
TIMESINDONESIA, BONDOWOSO – Beberapa hari ini kita diributkan dengan gelar guru gesar Amien Rais. Simpang siur beritanya. Ada yang memberitakan bahwa jabatan guru besar Amien Rais telah dicabut, dia tak lagi menyandang gelar Profesor di depan namanya. Namun juga ada berita bantahan, bahwa itu hanya isu, hanya hoaks yang sengaja diciptakan untuk menyudutkan posisi Amien Rais.
Sebagaimana mafhum, sebelum terjun ke politik praktis, Amien Rais adalah seorang akademisi. Dia dosen di UGM. Jabatan guru besar dia dapatkan di UGM. Salah satu kampus keren di negeri ini. Siapa yang tak kenal UGM? Siapa yang tak ingin menjadi bagian dari UGM? Saya kira, semua akademisi ingin dan bangga menjadi bagian dari UGM.
Advertisement
Amien Rais tercatat sebagai dosen di Fisip UGM. Dia salah satu dosen senior di jurusan politik. Bersama beberapa orang guru besar dan dosen Fisip UGM yang lain, seperti Afan Gaffar dan Riswanda Imawan, Amien Rais menjadi tokoh kunci gerakan Reformasi di tahun 1998.
Guru Besar, Sekadar Jabatan?
Ketua Dewan Guru Besar (DGB) UGM, Koentjoro angkat bicara terkait polemik gelar profesor Amien Rais. Koentjoro menjelaskan, bahwa jabatan guru besar adalah jabatan akademik, sehingga, siapapun yang telah purna tugas dari tugas akademik di sebuah kampus, maka jabatan sebagai guru besar juga otomatis hilang. Guru besar atau profesor adalah jabatan akademik, bukan gelar akademik. Pendek kata, ada perbedaan antara jabatan akademik dan gelar akademik. Jabatan akademik tidak melekat selamanya pada seseorang sedang gelar akademik, inheren melekat pada seseorang.
Jabatan sebagai profesor berbeda dengan gelar Doktor, Master atau Sarjana yang secara inheren melekat pada seseorang karena telah menyelesaikan tahapan belajar sesuai jenjangnya. Sarjana untuk mereka yang telah menyelesaikan pendidikan S1, Master untuk mereka yang telah menyelesaikan pendidikan S2 dan Doktor untuk mereka yang telah menyelesaikan pendidikan S3.
Penjelasan Koentjoro sebenarnya sudah sangat detail dan jelas, tidak ada yang perlu diperdebatkan, clear, selesai persoalan. Namun menjadi polemik ketika media terus menerus menulis dan mempersoalkan.
Berita Amien Rais "dicopot" guru besarnya memang seksi, menggoda dan bernilai jual. Buktinya, berita tentang pencopotan guru besar Amien Rais ini memiliki rating cukup tinggi. Terus dibaca dan diikuti perkembangannya oleh pembaca dan pemirsa.
Ini semua tak lepas dari sosok Amien Rais. Tokoh kontroversial yang sangat kritis ke pemerintahan Jokowi. Tokoh yang dianggap sering memanaskan konstelasi politik nasional. Mulai dari statemen partai Allah, partai syetan hingga ke ajakan people power adalah beberapa contoh dari sepak terjang Amien Rais.
Karena itu, tak heran, jika Amien Rais menjadi tokoh yang yang dibenci sekaligus dicintai. Itulah resiko yang dipilih Amien Rais, resiko seorang politisi.
Jika benar guru besar sekadar jabatan, maka seseorang yang telah pensiun sebagai ASN secara otomatis juga tidak berhak memakai gelar Profesor di depan namanya. Namun apakah sesederhana itu? saya kira tidak. Gelar guru besar, sebutan profesor tidak sesederhana itu. Profesor bukan sekadar jabatan akademik, tapi lebih dari itu, ia adalah tanggungjawab akademik.
Tanggungjawab akademik ini menjadi kata kuncinya. Menjadi nilai utama dari posisi seseorang yang telah berhasil meraih jabatan guru besar. Jabatan ini menuntut tanggung jawab, bukan hanya memberi hak pada seseorang.
Seseorang dengan sebutan profesor tentu memiliki tanggungjawab akademik dan tanggungjawab moral jauh lebih besar dibanding mereka yang belum meraih jabatan ini. Seorang profesor dituntut untuk terus berkarya dan memberikan ide-ide brilian yang dapat menjadi solusi dari persoalan-persoalan kehidupan. Kapasitas keilmuan mereka yang tak diragukan, seharusnya, menjadi jaminan bahwa mereka adalah putra-putra pilihan terbaik yang dimiliki oleh sebuang bangsa. Karena itu, karya mereka terus ditunggu.
Seharusnya, para profesor itu, seperti Amien Rais menjadi problem solver. Mereka yang memberi solusi, memecahkan masalah, bukan sebaliknya menjadi pembuat masalah, troubel maker.
Seorang akademisi, apalagi seorang guru besar berkewajiban terus menerus mencari hal baru (inovasi) untuk menemukan cara terbaik memecahkan masalah. Mereka boleh salah, namanya saja usaha, namanya saja eksperimen, salah, boleh. Salah untuk menemukam benar. Itu dihormati dalam dunia akademik. Hal yang tak boleh dilakukan oleh seorang akademisi adalah berbohong, culas, menipu dan memperdaya.
Dalam konteks ini, prilaku dan sikap seseorang akhirnya menjadi ukuran. Apakah seseorang layak dinilai sebagai seorang akademisi atau tidak. Seseorang layak dinyatakan sebagai guru besar atau tidak.
Meskipun memiliki jabatan guru besar, di depan namanya tersemat tulisan profesor, namun, bila sikap (attitude) dan karakternya buruk, ditambah lagi tak ada karya yang memberi solusi, saya berkesimpulan, seseorang tersebut belum layak menyandang nama guru besar.
Bagaimana dengan Amien Rais, layakkah dia menyematkan profesor di depan namanya? Saya kira, masing-masing kita berhak menilai, apakah Amien Rais telah memberi kontribusi atau tidak. Apakah dia menjadi problem solver atau dia malah jadi troubel maker? Silahkan pembaca bebas menilainya, menilai dengan jujur dan bertanggungjawab.
Belajar ke Pesantren.
Tidak ada salahnya kita belajar tanggungjawab dan kejujuran pada para ilmuwan pesantren, para santri dan kiai.
Untuk apa? Agar kita tidak terjebak pada persoalan atribut saja, gelar saja, simbol akademik saja. Lalu, kita belajar bagaimana seharusnya memposisikan diri sebagai seorang ilmuwan.
Banyak ulama hebat di pesantren. Salah satu yang sedang naik daun adalah Gus Baha' (KH. Ahmad Bahauddin Nursalim), seorang ahli tafsir sekaligus ahli fiqh. Seorang hafidz (penghafal al Qur'an) yang santun dan bersahaja.
Keilmuan Gus Baha' diakui oleh para pakar tafsir, sampai-sampai seorang Prof. Dr. Quraish Shihab mengakui dan mengagumi keilmuan Gus Baha'. Bukan hanya Prof. Dr. Quraish Shihab, ustad Adi Hidayat juga mengapresiasi keilmuan Gus Baha'.
Secara akademik Gus Baha' juga diapresiasi, meskipun dia tidak pernah menempuh pendidikan formal. Dia hanya lulusan pesantren, santri tulen. Dia santri dari Mbah Mun (KH. Maimun Zubair).
Namun, karena keilmuannya yang hebat, dia dipercaya sebagai ketua ketua Lajnah Mushaf di Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta. Banyak tokoh yang menjadi anggota lajnah ini, termasuk di antaranya adalah Prof. Dr. Quraih Shihab, Prof. Zaini Dahlan dan Prof. Shohib.
Gus Baha' tetap berpenampilan sederhana, bersahaja, sebagaimana layaknya kiai-kiai NU dan pesantren. Bajunya tetap itu-itu saja, warna putih lengan panjang, tak pernah dia memakai sorban dan jubah, kopiahnya tetap kopiah hitam, tak pernah dia memakai kopiah putih.
Menurut pengakuannya, semua baju dan kopiah yang dia pakai sebagai bentuk pengakuan bahwa dirinya masih santri, masih bodoh, masih mau belajar. Kopiah putih dan baju koko atau gamis, jubah adalah pakaian kiai, para ulama, yang ilmu dan amalnya sudah sundul langit. Gus Baha' merasa dirinya belum, belum tahu apa-apa. Maka tak pantas baginya memakai kopiah putih dan baju gamis atau jubah. Itulah akhlak santri, akhlak kiai, kiai NU dan pesantren.
Gus Baha' tidak sibuk dengan atribut, dia sibuk dengan substansi, substansi Islam. Dia sibuk mengajar, memberi manfaat. Dia tidak butuh pengakuan akademik, baginya kemanfaatan ilmu bukan diukur dari pengakuan akademik, tapi seberapa besar ilmu yang dimiliki telah memberi nilai manfaat. Memberi solusi bagi kemanusiaan. Pernah satu ketika, dia ditawari gelar Dr (HC), tapi dia menolak. Karena bagi Gus Baha', gelar tak penting, yang penting adalah mengamalkan ilmu, mengajar.
Gus Baha' hanya sedikit dari banyak tokoh pesantren yang patut dicontoh. Mereka ikhlas memberi tanpa berharap imbalan, meskipun hanya dalam bentuk pengakuan. Mereka sibuk dan konsentrasi hanya pada tuhan, pada Allah. Hanya berharap pengakuan dari Allah. Bahkan, tak jarang dari mereka yang menghindar, sembunyi dari popularitas, melakukan lelaku khumul (menghindar dari popularitas). Berbuat tanpa mau dilihat.
Mereka ikhlas melaksanakan kewajiban. Pekerjaan dipahami sebagai tanggungjawab. Profesi dimaknai sebagai beban kewajiban. Mereka tak melulu menuntut hak, mereka tak sibuk dengan gaji dan numerasi. Mereka sibuk meraih ikhlas dan pahala. Dedikasinya penuh, untuk sebuah kata, tanggungjawab.
Jika telah mencapai tingkatan ikhlas, tentu atribut dan simbol tak lagi utama. Jabatan profesor atau guru besar tak lagi diributkan. Namun, nilai manfaat yang menjadi tujuan. Ikhlas menjadi ukuran. Wallahu a'lam
*Penulis, Moh Syaeful Bahar, dosen UIN Surabaya dan Pengurus Cabang NU Kabupaten Bondowoso
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Yatimul Ainun |
Publisher | : Rizal Dani |