Kopi TIMES

Membaca Adanya Indikasi Pengkhianatan

Senin, 25 Februari 2019 - 14:40 | 314.26k
Didik P Wicaksono. (Grafis: TIMES Indonesia)
Didik P Wicaksono. (Grafis: TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Kontestasi politik (pilpres) tahun 2019 antara pasangan calon (paslon) 01 (Jokowi-Ma’ruf) vs paslon 02 (Prabowo-Sandi) semakin memanas. Bukan hanya memanas diantara kedua Tim Kampanye Nasional (TKN) vs Badan Pemenangan Nasional (BPN), juga merembet kepada para pendukung dan rakyat pada umumnya.

Munculah sikap gigih dari sebagian rakyat yang membela dan mendukung paslon 01 sembari menjelekkan paslon 02. Sebaliknya juga tidak kalah gigih pendukung paslon 02 berbalas menjelekkan paslon 01. Akibat selanjutnya, rakyat terbelah pada polarisasi aksi dukung-mendukung paslon yang seringkali direspons saling emosional. Minim konfirmasi validitas soal kebenaran pembelaanya.

Advertisement

Narasi saling mengumbar kelemahan masing-masing paslon pun beredar kencang di medsos. Bertambah runyam –ibarat benang berjalin kelindan– dengan informasi hoax. Antara hoax dan bukan semakin sulit dibedakan. Sebab sikap fanatik, sentimen dan emosional yang lebih dikedepankan.

Sikap fanatik yang membabi buta, dapat membutakan mata tentang adanya kecenderungan perilaku khianat. Partai politik (parpol) dan koalisi parpol bisa tidak efektif sebagai wadah penyaring kader bangsa dan negara terbaiknya.

Fanatisme, selain memberangus akal sehat, berefek pula pada tereksposnya kekurangan masing-masing paslon. Sebab bukan kekuatan dan kelebihan yang muncul kepermukaan. Tetapi kekurangan paslonlah yang saling dimunculkan oleh paslon kompetitornya.

Rakyat yang belum menentukan pilihan dan mereka peduli dengan kedaulatan suaranya bisa saja mengalami ketidakpercayaan. Bukan tidak mungkin pada tanggal 17 April 2019 (mereka) berpaling ke pilihan golput yang justru mengurangi legitimasi terpilihnya paslon.

Rupanya muara dari persaingan paslon dapat direkam dan dirasakan pada keraguan apabila terpilih tidak dapat menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas segalanya. Bahasa gamblangnya ada kekhawatiran mereka melakukan pengkhianatan terhadap bangsa dan negara sendiri.

Diakui atau tidak –orang-orang disekeliling– pihak paslon 01 maupun 02 banyak yang baik, hebat dan dapat dipercaya. Namun tidak menutup kemungkinan adanya orang (oknum) yang khianat.

Oleh sebab itu, tidak salah rakyat meningkatkan kepekaan dapat membaca indikasi adanya pengkhianatan. Memahami kemungkinan terjadinya pengkhianatan, rakyat (via legislatif yang terpilih) bisa mengkontrol jalannya pemerintahan.

Bagaimana memahami indikasi adanya pengkhianatan?

Khianat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah perbuatan tidak setia, tipu daya, perbuatan yang bertentangan dengan janji. Pengkhianat menunjuk pada pelaku (orangnya). Sedangkan pengkhiatanan adalah proses, cara, perbuatan berkhianat atau mengkhianati.

Lawan dari khianat adalah amanah (jujur dan dapat dipercaya). Orang yang khianat sama halnya dengan tidak jujur alias pendusta. Biasa mengingkari janji. Tidak menyelesaikan tugas kewajiban yang telah disanggupinya. Tidak bertanggung jawab bagi keselamatan –dalam konteks politik– kedaulatan kehidupan berbangsa dan negara Indonesia.

Tanpa bermaksud mempolitisi ajaran agama. Islam jelas memberi petunjuk, “Jangan kamu membela orang-orang yang khianat pada diri mereka. Sesunggunya Allah tidak suka kepada orang yang khianat dan berbuat dosa” (QS.4. An-Nisa:108)

Jika menengok kebelakang, perjalanan bangsa dan negara ini tidak lepas dari adanya pengkhiatan diantara sikap patriotik dan nasionalisme. Penghianat dan patriontik bisa datang dari golongan manapun.

Pada saat Panglima Besar Jendral Soedirman dikepung Belanda, ada orang pribumi yang membocorkan persembunyian sang Jenderal.

Orang Belanda pun ada yang berjasa bagi Kemerdekaan RI, yaitu Ernes Douwes Dekker (Danudirja Setiabudi) dan Eduard Douwes Dekker (Multatuli). Danudirja adalah Pahlawan Nasional Kemerdekaan. Nama Setiabudi abadi menjadi nama Jalan di Kota Kota Negeri ini.

Keturunan Arab juga banyak yang menjadi Pahlawan Nasional. Kepanduan dan Himne Pramuka merupakan jasa, yang notabene (mereka) keturunan Arab. Nama-nama yang tercatat dalam sejarah diantaranya Raden Saleh, Habib Abubakar bin Ali Shahab, Abdurrahman Baswedan, Faradj bin Said, Ali Alatas dan Mar'ie Muhammad.

Terdapat pula etnis Tionghoa yang menjadi pahlawan Nasional. Sebut saja, Lie Yun Fong (Ali Sudjianto), John Lie (Daniel Dharma), Ong Tjong Bing (Daya Sabdo Kasworo) dan lainnya. Kini di dunia olah raga etnis Tionghoa banyak mengharumkan nama Indonesia.

Soal etnis tionghoa, memang dari dulu (berabab-abab yang lalu) hingga kini, memiliki sikap yang beragam terkait konteks ke-Indonesia-an.

Ada yang membela dan cinta kepada Indonesia. Ada yang tetap berpihak pada Negara asalnya. Istilahnya, Indonesia bapak angkat, bapak Asli/kandungnya adalah People's Republic of China (PRC). Ada yang migrasi mencari penghidupan. Ada yang murni mengurusi perdagangan, dan ada juga yang mengharumkan nama Indonesia.

Siapapun bisa menjadi pahlawan (patriot) dan siapapun (perlu diwaspadai) bisa terperosok menjadi pengkhianat.

Issu sensitif yang mewarnai kontestasi politik 2019, satu sisi terkait dengan PRC dan disisi lain hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat. Seolah jika paslon 01 yang menang, Indonesia “dijajah” oleh PRC. Sedangkan jika paslon 02 yang menang, Indonesia “dijual” ke Amerika Serikat.  

Politik luar negeri Indonesia adalah bebas aktif. Asalkan kerjasama itu bukan membuka pintu atau mengundang masuknya imperialisme dan neokolonialisme. Seperti apa yang dikhawatirkan oleh Bung Karno.

Siapapun yang menjadi pemenang dalam kontestasi politik 2019 nanti, silakan pemerintah Indonesia menjalin kerja sama dengan negara luar, asing, aseng atau apapun istilahnya. Sejauh kerja sama dengan Negara luar dikelola demi kemakmuran Rakyat Indonesia, apa masalahnya?

Justru yang perlu diwaspadai bersama pasca 17 April 2019. Yaitu pertarungan global dengan strategi proxywarnya. Bertujuan memporak-porandakan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

NKRI ada, berkat Rahmat Allah yang maha kuasa. Tidak bisa diingkari bahwa Negara Indonesia itu berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Wajar negara Indonesia melarang adanya paham sekulerisme, liberalisme, komunisme, radikalisme dan terorisme dapat tumbuh dan berkembang.

PRC yang dengan tegas melarang ideologi (isme-isme) selain paham komunisme. Partai komunisme adalah satu-satu partai penguasa di sana. Semua aktivitas orang PRC harus berdasarkan pedoman yang digariskan atau dibawah arahan Partai komunisme.

Soal itu, negara Indonesia tentu mungkin mencampuri urusan dalam negeri PRC. Sebaliknya tidak ingin pula pengaruh ideologis PRC mewarnai bangsa Indonesia. Demikian pula bila bekerja sama dengan Amerika Serikat, tidak boleh membuat bangsa Indonesia menjadi liberal dan sekuler.    

Dulu pada masa kolonialisme, Belanda dan Bangsa Eropa lainnya berada di atas. Kaum bangsawan dan Timur asing (China) berada golongan menengah. Sedangkan pribumi berada digolongan bawah. Golongan bawah adalah golongan yang tertindas.

Golongan bawah sampai sekarang (24/02/2019) adalah golongan kebanyakan yang memang pantas diperjuangkan. Itulah suara rakyat mayoritas yang masih tertindas di negeri ini, yang seharusnya menjadi keberpihakan paslon pemenang pengelola negara pada pasca 17 April 2019 nanti.

Kita harus percaya pernyataan Wahyu Setiawan dari Komisioner Komisi Pemilihan Umum RI (KPU-RI) pada siaran TV Swasta (19/02/2019) yang memastikan tidak ada pengkhianatan. “Siapapun nanti yang terpilih adalah para pemimpin kita. Jadi tidak mungkin mengkhianati rakyatnya sendiri”. 

 

*)Didik P Wicaksono. Pemerhati Dinamika Politik, Aktivis di Community of Critical Sosial Research, Universitas Nurul Jadid (UNUJA) Paiton Probolinggo.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES