Sejarah Gereja Zaman Kolonial Membangun Masa Depan Umat Kristen

TIMESINDONESIA, KEDIRI – Setiap saya pulang kampung, Desa Sidorejo selalu saya lewati. Desa ini merupakan wilayah Kecamatan Pare paling selatan. Pare masuk administrasi Kabupaten Kediri, Jawa Timur.
Anjing-anjing berkeliaran di jalanan adalah pemandangan biasa. Suasana yang jarang saya dapatkan saat di tempat lain.
Advertisement
Terlebih memasuki bulan Desember. Aura Natal kental terasa. Doa-doa menyemai tiap halaman rumah warga. Terop-terop berdiri gagah, berbagai hiasan mulai janur kuning, umbul-umbul hingga baliho tersebar di tiap sudut jalan.
Desa ini seluruh penduduknya merupakan umat Nasrani sehingga persis hampir tiap tahun mungkin sejak beratus tahun lalu momen seperti ini sudah terjadi.
Desa Sidorejo memiliki luas 651 hektar. Berbatasan dengan berbagai desa lainnya, salah satunya adalah Dusun Njuron, Kecamatan Gurah, Kediri. Dusun Njuron dan Desa Sidorejo hanya berbatasan dengan area persawahan kurang lebih satu kilometer saja.
Teman-teman sekolah saya banyak yang berasal dari dua daerah tersebut. Sedangkan saya sendiri tinggal satu desa lagi tepat bersebelahan dengan Dusun Njuron itu. Pembatas antara desa saya dan Dusun Njuron adalah sungai besar sebagai jalur larva vulkanik Gunung Kelud.
Jadi, tiap desa yang bersebelahan ini memiliki karakteristik berbeda. Desa Sidorejo terkenal dengan pemuda-pemuda Kristen yang taat dan rohaniawan gereja. Sedangkan Dusun Njuron terkenal sebagai basis kiai kampung, pondok pesantren serta suasana nyantri.
Desa saya lebih unik karena tergolong menyatukan keduanya, bahkan boleh dibilang desa buangan. Desa Sidorejo dan Dusun Njuron adalah kawasan steril. Dengan kehidupan adem ayem penuh nuansa spiritual.
Dahulu, desa saya yang disebut Desa Tiru Kidul mungkin tempat orang buangan dari beberapa wilayah. Judi tumbuh subur, madon, mabuk, hingga sabung ayam adalah pemandangan lumrah.
Namun itu dulu saat saya masih kecil. Saya kira saat ini 'kearifan lokal' tersebut hampir terkikis. Karena pemerintah sudah sangat aktif melakukan sosialisasi dan edukasi untuk menghindari molimo.
Pada akhirnya saya penasaran bagaimana masyarakat ini terbentuk pada masa lalu. Kebetulan, saya senang menyusuri sejarah - sejarah babad alas.
Jadi, saya mulai memaknai kembali perjalanan pulang. Memasuki Bulan Desember hujan biasanya mulai turun sepanjang hari membasahi jalanan desa. Bau aspal menguap berpadu aroma tanah basah menambah kegembiraan suasana hati.
Namun tahun ini sedikit berbeda. Cuaca sangat panas. Bahkan rintik hujan sekedar turun seolah menggoda saja. Kendati demikian, Bulan Desember adalah keceriaan baru karena perayaan Natal telah tiba.
Saat melewati Desa Sidorejo, saya serasa mengikuti euphoria mereka. Sejak zaman bapak saya dulu, momen Natal adalah pesta sepak bola.
Sebab, Desa Sidorejo menggelar berbagai lomba dan hiburan. Mulai pertandingan sepak bola memperebutkan Piala Sidorejo Cup, pasar malam hingga satu bulan penuh, beragam lomba dan tentu saja open house.
Para jemaat berjalan beriringan menuju Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Yayasan Badan Pendidikan Kristen (YBPK) Sidorejo.
Menurut data YBPK Sidorejo, Gereja itu konon berdiri sejak zaman pemerintahan Hindia - Belanda. Memang, struktur bangunan maupun desainnya terlihat sangat Eropa.
Daerah Kediri setahu saya banyak bangunan Belanda. Salah satunya gereja tersebut. Berdiri sangat megah. Menurut sejarahnya, gereja ini mengawali pembangunan sebuah bekas lahan pertanian tembakau dan kopi.
Daerah ini dahulunya sangat subur karena terdampak larva vulkanik (lahar) letusan Gunung Kelud. Pada suatu masa, penduduk harus meninggalkan tempat tersebut karena dahsyatnya letusan gunung menimbun perkampungan.
Akhirnya tanah subur itu menjadi hutan kembali. Pohon - pohon ploso, glagah, alang - alang dan semak belukar tumbuh. Akibat larva vulkanik itu pula, tempat ini sempat dinamai Gerojogan.
Pada tahun 1884 saat terjadinya persil, seorang tuan tanah membuka lahan dengan menanam kopi dan tembakau. Namun tanaman tembakau tidak menguntungkan. Persil seluas 50.000 ru itu terletak di sebelah utara. Bernama Desa Kopen.
Bukan hanya tembakau, tanaman kopi juga kurang menguntungkan. Akhirnya tuan tanah yang tidak disebutkan namanya tersebut putus asa dan tanahnya dibiarkan bongkor.
Pada tahun 1895 perkumpulan orang Kristen Kediri dan Madiun mengadakan rapat. Ketua Raad Gereja Besar Kediri bernama T. Dumenek. Tiap utusan jemaat mengadakan veerslag (laporan). Termasuk keadaan orang Kristen yang miskin.
Jemaat Sambirejo - Pare diwakili Guru Injil bernama Kyai Lewi. Ia mengusulkan kepada ketua sidang bahwa di sebelah timur laut Sambirejo ada persil bongkor yaitu persil bongkor Gerojogan.
Persil ini dapat dimanfaatkan sebagai gereja dalam membantu mengatasi warga gereja yang miskin. Sidang tersebut memutuskan agar ketua menghadap Residen Kediri.
T. Dumenek memohon agar persil bongkor itu dapat dimanfaatkan oleh gereja. Usai membuka kart (peta), ternyata persil bongkor tersebut memang ada. Residen Kediri mengabulkan permohonan Raad Gereja Besar. Selanjutnya mereka melakukan peninjauan.
Perjalan peninjauan itu ditempuh dengan jalan kaki. T. Dumenek dibantu Kyai Lewi dan Kyai Silpanus Djati Anom Guru Injil Segaran, Wates. Tentu perjalanan mereka tidak selesai dalam waktu satu hari saja. Hingga mereka harus menginap di rumah Kamituwo Banjarejo, Dermo, Pare bernama Kyai Simson. Perjalanan dilanjutkan keesokan harinya.
Atas jerih payah Kyai Silpanus Djati Anom, ditemukan orang - orang Kristen miskin dari Desa Kertorejo, Bongsorejo, Mojowarno, Mojokembang, Kabupaten Jombang.
Persyaratan lain di samping orang Kristen miskin, yang boleh membuka persil bongkor Gerojogan, adalah bukan golongan bromocorah, bukan pecandu, dan bukan penjudi. Pihak gereja ingin agar orang-orang yang membuka persil ini mempunyai masa depan cerah dan tidak diliputi oleh suasana gelap.
Ketentuan lainnya adalah harus mempersiapkam tanah untuk mendirikan rumah pendeta, gedung gereja, rumah sakit, sekolah, rumah guru Injil, serta bengkok sebagai gaji pemimpin desa, pemimpin gereja, serta guru sekolah.
Kemudian yang diperbolehkan tinggal di situ adalah orang-orang Kristen yang miskin dan juga boleh orang beragama lain asalkan miskin namun berjanji dan bersedia masuk Kristen.
Dengan syarat tersebut, makin jelas tujuan gereja menghendaki hutan yang dibuka ini menjadi sebuah desa yang teratur. Sebab gambaran atau pemetaan masa depan kawasan ini sudah disiapkan jauh hari sebelumnya sehingga masyarakat Desa Sidorejo mutlak beragama Kristen. Harus diakui juga bahwa pada masa tersebut adalah masa pemerintahan kolonial Belanda, sehingga apa saja yang dikehendaki dapat terjadi.
Pada saat itu yang pertama kali datang ke persil Gerojogan ini sebanyak 27 kepala keluarga. Marwi Kertowirjo berdaulat memimpin. Rumah mereka sangat sederhana sekali menggunakan bahan - bahan yang ada.
Seperti tiang dari kayu dadap, usuk dan reng dari bekas pagar kopi dan atap dari alang - alang. Sedangkan Marwi Kertowirjo tinggal di loji bekas peninggalan persil kopi. Mereka hidup rukun bergerombol.
Tiap Minggu mereka berhenti bekerja. Tempat mereka mengadakan kebaktian tiap Minggu maupun hari-hari tertentu adalah di loji hingga pembangunan demi pembangunan dimulai. Tanggal 2 Juli 1898 persil Gerojogan dibuka bersamaan dengan itu lahirlah desa dan jemaat. Pembangunan terus berlanjut hingga 11 November 1936 Kampung Gerojogan diresmikan dengan nama Desa Sidorejo.
Keputusan ini adalah hasil rapat di Gedangsewu yang langsung dipimpin oleh Bupati Kediri (perpindahan dari zending ke gouverment).
Orang yang berjasa memberi nama Sidorejo adalah Badan, panggilan sehari-harinya Pak Si. Sidorejo berasal dari kata Sido artinya jadi, dan Rejo berarti ramai. Pengertian ini kemudian memiliki makna Desa Sidorejo menjadi ramai atau maju kemudian hari.
Namun setelah itu sempat terjadi transmigrasi besar - besaran karena letusan Gunung Kelud. Dana transmigrasi diusahakan oleh Pendeta Soeharto. Konon ia juga sangat peduli kepada warga dengan ekonomi lemah.
Pendeta Soeharto mendapat bantuan dana melalui Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) luar negeri seperti Swiss, Belanda, Prancis, dan Jerman untuk membuatkan rumah penduduk. Dana tersebut digunakan sebagai pemberdayaan ekonomi dan pendidikan.
Perjalan saya memaknai keberagaman ini terus berlanjut. Denting lonceng gereja bergegas mengingatkan saya akan rumah. Sebentar lagi rumah saya akan dipenuhi kue-kue kiriman dari kawan-kawan yang tinggal di Sidorejo.
Saya berlalu melewati persawahan, hujan turun sedikit saja. Sebentar lagi memasuki Dusun Njuron, alunan qiro' merdu terdengar. Santriwan lalu lalang dengan sarung dan kopiah. Warung - warung bambu (gedhek) masih alami terlihat. Sajian utamanya pasti kopi tubruk. Biasanya selepas ashar seperti ini banyak warga yang mencecap kebersamaan di situ. (*)
Catatan Oleh: Lely Yuana
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |