Kopi TIMES

2020, Reformasi atau Deformasi Pilkada Jember?

Jumat, 20 Desember 2019 - 09:24 | 143.52k
Andi E. Sutrisno, A.Md.P., S.H.
Andi E. Sutrisno, A.Md.P., S.H.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JEMBERPrologue : Refleksi Dinamika Pemilihan Umum

Sebuah arena pertarungan jabatan politik akan disuguhkan pada tahun 2020 mendatang. Pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak yang telah diamanatkan dalam konstitusi akan diselenggarakan1. Pada arena inilah hak konstitusi masyarakat nyata digunakan atau justru digadaikan. Dalam konstitusi yang menaungi mekanisme otonomi daerah, dijelaskan secara afirmatif bahwa pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota dilaksanakan secara demokratis demi terjaminnya kedaulatan rakyat dan demokrasi suatu negara.

Advertisement

Perlu kita ketahui, pascakonsensus politik yang menerminasi Orde Lama menjadi Orde Baru, studi metafisis mengenai bentuk konkrit demokrasi diputuskan dalam bentuk pemilihan umum. Dalam perspektif penulis, sekalipun era reformasi birokrasi sedang diperjuangkan, warisan lama (red: Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) masih menduduki kursi-kursi pemerintahan (Mahfud 2009). Peninggalan rezim pemerintah yang bobrok dikelompokkan dalam kontur pembangunan otoriter (authoritarian developmentalist) yang biasanya dalam wujud peredaran uang dalam segala transaksi politik (money politics) dan resistensi kalangan masyarakat konservatif terhadap proses pemilu karena ketidakpahaman masyarakat mengenai hak pilihnya yang berujung terciptanya fenomena golput (golongan putih). Pada akhirnya, aktivitas pemilihan umum yang sehat merupakan representasi kontemporer untuk meredakan kekuatan-kekuatan elite lokal dan menetralisir tendensi kepentingan ‘mereka’ serta menciptakan masyarakat yang partisipatif dan proaktif sebagai antipati dari peninggalan rezim pemerintah yang bobrok tersebut.

Jember, sebuah kabupaten dengan keberagaman budaya juga akan menjadi tuan rumah dalam menyelenggarakan arena pertarungan jabatan politik melalui pemilihan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupatinya. Narasi ini berangkat dari sense of belongings penulis terhadap tata kelola pemerintahan yang dilaksanakan di tanah tumpah darahnya. Penulis berharap agar pembaca khususnya masyarakat yang memiliki hak pilih di Jember dapat mempergunakan hak pilihnya secara aksioma.

Chapter I : The Politics of Sight. Wajib Gunakan Hak Pilih, Jangan Golput!

Intisari dari konstitusi mengenai Hak Asasi Manusia (1999) dan Pemilihan Umum (2011) telah mewajibkan masyarakat untuk memilih. Hak pilih merupakan hak politik yang secara tegas menolak untuk “ditransaksikan”. Jual-beli suara mengakibatkan lunturnya nilai-nilai demokrasi, menciptakan delegitimasi, mendistorsi proses pemilu, melemahkan akuntabilitas politik antara politikus dan pemilih, melemahkan sistem kepartaian, dan menghadirkan politikus bahkan Bupati dan Wakil Bupati yang koruptif2. Inilah fenomena money-politics atau jual-beli suara, hal ini dapat menjadi ancaman serius bagi proses demokrasi di Jember. Transaksi jual-beli suara antara politikus dan pemilih merupakan output politik yang sulit dihindarkan. Benarkah money-politics merupakan instrumen yang efektif dalam memenangi pemilu? Ya, cukup sependapat. Hal tersebut menjelaskan bahwa transaksi yang berlangsung dilakukan secara top-down oleh politisi, kerap kali hal ini terjadi dari kalangan masyarakat yang memiliki latar belakang sosial ekonomi superior, kepada ‘pemilih’ yang umumnya berlatar belakang sosial ekonomi inferior. Arus utama diskursus money-politics ini pada umumnya lebih menyoroti pemilih, khususnya mereka yang resistensi terhadap hak pilihnya, yang begitu mudah menggadaikan suaranya dengan imbalan uang, sembako, ataupun material berharga lainnya. Pemilih yang demikian dipersepsikan sebagai pemilih yang amoral dan dianggap tidak memahami hakikat konstitusional warga negara dalam demokrasi elektoral (Thompson 2007). Kedudukan strata sosial yang lebih tinggi membuat politikus mampu menghegemoni dan mendoktrin kelompok masyarakat pemilih dari strata sosial yang lebih rendah.

Pesan subliminal ini ditujukan untuk menyentuh alam bawah sadar masyarakat dengan mendeskripsikan betapa krusialnya suatu hak pilih. Maka dari itu, ada dua hal yang dapat dilakukan. Yang pertama, melakukan empowerment approach melalui reedukasi (politicians education) kepada sesama masyarakat mengenai betapa pentingnya hak pilih (voters education). Menggunakan hak pilih tanpa memberi toleransi terhadap iming-iming apapun. Menyadari bahwa satu suara dalam satu detik merefleksikan dukungan yang besar terhadap lima tahun berjalannya masa pemerintahan di Jember.

Chapter II : Gambaran Calon Bupati dan Wakil Bupati Jember yang Elite.

Mereposisi diri sebagai masyarakat dengan hak pilih, penulis perlu mengenal dan memahami track-record calon Bupati dan wakil Bupati Jember. Caranya dengan mencari informasi yang kredibel (biasanya Pemerintah secara resmi memberikan akses keterbukaan informasi publik mengenai biografi dan rekam jejak karir kandidat). Memberikan ruang kepercayaan yang lebih kepada media resmi lebih baik daripada oknum media yang tendensius terhadap kepentingan politik.

Penulis menawarkan formulasi mengenai karakteristik calon Bupati dan Wakil Bupati yang elite bagi kota tercinta ini. Singkat saja, berikut gambaran secara generalis calon Bupati dan Wakil Bupati yang ideal, antara lain:

Pemimpin yang berani melakukan perubahan, bukan hanya duduk manis dikursi menikmati warisan budaya yang lama;
Pemimpin yang merencanakan program kerja berbasis reformasi digital yang efektif dan efisien, bukan yang diam saja saat melihat penyediaan layanan publik yang berbelit dan kolot;
Pemimpin yang memprioritaskan platform kepentingan edukasi, kesehatan, sosial, transportasi, dan budaya, bukan platform pencitraan saja;
Pemimpin yang memberikan atensi upaya supremasi hukum, bukan yang percaya terhadap rekayasa pidana;
Pemimpin yang menciptakan ruang kedaulatan untuk kebebasan berpendapat dan eksplorasi kemampuan diri masyarakat, bukan pemimpin yang tidak senang dan terancam apabila masyarakatnya kritis dan solutif terhadap kebijakannya;
Pemimpin yang melakukan reinventing goverments (pembangunan ekonomi dan pemberdayaan teknologi informasi) melalui pola pikir baru dalam era disruption3, lagi-lagi bukan hanya yang duduk manis menolak perubahan.
Keenam karakteristik tersebut dinilai sesuai dengan kebutuhan pembangunan daerah Jember. Tentu saja, kita semua memimpikan pemimpin yang menjalankan kekuasaannya dengan berdasarkan nilai-nilai Pancasila.

Konklusi : Ayo Memilih, Jangan Golput!

The last but not the least, sebagian sejarawan dan kalangan publik percaya tentang l’historie se reperte, sebuah rangkaian peristiwa yang bersifat cyclical (siklus). Vox populi vox dei4 presisi dengan peran masyarakat Jember dalam menghadapi konflik kepentingan pemilihan umum ini. Tanda seru setelah kata ‘golput’ mengartikan sebuah ajakan yang tegas. Golput berarti memberikan hak pilih kepada oknum politikus. Memilih karena politik uang berarti mempertaruhkan nasib diri, keluarga, bahkan negara pada sistem pemerintahan yang belum terjamin dengan pasti. Keduanya menyebabkan alienasi strata sosial dalam berdemokrasi.

Penulis berharap, semoga yang terjadi adalah reformasi bukan deformasi. Deformasi menawarkan sebuah taman kehidupan yang menjadi sulit akibat kegagalan suatu perubahan. Sedangkan reformasi, khususnya dalam sistem pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Jember, mengharapkan lahirnya hidup, kehidupan, dan penghidupan yang sesuai dengan tujuan nasional bangsa Indonesia dengan terpilihnya pemimpin ‘terbaik’ bagi kota tercinta ini. (*)

Sumber: 

 

1. Diatur dalam Peraturan Kepala Komisi Pemilihan Umum Nomor 1-5 Tahun 2017.
2. Luki Djani, Penjelasan Alternatif atas Fenomena Jual-Beli Suara, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta. 2013.
3. Rhenald Kasali, Disruption, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2017. 
4. Artinuya adalah suara rakyat, suara Tuhan. Ungkapan yang sering dikaitkan dengan William of Malmesbury (abad 12) dan surat Alcuin of York kepada Charlemagne pada tahun 798.

 

Andi E. Sutrisno, A.Md.P., S.H.

Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Jember

Direktorat Jenderal Pemasyarakatan

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Dody Bayu Prasetyo
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES