Prof. Dr. (H.C.) KH. Muhammad Tholhah Hasan: Sebuah Refleksi Diri

TIMESINDONESIA, MALANG – Tulisan saya kali ini saya tujukan sebagai penghormatan kepada Almarhum Prof. Dr. (H.C.) KH. Muhammad Tholhah Hasan yang telah wafat pada Rabu, 29 Mei 2019, sekitar pukul 14.30 WIB. Wafatnya beliau tentu membuat orang-orang yang mengagumi beliau bersedih hati dan merasa kehilangan sosok panutan dan teladan, khususnya dalam perjuangan di dunia pendidikan. Terutama pada lembaga-lembaga yang beliau dirikan dan tempat beliau menjadi pengurus, di antaranya adalah Yayasan Universitas Islam Malang (UNISMA), Yayasan Pendidikan Islam Al Ma’arif Singosari, Yayasan Hizbullah Singosari, Yayasan Sabilillah Blimbing, Yayasan Panti Asuhan Anak Yatim Babus Salam, dan Yayasan Pondok Pesantren Teknologi “Ummatan Wasathan”.
Tidak hanya civitas akademika yayasan-yayasan tersebut di atas yang merasa bersedih hati. Masyarakat terutama warga Nahdlatul Ulama (NU) dengan berbagai elemen dan lapisannya pun ikut bersedih hati, bahkan mengiringi kepergian beliau. “Langit pun menangis” di sore hari, ketika jenazah Almarhum disholatkan di Masjid Ainul Yaqin UNISMA. Pada sore itu bersamaan dengan diselenggarakannya sholat jenazah Almarhum, saya lewat di depan kampus UNISMA dengan diiringi hujan. Kemudian saya menuju ke madrasah, untuk menghadiri kegiatan buka puasa bersama dan memimpin jama’ah sholat Isya, Tarawih, dan Witir dengan guru dan murid-murid saya.
Advertisement
Pertama kali saya mendapatkan informasi wafatnya Almarhum adalah pada Rabu sore tanggal 29 Mei 2019. Saya mendapatkan kabar dari berbagai grup WA, bahwasanya Prof. Dr. (H.C.) KH. Muhammad Tholhah Hasan meninggal dunia. Spontan, saya mengucapkan innalillahi wainnailaihi rooji’un. Semoga arwah beliau diterima di sisi Allah Subhanahuwata’alla, diampuni segala dosa dan kekhilafan serta diterima segala amal kebaikan beliau. Aamiin.
Seketika, angan saya pun terkenang sebuah dialog dengan teman sekamar saya di sebuah hotel di Batu sebulan yang lalu, saat saya mengikuti kegiatan workshop. Teman saya adalah seorang kepala madrasah di sebuah madrasah negeri, di salah satu kabupaten di Jawa Timur. Di sela-sela istirahat dari kegiatan yang full dari pagi sampai malam kami berdiskusi tentang fenomena kehidupan manusia.
Teman saya bertanya, “Pak Azis, apa bedanya Prof. Tolhah Hasan dengan Almarhum Prof. X (tanpa bermaksud merendahkan, sengaja saya samarkan untuk menghormati privasi beliau)?”
Saya menjawab, “Kalau Prof. Tolhah pernah menjadi Menteri Agama, kalau Almarhum Prof. X, karir maksimalnya sebagai Direktur Pascasarjana.”
Lalu teman saya menjelaskan, “Prof. Tolhah Hasan, adalah seorang yang berdedikasi, khususnya dalam dunia pendidikan, beliau telah banyak menginisiasi pembentukan yayasan-yayasan pendidikan, yang sekarang semakin maju dan berkembang. Telah banyak orang-orang yang merasakan manfaat dari yayasan-yayasan yang didirikan beliau, baik sebagai pengurus dan pengelola maupun sebagai pengguna. Andaikata beliau suatu ketika meninggal dunia, banyak “warisan” dan “monumen” beliau untuk generasi penerus. Prof. Tolhah, adalah sosok yang sangat berdedikasi, sehingga saya yakin, banyak orang yang akan mendoakan beliau dan merasa kehilangan atas kepergian beliau. Beliau menjadi “besar” seiring dengan besarnya yayasan-yayasan dan lembaga-lembaga yang beliau dirikan.”
“Sedangkan Almarhum Prof. X, beliau “besar” dengan dirinya sendiri, karena tidak terlalu memberikan kemanfaatan dan sumbangsihnya pada masyarakat. Kepandaian dan kebesarannya hanya dinikmati oleh sedikit orang. Tidak ada yang meragukan kalau Almarhum Prof. X hebat, namun ketika beliau hidup, kehebatan beliau hanya bermanfaat bagi dirinya sendiri dan sedikit orang di sekitarnya. Tanpa bermaksud menjelekkan, beliau bisa dikatakan masih kurang dalam pengabdian kepada masyarakat.”, teman saya melanjutkan penjelasannya.
Lalu teman saya bertanya kepada saya, “Pak Azis ketika meninggal dunia suatu ketika nanti, ingin banyak orang yang mendoakan dan dikenang dengan jasa-jasanya kepada masyarakat seperti Prof. Tolhah Hasan dengan segala “warisan” dan “monumen” yang beliau buat, atau seperti Almarhum Prof. X, hanya sedikit orang yang mendoakan dan akan dikenang hanya oleh kalangan tertentu dan keluarganya, karena ketika beliau masih hidup hanya bermanfaat bagi keluarga dan sedikit orang di sekitarnya?”
Pertanyaan yang sangat mak jleb di hati oleh teman saya tersebut membuat saya merenung dalam. Saya yang selama ini sangat nyaman berada di zona nyaman dalam bekerja menjadi seorang guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan gaji dan tunjangan yang lebih dari cukup untuk menghidupi keluarga, dengan beban kerja yang tidak terlalu berat, karena bekerja hanya dari jam 07.00 s/d 14.00, mengajar anak-anak Madrasah Ibtidaiyah (MI).
Saat ini bisa dikatakan, kehidupan saya mirip dengan Almarhum Prof. X. Saya merasa masih memiliki sangat banyak waktu luang yang saya sia-siakan tanpa memberi banyak kemanfaatan bagi orang lain dan masyarakat. Saya merasa ilmu dan kemampuan saya hanya bermanfaat bagi keluarga dan sedikit orang di sekitar saya. Sebuah autokritik dan refleksi diri saya, bahwa saya belum bisa memberikan “warisan” dan “monumen” yang bisa dikenang, ketika suatu ketika saya meninggal.
Pada saat selesai melakukan sholat jenazah Almarhum Prof. Dr. (H.C.) KH. Muhammad Tholhah Hasan, Rektor UNISMA Prof. Dr. H. Masykuri, M.Si, menyampaikan bahwa Almarhum di sela sakitnya pernah berkata, “Saya wakafkan sisa-sisa hidup saya untuk pendidikan. UNISMA, Sabilillah, dan Al Ma’arif-lah yang membuat saya kuat dan bersemangat.”
Perkataan Almarhum Prof. Dr. (H.C.) KH. Muhammad Tholhah Hasan tersebut seakan oase di tengah padang pasir, yang memberikan motivasi kepada siapa pun yang mendengarnya. Bahwa, meskipun usia tidak lagi muda dan bahkan dalam kondisi sakit sekalipun, Almarhum masih tetap bersemangat untuk mengabdi dan memberikan yang terbaik untuk masyarakat. Mestinya saya yang saat ini masih muda dan dalam keadaan sehat, harus lebih bersemangat lagi dalam pengabdian kepada masyarakat. Semoga di sisa umur ini, saya diberi kesempatan oleh Allah Subhanahuwata’alla untuk bisa meneladani perjuangan yang telah dicontohkan oleh Almarhum. Insyaallah. (*)
Oleh:
Dr. Abd. Azis Tata Pangarsa, M.Pd
(Abd Azis Tata Pangarsa. Lahir di Malang, 28 Januari 1984. Guru MI Miftahul Abror Kecamatan Karangploso Kabupaten Malang. Doktor Manajemen Pendidikan Islam (MPI) Program Pascarjana S-3 UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Wakil Sekretaris PCNU LP Ma’arif Kab. Malang. Penulis buku; Guru Juga Manusia: Catatan Harian Seorang Pendidik dan Penyunting buku: Merawat Nusantara, Menumbuhkan Kembali Spirit Persatuan dalam Kebhinekaan. Kontributor artikel di beberapa buku. Menjuarai berbagai even lomba guru berprestasi tingkat Provinsi dan Nasional. Dapat dihubungi di Jl. Joyo Raharjo I/ 235 K Merjosari Kota Malang. HP dan WA: 081217465337. Facebook:Azis Tatapangarsa, IG:Azis Tatapangarsa, Email:[email protected].)
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : AJP-5 Editor Team |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |