Kopi TIMES

“Mak Erot” Intelektual Politik

Sabtu, 09 Maret 2019 - 02:40 | 129.27k
Muh Rheza Aditya.
Muh Rheza Aditya.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – PANASNYA suhu politik yang semakin bergejolak seiring dekatnya hari pemilihan umum. Hampir semua diskursus publik disetiap level masyarakat membicarakan dengan seksama problematika perkembangan politik yang semakin update. Hal ini salah satu contohnya bisa kita lihat dari trending topic beberapa media sosial beberapa bulan terakhir ini.

Istilah "Pesta Rakyat" memang sangat pantas bagi perhelatan lima tahunan ini. Rakyat seperti menikmati riuh politik ini dengan berbagai macam ekspresi. Hal yang banyak menyedot pembicaraan publik pada pemilu kali ini adalah tampilnya kembali dua figur Capres yang pernah bertarung lima tahun lalu. Artinya soal referensi kapasitas dua figur tersebut sudah sangat diketahui oleh masyarakat pada umumnya.

Advertisement

Proses menjelang pilpres ini seperti sudah memasuki model pembicaraan yang teramat genting, sampai-sampai perdebatan masyarakat untuk membela kandidatnya menjadi suatu hal yang sama pentingnya seperti mempertahankan nama baiknya sendiri.

Segala bentuk sindiran kepada kubu lawan semakin menjadi-jadi bukan hanya dari tim kampanye saja, melainkan masyarakat pun sudah lihai melakukan hal itu. Aktivitas perang tagar dalam perbincangan media sosial menggambarkan dengan sangat jelas hal ini. seperti contoh perang tagar antara #uninstaljokowi yang sempat menjadi trending topik dunia yang mulanya adalah bentuk respon dari serangan tagar #uninstalbukalapak karena cuitan CEO bukalapak yang dirasa menyindir petahana.

Polarisasi pada masyarakat pun seakan terjadi dengan sangat masif. Fanatisme Capres pun menjadi pandangan umum yang biasa kita lihat. Seperti model fanatisme pada umumnya, fanatisme jenis ini pun seakan sudah menutup ruang untuk berbagai kemungkinan dan perkembangan baru terhadap realitas politik.

Pendukung yang fanatik biasanya sudah tidak bisa menerima fakta akan adanya kekurangan pada Capres pilihannya. Dan model pembelaannya terlampiaskan dengan cara mencari kelemahan kubu lawan untuk digembor-gemborkan guna mengalihkan pembicaraan tentang kekurangan Capresnya.

Peran intelektual teramat laku pada perhelatan kali ini, bukan untuk menjadi filter kewarasan publik, tapi menjadi manipulator realitas atas nama tuan yang telah merekrutnya pada salah satu kontestan politik ini.

Pada situasi seperti ini, semakin buram/pudar kita menentukan mana yang benar dan mana yang salah pada pusaran fanatisme Capres yang sarat akan kekuatan. Bahkan kedua kubu capres berlomba-lomba mengadakan deklarasi dalam lingkup alumni universitas untuk semakin melegitimasi keberpihakan kaum intelektual pada kubunya.

Seperti yang sempat menjadi sorotan publik ketika adanya deklarasi Alumni UI di Plaza Tenggara Gelora Bung Karno Jakarta pusat, Sabtu (12/1/2019) atau deklarasi perguruan tinggi seluruh Indonesia di Padepokan silat TMII, Sabtu (26/1/2019).

Semua kubu berbicara atas nama akal sehat untuk membela Capresnya. Berbagai cara dilakukan untuk menaikan elektabilitas calonnya masing-masing. Korban dari kondisi miris ini adalah munculnya kualitas pendidikan politik yang jauh dari kata ideal.

Masyarakat dipaksakan mengkonsumsi berita-berita sampah (murahan) yang nantinya mereka jadikan bahan jualan untuk membela Capresnya. Akhirnya kita seperti tidak ada bedanya seperti membeli kucing dalam karung walaupun dua figur ini sudah lama kita kenal serta kita tahu kapabilitasnya masing-masing.

Jika keadaan seperti ini dibiarkan berlarut-larut, maka kepercayaan akan kekuatan intelektual akan menurun secara drastis. Pada masa kritis inilah dibutuhkan relawan dari golongan intelektual yang masif sebagaimana gerak relawan-relawan capres yang telah terjebak fanatisme akut momentual ini.

Berkaca dari sejarah masa lalu, ketika intelektualisme sudah dilanda kegelapan, maka malapetaka sedang mengintip keruntuhan suatu bangsa. Eropa pernah dilanda kemunduran zaman pada masa lalu tersebab pembungkaman terhadap idealisme intelektual, yang pada akhirnya terselamatkan pada masa renaissance ketika gerakan perlawanan penyelamatan intelektual lahir.

Idealisme intelektual bagaimanapun harus hadir ditengah kondisi intelektualisme yang seakan mandul dalam mengawal keberlangsungan kondisi politik nasional hari ini. Jika keadaan ini dibiarkan begitu saja karena dianggap biasa, maka sungguh kita sedang menggiring bangsa ini kejurang kehancuran sebagaimana berkaca pada sejarah dunia.

Data statistik pemilu tahun ini meletakan pemilih milenial pada angka yang begitu menentukan sebanyak 34,2 persen. Dari kuantitas tersebut menyisakan kurang lebih 20% undecided voters.

Generasi mileneal dianggap sebagai pemilih potensial karena cenderung bersikap kritis dan rasional. Hal ini tentu tidak lepas dari pengaruh perkembangan teknologi mendia informasi. Hasil survey CSIS pada agustus 2017 menyebutkan sebanyak 81,7 persen milenial pengguna facebook, 70,3 persen pengguna Whatsapp, dan 54,7 persen pengguna Instagram. Dan fokus pertarungan pilpres hari ini sedang bertaruh memperebutkan para swing voters tersebut.

Dari data tersebut paling tidak menampilkan suatu realitas lain dari politik hari ini, bahwa masih ada peluang kurang lebih 20 persen diluar pemilih yang sudah menentukan pilihan (didalamnya termaksuk pemilih fanatik) untuk mengambil keputusan pemilihan dengan basis argumentasi intelektual yang berkualitas. Sejatinya masih ada ruang pengabdian intelektual yang ideal bagi para kaum intelektual yang masih setia pada kekuatan dan kesucian intelektualitas.

Salah satu kekuatan intelektual terbesar adalah Mahasiswa, maka idealisme gerakan mahasiswa harus berbondong-bondong mengisi peran pengabdian tersebut sebagai lahan pengabdian bagi bangsa dalam masa kontestasi politik ini.

Mahasiswa harus mengambil peran yang dimasifkan sebagai kekuatan gerakan baru yang punya power besar dalam pertarungan kali ini. Di tengah kemandulan intelektualisme hari ini, gerakan mahasiswa haru hadir sebagai "mak erot" intelektual untuk meng-counter perilaku jual beli intelektual pada pasar gelap kekuasaan.

Segala kemampuan berpikir ideal dari mahasiswa harus dihadirkan sebagai hakim dari perilaku fanatisme Capres yang sedang membabi buta serta telah menghegemoni gaya politik hari ini. Olehnya itu, penulis mengharapkan kepada seluruh elemen Mahasiswa Indonesia sebagai salah satu punggawa intelektual indonesia untuk tetap mengedepankan peran dan fungsinya sebagai agent of maker.

Menjadi hakim akal sehat dari segala pembenaran informasi tanpa melihat keberpihakan Capres dalam pusaran fanatisme buta ini. Independensi harus dipegang teguh dan dijadikan sebuah komitmen utuh dalam bergerak mengarungi pesta demokrasi.

Optimisme besar dalam menjaga harga diri bangsa Indonesia bukan pada bersorak mendukung kubu yang kuat, melainkan bagaimana Mahasiswa mampu menghadirkan kebermanfaatan dalam pendidikan politik akal sehat. "Karena pesta demokrasi ini hanyalah sebuah pesta yang sejatinya tidak perlu diagung-agungkan, segala polemik bangsa sudah menumpuk dan rakyat menanti perubahan dari elemen Mahasiswa Indonesia”. (*)

 

*Penulis, Muh Rheza Aditya, mahasiswa Jurusan Teknik Sipil (S-1) ITN Malang, Ketua Umum Forum Mahasiswa Takalar (FORMASTA) Kota Malang dan Sekretaris Umum Koordinator Komisariat Nasional ITN Malang

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES