Kopi TIMES

Endog-Endogan, Tradisi Maulid Masyarakat Banyuwangi

Senin, 04 November 2019 - 11:40 | 198.67k
ILUSTRASI - Tradisi Endog-Endogan. (FOTO: Dok. TIMES Indonesia)
ILUSTRASI - Tradisi Endog-Endogan. (FOTO: Dok. TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, BANYUWANGI – Bagi masyarakat Banyuwangi, nama Endog-Endogan pasti sudah tidak asing lagi. Sebuah tradisi yang mempunyai makna filosofis Ketuhanan yang sangat kental.

Pertama kali Endog-Endogan diperkenalkan oleh Mbah Buyut KH Abdullah Faqih Cemoro Singojuruh waktu itu, kepada para santrinya yang notabene adalah warga asli Blambangan, yakni suku Osing Banyuwangi.

Advertisement

Fahd-Reza-2.jpgGus Fahd Reza, pengasuh Ponpes Cemoro, Desa Balak, Kecamatan Songgon, Banyuwangi. (Foto: Dokumentasi TIMES Indonesia)

Tradisi ini sendiri sebagai salah satu tradisi dan adat istiadat Ke-Islaman yang berkembang di Banyuwangi. Ini merupakan wujud dari kedalaman perpaduan nilai religiusitas dan budaya.

Masyarakat Banyuwangi pada zaman itu, dikenal dengan masyarakat yang suka berbagi dan berkumpul. Tak jarang, banyak sekali budaya serta adat istiadat yang muncul di masyarakat seperti selamatan (Kenduri) Bumi, syukuran kelahiran, selamatan Tandur, selamatan Panen, Selamatan ‘Tolak Bala’, Bersih Desa dan sebagainya.

Tak ayal, makna filosofis Endog-Endogan juga sebagai perwujudan rasa syukur kepada Allah SWT, atas lahirnya Rasullullah  Muhammad SAW atau Maulidan yang direpsesentasikan melalui ‘Telor Hias Bunga’. Sebagai simbol dari cikal bakal lahirnya bunga kehidupan yang akan membawa manusia dari jaman kegelapan menuju jaman kebahagiaan yang berbunga bunga dengan Islam.

Belum lagi kandungan nilai sufisme yang terkandung dalam simbol telur ini merupakan perwujudan dari gambaran nyata pondasi keagamaan ‘3 unsur dan 3 Warna’. Disampaikan oleh Baginda Rasulullah dalam Hadist yang diriwayatkan Sahabat Umar Bin Khattab yang terkenal dengan ‘Hadist Jibril’ mengupas tentang dasar keagamaan. Soal Islam yang diibaratkan sebagai bungkus atau kulit telur. Iman yang diibaratkan dengan putih telur dan Ihsan yang diibaratkan dengan kuning telur yang letaknya tersimpan didalam. Keduanya ibarat hati manusia.

Islam diibaratkan sebagai pelindung keimanan dan keihsanan yang disimbolkan dengan kulit telur ini menciptakan ilmu yang namanya Fiqih. Ilmu yang memberi tahu tata cara kita beribadah. Ilmu tentang hukum agama yang dalam prakteknya memang harus kuat dan kokoh.

Selanjutnya, iman menciptakan ilmu ketauhidan yang mengupas bagaimana kita meyakini akan adanya enam rukun iman. Dimana keyakinan akan Qadha’ dan Qadar dari Sang maha pencipta dipegang teguh masyarakat Banyuwangi kala itu.

Yang ketiga adalah Ikhsan yang diibaratkan hati atau kuning telur yang terbungkus. Rasullullah SAW dalam Hadistnya bersabda “Ihsan adalah kamu menyembah Allah, seolah olah kamu melihatnya. Jika kamu tidak melihatnya maka sesunguhnya dia melihatmu”. Sebagaimana diriwayatkan Sahabat Umar Bin khattab , dan diriwayatkan Imam Muslim dalam kitab shahih Bukhori.

Al Harawi dalam kitab Mamazilu Al Syairin mengatakan, hadist Jibril ini merupakan isyarat yang sangat kuat bagi Madzhab Tasawuf. Dalam Syaraj-nya berpendapat pokok dari nilai nilai Tarekat dan Tasawuf ini adalah kesempurnaan Ma’rifat dan Muraqobah kepada Allah SWT dalam setiap gerak atau diam.

Bahkan, setiap hela nafas dan kedipan mata hingga hatinya hanya menuju Allah SWT. Karena itu hal-hal yang menarik dan memalingkan hati kepada selain Allah akan terlepas dengan sendirinya. Itulah kenapa ihsan diibaratkan dengan kuning telur yang tersembunyi, yakni semua tergantung dari hati seseorang.

Sementara itu, ihsan memiliki dua tingkatan yaitu tingkatan Muraqabah (tingkatan meyakini bahwa Allah selalu mengiringinya) dan tingkatan Musyahadah ( tingkatan meyakini bahwa Allah berada sangat dekat dan seakan-akan dapat dilihat).

Hadist tersebut memulai penjelasannya dengan Musyahadah karena tingkatan ini memiliki derajat yang tinggi dan merupakan tujuan terpenting dari Ihsan. Sedangkan, dalam suluk dan meniti jalan menuju Allah SWT, permulaannya adalah Muraqobah. Sebab istiqomah dalam Muraqobah akan mengiring kita kepada tingkatan Musyahadah. Wallahu 'Alam. (*)

 

*) Penulis adalah Gus Fahd Reza, pengasuh Ponpes Cemoro, Desa Balak, Kecamatan Songgon, Banyuwangi.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES