke berbagai pesantren. Baik di Banyuwangi atau di luar daerah. Setelah lulus Sekolah Rakyat (SR), pesantren pertama yang dituju adalah Pesantren Darul Huda Penataban.
Di pesantren yang didirikan sejak 1929 itu, Maulud dibimbing langsung oleh Kiai Wahab. Di bawah bimbingan muhtasyar pertama PCNU Banyuwangi itu, Maulud tumbuh menjadi santri yang cerdas dan cakap. Ia pun menjadi santri kesayangan Kiai Wahab. Kelak ketika dewasa, Kiai Wahab mengambilnya menjadi menantu. Maulud dinikahkan dengan putri Kiai Wahab yang bernama Musyawanah.
Selain belajar di Penataban, Maulud juga nyantri di Pesantren Nahdlatut Thullab, Kepundungan. Ia dibina langsung oleh Kiai Dimyati Syafi'i yang merupakan Rois Syuriah pertama PCNU Blambangan yang kala itu merupakan pengembangan dari NU Banyuwangi.
Dahaga keilmuwan Kiai Mahmud masih belum puas dengan belajar di pesantren di daerahnya. Sebagaimana santri tempo dulu, ia pun merantau ke pesantren didaerah lain untuk belajar. Kali pertama, dia mondok di Pesantren Al-Hidayah Lasem, Jawa Tengah. Di pesantren yang diasuh ulama kharismatik Mbah Maksum Lasem itu, semakin membentuk karakter keilmuwan Maulud.
Tak hanya di Lasem saja, di Jawa Tengah, Maulud juga mondok di PP Ma'hadil Ulumul As-Syarifiyah yang diasuh oleh Kiai Imam Kholil. Di Pesantren Sarang ini, penguasaan Maulud pada kitab kuning semakin mendalam. Begitu pula dengan ilmu fiqih yang merupakan ilmu yang ditekuninya.
Setelah di rasa cukup, Maulud pun pulang kembali ke kampung halamannya, di Paspan. Ia kemudian menikah dan mulai merintis pesantren. Awalnya hanya pengajian langgaran. Setelah tiga tahun lamanya, seiring dengan makin populernya kealiman Maulud, santri yang ikut mengaji kepadanya pun mulai bertambah.
Maulud yang saat itu mulai dikenal dengan sebutan Kiai Mahmud, bersama dengan masyarakat setempat mulai membangun bilik-bilik untuk santri. Inilah yang kemudian menjadi cikal bakal dari Pesantren Mansyaul Huda, hingga saat ini. Secara resmi, sebagaimana tercantum dalam akte notaris, pesantren tersebut, berdiri pada 1 Januari 1969.
Reputasi Kiai Mahmud sebagai seorang ulama yang faqih (ahli fiqih), mulai terdengar para Kiai lain. Ia pun diajak aktif di forum Bahtsul Masail MMPP Banyuwangi. Bersama dengan Kiai Mukhtar Syafaat, Kiai Nuruddin Qosim, Kiai As'adi Sufyan dan beberapa kiai. Karena kealimannya, Kiai Mahmud pun dipercaya menjadi tim perumus.
Posisi tim perumus dalam bahtsul masail bukanlah posisi yang sembarangan. Hanya orang-orang yang memiliki reputasi akedemik tinggi yang bisa menjadi tim perumus. Tugasnya untuk menjelaskan duduk perkara soal fiqhiyah, dibahas hingga menyatukan jawaban dari berbagai alternatif jawaban yang muncul dari peserta bahtsul masail. Itulah tugas dari tim perumus. Singkat kata, berhasil tidaknya Bahtsul Masail dalam menjawab pertanyaan fiqhiyah, tergantung kepada kejelian tim perumus itu sendiri.
Jika mengacu pada hasil Bahtsul Masail MMPP yang dibukukan dalam kitab Raudlatul Awam, kita akan mendapatkan kajian fiqih yang kuat dengan merujuk pada kitab-kitab otoritatif madzhab syafiiyah. Selain itu, istinbath hukum yang dihasilkan bersifat solutif dan tak kaku. Hal ini, menandakan kajian yang dilakukan oleh MMPP, tidak hanya sebatas mengacu pada teks yang termaktub dalam kitab kuning, tapi juga dikomparasikan dengan realitas masyarakat yang ada.
Dengan begitu, jawaban hukum yang dihasilkan tidak memberatkan dan mampu dijalankan pada satu sisi, dan sisi yang lain tak melenceng dari garis yang telah ditentukan oleh syara'.
Setidaknya, jika mengacu pada corak isi kitab Raudlatul Awam, bisa memberikan gambaran corak fiqih yang digeluti Kiai Mahmud. Memang dalam buku tersebut hasil pemikiran secara koloktif. Tapi, peranan Kiai Mahmud tak bisa dinafikan begitu saja. Ia pun tak akan jauh memiliki karakter berfiqih yang demikian.
Reputasi Kiai Mahmud Ali yang demikian dalam ilmu fiqih, tak berlebihan kiranya jika kiai yang wafat pada 31 Agustus 1993 atau bertepatan dengan 13 Robiul Awal 1413 tersebut, kita sebut sebagai pendekar fiqih dari Glagah. (*)
Penulis adalah Ayung Notonegoro, penggiat di Komunitas Pegon yang bergerak dalam meneliti, mendokumentasi, dan mempublikasi sejarah dan hal ihwal tentang pesantren dan NU di Banyuwangi.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Rochmat Shobirin |