Kopi TIMES

Tahlil dan Tahlilan

Kamis, 07 Februari 2019 - 23:54 | 544.87k
Zulfan Syahansyah (Grafis: TIMES Indonesia)
Zulfan Syahansyah (Grafis: TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG"TAHLIL" adalah bentuk masdar dari kata kerja (fi'il): hallala-yuhallilu-tahlil, yang artinya berhailalah, maksudnya: membaca "La ilaha illa Allah", yakni satu ungkapan pernyataan sekaligus kesaksian "tiada tuhan selain Allah".

Sedangkan "Tahlilan" adalah tradisi sebagian umat Islam, dan kini sudah banyak dilakoni juga oleh kaum muslimin di penjuru alam, kecuali kelompok muslim berfaham "saklek" (penulis tidak akan menyebut apa atau siapa saja yg masuk katagori kelompok muslim saklek. Anda pasti sudah faham).

Advertisement

Tradisi tahlilan ini, selain membaca tahlil, juga membaca beberapa kalimat tayyibah lainnya, yang intinya berdo'a bersama kepada Allah SWT untuk sesorang dan keperluan yang diniatkan bersama. Biasanya juga, do'a dalam acara tahlilan ditujukan untuk kerabat yang sudah tiada.

Sampai pada titik ini, tidak ada pertentangan. Artinya, ajaran Islam memang mengajarkan kita untuk berdo'a dan saling mendo'akan antar sesama.  Jika masih ada yang meragukan keabsahan ajaran saling mendo'akan, silahkan dibuka lagi nas-nas hadis, bahkan ayat Al-Qur'an seputar hal tersebut.

Kelompok yang tidak setuju dengan tradisi tahlilan biasanya berhujjah dengan dua alasan. Pertama, tahlilan -dalam pengertian mereka- belum pernah ada (tidak diajarkan oleh Rasulullah), dan yang kedua, dampak dari tradisi tahlilan itu sendiri yang diartikan sebagai "musibah kuadrat". 

Pihak yang tidak setuju tahlilan menganggap bahwa kemalangan keluarga yang ditinggal mati kerabatnya bagai jatuh tertimpa tangga; sudahlah tertimpa musibah kematian, masih juga ditimpa "kemalangan" harus menyediakan dana konsumsi untuk helatan acara tahlilan.  

Karena hujjah mereka berkutat pada dua hal tersebut, maka penulis pun tidak akan memperlebar bahasan selain memberi tanggapan atas hujjah yang mereka pakai untuk menyerang tradisi tahlilan.

IJTIHAD DALAM IBADAH
Penulis terkadang merasa iba kepada kelompok muslim yang hanya mau menjalankan amalan ibadah sebagaimana dipraktekkan Rasul. Di luar itu, mereka anggap bid'ah. Pedoman mereka hanya Qur'an dan Hadis. Di luar keduanya, dianggap penyimpangan. Benarkah itu?

Mari kita mulai dengan memahami istilah "ibadah yang tidak dipraktekkan oleh Rasulullah". Benarkah kelompok muslim yang tidak mau tahlilan itu murni karena Rasulullah tidak pernah mengamalkan tradisi tahlilan,  atau karena hal lain?! Jika memang alasannya karena tidak dipraktekkan oleh Rasulullah, maka seharusnya mereka juga konsisten agar tidak menjalankan semua amalan ibadah yang tidak dilakukan Rasul.

Anda tahu, termasuk amalan yang tidak pernah ada di masa Nabi adalah membaca/mengaji Al-Qur'an sebagaimana yang ada sekarang. Maksudnya, di zaman Nabi tidak ada Al-Qur'an seperti saat ini. Selain Al-Qur'an itu tidak terjilid menjadi satu kitab, tulisan Al-Qur'an juga tidak ada harokat, bahkan tidak bertitik. 

Tidak bisa membedakan mana huruf Jim, Ha', juga Kha'. Karena memang tidak bertitik. Dan seiring meluasnya ajaran Islam ke seantero alam, dan banyaknya non-Arab yang memeluk agama Islam, maka dilakukanlah ijtihad untuk memudahkan membaca Al-Qur'an dengan modifikasi dan identifikasi huruf Hijaiyyah, lalu pengenalan syakl bacaan Arab, alias ilmu I'rab yang diprakarsai oleh Imam Abu Aswad Ad-Duali. 

Tujuannya, agar memudahkan umat Islam membaca ayat Al-Qur'an. Maka modifikasi Al-Qur'an seperti saat ini adalah hasil ijtihad ulama. Zaman Rasul tidak ada Al-Qur'an seperti yang kita baca. Apakah ada yang mempertanyakan keabsahan "pengembangan" tulisan Al-Qur'an yang belum pernah dilihat Rasul seperti sekarang? Jika di zaman Nabi tidak ada kitab Al-Qur'an, yang tentunya tidak ada juga amalan ngaji kitab Qur'an, maka apakah kelompok penentang tahlilan juga akan menentang pengajian Al-Qur'an?!

Selain bacaan Al-Qur'an yang tidak ada di zaman Rasul, ada juga contoh lainnya yang tidak ada di zaman beliau, bahkan dilarang oleh beliau SAW. Yakni, menulis perkataan Rasul selain Al-Qur'an. Ya, Rasulullah melarang para sahabat menulis pitutur dan nasehat beliau. Hanya wahyu ilahi yang diperkenankan oleh beliau untuk dicatat. 

Bagaimana sekarang? Berapa banyak kitab-kitab hadis yang ditulis oleh para ulama, dan dipelajari umat Islam sejak dahulu hingga sekarang? Jika ditulis saja dilarang, maka pastinya Rasulullah tidak mengajarkan tradisi belajar hadis. Apakah kelompok penentang tahlilan juga menentang tradisi pengajaran hadis nabi?

Dengan realita ini, maka kelompok muslim yang menentang tradisi tahlilan dengan hujjah "tidak pernah dipraktekkan oleh Nabi" ini pasti tidak akan konsisten menjalankan hujjah mereka. Itulah alasan kenapa penulis merasa iba dengan kelompok ini. Lebih iba lagi jika mendengar "semboyan": kembali pada Qur'an dan Hadis.

Apa mereka mau kembali pada Qur'an sebagai lembaran yang tercerai berai dengan kondisi tulisan tak bertitik dan tak berharokat?! Atau mereka akan kembali pada hadis yang dilarang oleh Nabi dalam penulisannya??!

Adapun hujjah penolakan tradisi tahlilan selanjutnya, yakni asumsi kemalangan keluarga yang ditinggal mati kerabatnya bagai jatuh tertimpa tangga; sudahlah tertimpa musibah kematian, masih juga ditimpa "kemalangan" harus menyediakan dana konsumsi untuk helatan acara tahlilan.

Untuk asumsi ini, penulis hanya mengajukan pertanyaan balik: apa mereka juga menyalahkan jika ada seorang yang miskin mengeluarkan sodaqah?! Adakah batasan kemampuan untuk bersodaqoh?! Anda bisa menjawab sesuai hati nurani masing-masing.

Namun jika ditanya: adakah landasan ajaran bersodaqah bagi orang yg sedang kesusahan?
Jawabannya "ada". Dalam surat Ali Imron: 134, dijelaskan ciri-ciri orang yg bertaqwa. Salah satunya adalah mereka yang mau mengeluarkan sebagian hartanya (berinfaq), baik saat dalam keadaan senang, juga susah.

Dan orang yg tertimpa musibah kematian sanak keluarganya termasuk orang-orang yang malamh dan sedang ditinpa kesusahan. Dalam kondisi seperti inilah, sejatinya hakekat ketaqwaan seseorang teruji.
Adakah dia hanya bisa berbagi sebagian harta saat senang saja, atau dia tetap bersodaqah dan berinfaq, meskipun sedang dirundung duka.

Waba'du, para penentang tradisi tahlilan mungkin lupa, bahwa umat Islam yang biasa menjalankan tradisi ini juga juga punya tradisi "kumsalam". Yaitu tradisi membawa beras, gula, atau bersedeqah ala kadarnya, oleh kalangan muslimat (ibu-ibu); mereka bawa dalam rangka berta'ziyah (ucapan bela sungkawa) kepada pihak keluarga yang ditinggal mati. 

Para penentang tradisi tahlilan pastinya juga menentang tradisi "kumsalam". Mereka katakan kalau keluarga yang ditinggal mati ditimpa musibah, tapi mereka ogah memberi sodaqah untuk mengurangi beban. Lantas, apa mereka hanya bisa menyalahkan dan mentertawakan keluarga yang ditinggal mati? Wallahu a'lam bissawab. (*)

* Penulis adalah Zulfan Syahansyah Dosen Aswaja Pascasarjana UNIRA Malang

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES