Kopi TIMES

Anak dan Homo Homini Lupus

Kamis, 30 November 2017 - 20:07 | 98.31k
Ana Rakhmatussa’diyah, Dosen Fakultas Hukum Unisma (Grafis: Cq / TIMES Indonesia)
Ana Rakhmatussa’diyah, Dosen Fakultas Hukum Unisma (Grafis: Cq / TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG"We cannot always build the future for our youth, but we can build our youth for the future"  demikian pernyataan Franklin D. Roosevelt, yang artinya kita tidak bisa selalu membangun masa depan untuk generasi muda kita, tetapi kita dapat membangun generasi muda kita untuk masa depan.

Pernyataan Roosevelt itu penting untuk dijadikan sebagai “pesan besar” dalam rangka membimbing ata membentuk generasi moda. Para anak bangsa ini dituntutnya untuk menjadi sumberdaya strategis yang berguna bagi masa depan.

Advertisement

Masalahnya, bagaimanakah membentuk anak yang sarat tanangan seperti sekarang ini?

Dewasa ini, kita tidak kesulitan membaca, bahwa anak-anak sekarang terbilang pemberani melakukan kejahatan. Barangkali orang tua atau keluarganya tidak pernah memperkirakan sama sekali kalau anaknya yang masih di sekolah dasar atau masih belasan tahun  atau bahkan belum, sudah berani melakukan kejahatan dengan tipe serius.

Salah satu jenis kejahatan serius yang dilakukan oleh anak-anak dibawah umur ini adalah kekerasan seksual atau kekerasan fisik lainnya. Tragisnya lagi, yang dijadikan korban oleh anak ini juga anak-anak yang masih dibawah umur. Mereka ini tak ubahnya membenarkan kalau dirinya beraliran seperti yang disampaikan Thomas Hobbes yang dikenal “homo homini lupus” (manusia adalah serigala bagi manusia lain). 

Kasus kekerasan seksual dengan pelaku anak-anakdewasa ini kian marak. Dalam perkosaan ini, mereka menjadikan temannya sebagai pelampiasan nafsu seksualnya. Mereka ditakut-takuti dan kemudian diajak berhubungan biologis.

Atas dasar sampel kasus ini, logis jika kita bertanya, mengapa anak-anak dibawah umu itu sudah berani melakukan perkosaan? Apa mereka tidak mengetahui kalau yang dilakukannya tergolong sebagai kejahatan serius dan pelanggaran hak asasi manusia?

Kasus  kekerasan seksual (sexual violence) ini,  lebih banyak menempatkan anak perempuan dibawah umur sebagai korbannya.  Kalau sekarang pelakunya bertambah dari kalangan anak-anak dibawah umur, maka jumlah kasusnya tentulah akan semakin banyak dan berlipat ganda.

Kasus kekerasan seperti ini pernah diungkap dalam riset yang dilakukan Abdul wahid dalam buku Desperatus Perlindungan HAM (2017) yang mengupas tentang akar  problematika keberanian anak melakukan berbagai bentuk kekejaman, termasuk kekerasan seksual.

Terperosoknya anak-anak jadi “serigala” tu, tidaklah semata harus menyalahkannya, meski mereka mengerti model kekerasan atau pemaksaan hubungan dengan lawan jenis, berasal dari kawan-kawaannya.

Akar kriminogen yang membuatnya tergelincir dalam praktik kriminalisasi, bukanlah semata akibat kawan yang mengajari, memperkenalkan, dan memaksanya. Tetapi juga akibat kegagalan keluarga dalam membangun atau menciptakan atmosfir yang membahagiakan dan memprogresifitaskan kepribadiannya yang berbasis nilai-nilai kejujuran, kebenaran, keadaban, dan pemartabatan diri.

Kalau atmosfir yang menjadi ”pintu masuk” kekerasan atau pola berperilaku secara disnormatifitas seperti pola melanggar norma agama dan hukum ditoleransi secara vulgar dan liberal. Maka memang bukan tidak mungkin kalau di kemudian hari, permata kita ini dimungkinkan akan semakin terbentuk menjadi generasi yang tidak semata mengakrabkan dirinya menjadi korban. Melainkan dirinya terbentuk menjadi generasi predator yang tidak mau ketinggalan untuk memproduk dan menyemarakkan berbagai bentuk kekerasan di masyarakat, diantaranya kekerasan seksual semacam perkosaan (rape).

Dalam penjelasan UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang sudah diamandemen dengan UU Nomor 35 Tahun 2014, masyarakat, keluarga, dan negara ini diingatkan, bahwa anak merupakan amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi.

Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi  serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.

Dalam norma-norma hukum sudah diingatkan, bahwa sebagai karunia Tuhan, kehadiran anak tidak boleh disia-siakan, tidak boleh ditelantarkan, atau tidak boleh dibiarkan membentuk visi dan aksi-aksi kultural dan gaya hidupnya secara liberalistik.

Meninggalkan mereka menjadi pendisain atau pembentuk dirinya sendiri, sementara kita (sebagai orang tua) lebih menyibukkan dan menghabiskan waktu untuk  berburu uang atau membentuk klas social borjuistik-kapitalistik, maka mereka akan dibentuk oleh lingkungan  sosial pergaulannya menjadi penyimpang dan pembangkang.

Dalam ranah itu, manusia yang bergelimang uang diingatkan supaya tidak memperlakukan uang sebagai obyek sesembahan, tidak menjadikan uang sebagai kekuatan yang mengikat dan membalutnya secara mutlak, atau tidak menempatkan uang sebagai sumber fundamental ideologinya, seperti kaum kapitalis yang menjadikan uang sebagai standard an kiblat absolutnya.

Dalam studi ekonomi berpaham kapitalis, kita diajari, bahwa karakter utama kapitalisme adalah “the survival of fittes” (hukum rimba) atau siapa punya yang banyak, maka dialah yang pantas disembah, dimenangkan, atau memenangkan keinginan-keinginannya daripada orang lain.

Dalam hukum rimba ini, tentulah berlaku apa yang disampaikan oleh Thomas Hobbes kalau “manusia itu serigala bagi manusia lain” (homo homini lupus).

Namanya juga serigala atau binatang ganas, tentulah manusia berduit yang berwatak demikian akan enderung atau gampang memperlakukan manusia lainnya sebagai obyek yang sah untuk dimamakan, dimangsa, atau dikorbankan.

Ketika adagium tersebut yang berlaku dalam kehidupan masyarakat, maka apapun yang bernilai sakral, dogma,  etis, dan aspek religiusitas akan dengan mudah dikalahkan, dimandulkan, atau ditumbalkanya, termasuk menumbalkan dan memarjinalisasikan anak.

Kekuatan uang bisa menjadi super adidaya ketika diberlakukan harus menjadi bagian konkrit dari syahwat hewani atau serigala lapar yang menuntut pemuasan. Anak pun akhirnya bisa mengadopsi dan mengadaptasi gaya serigala yang dilakukan orang dewasa atau orang tuanya untuk dijadikan sebagai budayanya.

Tidak sedikit kita temukan kasus anak-anak dibawah umur yang berani melakukan tindak kriminalitas secara keji, yang setelah didengar testimoninya, mereka mengakui kalau perbuatan kriminalitasnya berakar dari sikap dan keputusan orang tuanya yang memanjakan atau menoleransi kriminalitas yang dilakukanya.

Kebiasaan ditoleransi ini berakibat fatal bagi pembentukan kepribadiannya, karena pada akhirnya, anak-anak itu tergiring pada pembiasaan atau pembudayaan melakukan kriminalitas, sehingga mereka memasuki zona culture of crime.

Salah satu asumsi yang dikembangkan oleh anak dibawah umur itu adalah, menempatkan orang tua atau keluarganya sebagai payung perbuatannaya. Orang tua  atau keluarganya dianggap mempunyai uang dan jabatan berpengaruh, yang bisa mengalahkan dan menaklukkan keberdayaan hukum saat akan digunakan menjerat dan mempertanggungjawabkan dirinya.

Kalaupun mereka (anak-anak bermasalah) itu sedang ditangani oleh aparat secara humanistik, tidak selayaknya mereka dibebaskan oleh orang tuanya dengan cara-cara yang tidak benar.

Jalan kriminalitas yang sudah ditempuhnya, tidak boleh menggiringnya semakin terjerumus dalam pembenaran kalau kejahatanlah yang berkuasa, atau kejahatan bisa dibeli dengan uang, atau uanglah yang menjadi sumber dari segala sumber penyelesaian problematika.

Mereka wajib kita jauhkan dari atmosfir gaya hidup atau lingkungan sosial yang bermaksud memasukkan anak-anak itu ke dalam belantara kriminalitas. Mereka wajib kita ajak berfikir kritis dan terus merias dan menyalakan hati nurani kalau segala bentuk perbuatan yang bercorak destruktif atau berpola kriminalisasi seperti perkosaan, adalah cermin perilaku kebinatangan (animalistik), dan bukan perilaku bercorak memanusiakan atau memartabatkan manusia.

Mereka tidak boleh dibiarkan sendirian membentuk perilakunya, karena hal ini hanya akan menjerumuskannya ke lingkaran yang semakin menghancurkannya.(*)

*Penulis Ana Rokhmatussa’diyah, Dosen Fakultas Hukum Unisma,  Penulis Buku,  Ketua Pokja 1 TP PKK Kota Malang dan ketua Club Socialita Malang

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Sholihin Nur
Sumber : TIMES Indonesia

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES