
TIMESINDONESIA, MALANG – Di era sekarang, khususnya di negeri ini, masih ada sejumlah faksi beragama yang mengedepankan pola kebencian (misoginisme) pada pemeluk agama lain. Bahkan faksi ini juga membenci sesama pemeluk agama yang seafiliasi dengannya, namun berbeda dalam cara berteologi, bernegara, dan berpolitik.
Semestinya jika meneladani jejak Nabi yang menghormati plruralitas, keragaman dalam beragama itu tidak lagi perlu didiskursuskan, apalagi dijadikan dalih untuk menciptakan atmosfir disparitas dan radikalitas pada pemeluk agama lainnya, pasalnya keragaman di ranah apapun merupakan realitas historis yang tidak bisa ditolak siapapun.
Advertisement
Sayangnya, membumikan pola beragama non misoginisme tidaklah mudah. Mereka yang menempatkan diri dan kelompoknya dalam ranah klaim kebenaran, terbukti masih menjatuhkan opsi dehumanisasi dan desakralisasi beragama inklusif. Berbagai bentuk praktik kebencian atas nama agama bermunculan di tengah masyarakat.
Logis jika kemudian ada banyak pertanyaan seperti sudahkah kita ini sebagai manusia beragama benar-benar mengamalkan sila kesatu dari Pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa”?
Jawabannya jelas belum, kita belum menjadi manusia yang benar-benar bertuhan. Kita masih menjadi perwujudan dari sekumpulan “aku” atau “golongan” yang lebih menyukai sikap dan perilaku yang antagonistic dengan doktrin ketuhanan.
Kalau memang kita ini bertuhan, kita tentu tidak akan sampai terjerumus terus menerus dengan menerapkan “keakuan yang maha kuasa” atau “golonganku yang maha menang dan benar sendiri”, atau “ajaranku yang paling diojinkan ke surga sendiri”.
Kalau kita memang benar-benar bertuhan, tentulah karakter kebertuhanan yang berbasis menyayangi, mengasihi, dan melindungi, jauh lebih diberi kuasa guna merajut relasi keberagamaan yang inklusif dan humanistik, dan bukannya pola-pola keberagamaan yang bercorak barbarianistik.
Sudahkah kita ini juga benar-benar mengamalkan sila kedua Pancasila “kemanusiaan yang adil dan beradab”?, jawabannya belum. Kita punya ideologi Pancasila dan doktrin keagamaan yang mengajarkan tentang pentingnya mengonstruksi kehidupan bermasyarakat dan berbangsa yang berkeadaban dan bermartabat.
Bangsa kita ini terbukti, masih menjadikan kosa kata agung dalam beragama sebatas ada dalam kertas dan ranah das sollen, dan belum sampai benar-benar membumi dalam ranah realitas (das sein). Agama masih kita tempatkan sebagai “kebesaran” formal, dan belum kita jadikan sandaran hidup yang “memimpin” sikap dan perilakau yang mengembangkan pola hidup berkeadaban.
Kita terseret dalam arus pengabsahan kalau pola barbar atau radikal yang kita jadikan sebagai opsi, adalah bagian dari kebenaran atau “yang dibenarkan” oleh agama, padahal cara itu sangatlah antagonistik dengan doktrin agung yang diajarkan oleh Nabi, bahwa “manusia terbaik adalah manusia yang bermanfaat untuk sesamanya”.
Kita terseret membuat dan menasbihkan opsi bukan lantaran kita ini demokratis dan humanis dalam beragama, tapi karena kita ingin menyenangkan dan memuaskan diri sendiri dan golongan.
Kita masih jadikan agama sebatas “baju” atau tameng untuk berkelana dalam mengikuti oportunisme, dan bukan temptkan agama sebagai sumber fundamental mengkreasikan diri dalam ranah pengabdian kemanusiaan atau penegakan hak-hak universalitas.
Kita dengan gampang mendisain dan mengagregasikan tangan-tangan kita menjadi tangan-tangan kotor (the dirty hands) dan berlumuran darah, yang tentu saja mengakibatkan sesama, baik sesama pemeluk agama maupun dari pemeluk agama lain, menghadapi realitas dari tragedi ke tragedy kemanusiaan.
Tragedi pembakaran dan pengeboman tempat ibadah serta sejumlah tempat yang terus mengiasi perjalanan negeri ini dari tahun ke tahun merupapan “sampel” misogisme atau perilaku dari kita, yang kehilangan Kindonesiaan, tereduksi jiwa kebertuhanan, terdegradasi jiwa keberadaban, atau mengalami kematian kemanusiaan.
Kata AM Rahman (2012), kita lebih senang dan bangga memilih menjadi bangsa yang salah. Kita akui “kemanusiaan yang adil dan beradab” menjadi doktrin kehidupan berbangsa berbudi mulia, tapi kita sering an arogan menggelincirkan diri dalam opsi dan pengabsolutan sikap dan perilaku adigang-adigung, yang menghabisi sesama hanya dengan sekedipan mata.
Pernyataan itu mengingatkan kita, bahwa kita masih demikian sering menempuh jalan sesat dalam beragama. Bukan agamanya yang membuat kita tersesat atau tersasar ke opsi dehumanisasi, tetapi berbagai bentuk pertarungan kepentingan dan klaim kebenaran sendiri dan kelompok, yang membuat kita terseret untuk menjadikan agama sebatas sebagai instrumen.
Itu artinya kita belum mendisain diri menjadi pemeluk agama yang ramah kemanusiaan. Kita masih demikian gampang terhanyut mengikuti “bimbingan” emosi, klaim benar sendiri, atau sejumlah alasan eksklusif lainnya, yang membuat kita gagal menjadikan sesama sebagai “keluarga besar” yang wajib disayangi dan dilindungi.
Kita masih benar-benar sebagai sekumpulan elemen bangsa yang mengidap bebalitas, sehingga apapun yang terjadi, kita anggap angin lalu. Kita semestinya harus benar-benar belajar dan sadar, bahwa pluralitas itu realitas (sunnatullah), yang oleh setiap elemen agama atau ber-madzhab apapun, haruslah diterima dengan jiwa besar dan apresiasi tinggi.
Memaksakan perbedaan dalam keseragaman itu tidaklah mungkin. Jangankan dalam relasi lintas umat beragama, dalam konstruksi berkeluarga yang satu agama saja, kerapkali terjadi perbedaan dalam memahami, menyikapi, dan mengaplikasikan ayat-ayat suci, apalagi diantara elemen dan komunitas yang berbeda agama, jelas perbedaan paham dan tatacara beragama menjadi lebih mudah terbaca. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : AJP-5 Editor Team |
Publisher | : Rochmat Shobirin |