Kopi TIMES

Dua Kali Gunung Krakatau Tak Bisa Dibaca Ilmuwan

Selasa, 25 Desember 2018 - 10:32 | 387.79k
Gunung anak Krakatau. (FOTO: Istimewa)
Gunung anak Krakatau. (FOTO: Istimewa)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTABEBERAPA kali meliput Merapi sempat membuat saya tertarik untuk mempelajari soal gunung dari berbagai sumber. Buku, tulisan ahli, film, bahkan dari kitab-kitab kuno Jawa. Salah satunya Krakatau. Dengan sedikit pengetahuan tersebut, saya mencoba menulis ini sebagai bagian dari sebuah perenungan. Jadi kalau ada yang salah mohon dimaafkan.

Hal pertama yang saya batin ketika terjadi tsunami pada 22 Desember 2018 karena letusan Krakatau (diduga) adalah “Untuk kedua kalinya Krakatau mengecoh ilmu dan ilmuwan”.

Advertisement

Apapun alasannya, tidak adanya peringatan dini tsunami adalah sebuah kegagalan tiga elemen penting yakni ilmu, ilmuwan dan teknologi yang bahkan sudah sangat maju namun gagal membaca Krakatao. Tidak ada yang perlu disalahkan. 

Kegagalan ini juga terjadi ketika letusan besar pada 26-27 Agustus 1883.Seorang ahli gunung dunia asal Belanda Rogier Verbeek, yang mengikuti hari demi hari aktivitas Krakatao saat itu benar-benar terkecoh dengan keyakinannya yang tentu saja berdasarkan pada pemikiran ilmiah.

Sebagai seorang ahli gunung dia sangat menyesal karena tak mampu memberi peringatan kepada masyarakat. Dia meyakini dan meyakinkan kepada semua pihak Krakatao tidak akan menjadi bencana besar. Salah satunya karena dia tidak memiliki catatan sejarah letusan besar gunung tersebut.
Tetapi setelah terjadi tsunami pertama, dia mulai ragu. Semua buku tentang gunung dia buka lagi termasuk survei geologi Sumatera 1850, Prinsip-Prinsip Geologi dari Weill, Klasifikasi Letusan Gunung Api dari Werner tidak ada yang mengarah pada letusan dahsyat. Baru kemudian dia tercengang ketika terdapat catatan kuno yang ada di Kitab Pustaka Raja Purwa tentang letusan mengerikan Krakatao yang membuat gunung itu lenyap dan itu terjadi sekitar tahun 416.

Tetapi ini adalah kitab kuno yang sisi ilmiahnya memang sulit dicari. Apalagi kitab itu menggambarkan kejadian sekitar 1400 tahun sebelum letusan 1887. 

Tapi Verbeek mau tak mau mempertimbangkan data tersebut dan akhirnya secara lebih teliti melihat peta gunung yang ada. Dia baru sadar betapa besar kaldera gunung itu dan mengingatkan pada Tambora.

Sekali lagi semua terlambat. Tak ada waktu lagi untuk mengingatkan penduduk terlebih dengan teknologi saat itu. Krakatao mengamuk. Letusan menghancurkan 165 desa di pantai. Lebih dari  36.000 tewas orang. Ada laporan mayat dan batu apung yang terdampar di Afrika setahun kemudian. 
Letusan Krakatao menjadi salah satu bencana terhebat yang pernah terjadi di muka bumi. Sebanyak 20 juta ton belerang dilepas ke atmosfer yang menyebabkan pandangan senja luar biasa di seluruh planet dan menurunkan suhu global hingga abad ke-20. Krakatao nyaris tak tersisa. Batu keras 12 mil persegi telah lenyap ke udara hanya dalam waktu 40 jam. Gunung secara harfiah telah meledakkan dirinya hingga hancur. 

Gelegar Krakatao disebut sebagai suara paling bising di dunia yang berhasil dicatat. Kekuatan ledaknya diperkirakan 30.000 kali kekuatan bom atom yang dijatuhkan di Hirosima Jepang.

Betul letusan Krakatao masih kalah dengan letusan Toba atau Tambora. Tetapi letusan keduanya terjadi ketika populasi manusia belum sepadat Krakatao sehingga jumlah korban jiwa tidak sebanyak ketika Krakatao meletus.

Verbeek pun meramal gunung akan tumbuh dengan kecepatan 5 meter per tahunnya. Ramalan yang sebenarnya sudah dilakukan oleh Ranggawarsita yang mengatakan roh gunung akan muncul kembali. Masyarakat kemudian menyebut gunung yang muncul sebagai Tha Son of Krakatoa (Anak Krakatao), sementara jika mengacu pada Ranggawarsita, gunung yang ada sekarang ini adalah Cucu Krakatao.

Karya Verbeek tentang krakatao menjadi dasar vulkanologi modern yang memberi ilmuwan catatan rinci saksi mata dari seluruh siklus letusan untuk pertama kali dalam sejarah
Kini, ketika semua data lebih lengkap, ilmu lebih maju, teknologi jauh lebih canggih tetap saja Krakatao tak bisa diramal.  

Memang begitulah, sehebat dan sepintar apapun manusia, dia hanyalah bagian kecil dari alam. Tidak mungkin bisa menguasai alam apalagi meramal keputusan Tuhan.

* Penulis Amiruddin Zuhri, mantan wartawan, Pemerhati Gunung Berapi.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES