
TIMESINDONESIA, TEGAL – INDONESIA terkenal dengan keindahan alamnya, bahkan negara-negara duniapun mengakui, dari berbicara tentang pulau, pegunungan, dan lautanya. bukan hanya memiliki pulau-pulau yang indah, bahkan masyarakatnya yang terkenal dengan keramahannya menjadi daya pikat tersendiri di mata dunia.
Sejauh ini mungkin salah satu menjadi aset dan menjadi budaya di Indonesia, alam diperlakukan seperti layaknya kehidupan, leluhur mengajarkan untuk menghargai alam sebagai bentuk kepedulian. Ada yang menggunakan gelar doa, ada yang menggunakan dengan memberi sedekah bumi atau yang sering terkenal dengan ruwatan (merawat) bumi berpegang pada ajaran (budi) leluhur untuk berinteraksi dan menghargai alam.
Advertisement
Di era kontemporer (masa kini) juga melakukan usaha keras untuk bagaiman menjaga dari kerusakan bisa kita lihat munculnya aktivis-aktivis lingkungan yang berusaha semaksimal mungkin untuk menjaga alam tetap hijau (indah) dari munculnya peran-peran bank sampah, gerakan (reboisasi) penanaman kembali di hutan yang gundul, normalisasi laut dan pantai dari sampah, sampai dengan pencegahan penebangan pohon liar sebagai bentuk respon dan sebagai penyeimbang dari kerusakan yang di sebabkan karena eksploitasi alam.
Tapi akhir-akhir ini ada kejadian yang mungkin membuat sebagian masyarakat geram. Ada pandangan yang kurang menarik, sampah yang dianggap menjadi sumber kerusakan alam anehnya menjadi bahan impor, dan ternyata kejadian ini sudah cukup lama. Sumber yang didapatkan dari kompas.com, ada fakta menakjubkan yang ditemukan dalam sidak yang di lakukan Komisi IV DPR RI bersama jajaran Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Perdagangan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai serta PT. Sucofindo menemukan sejumlah kontainer berisi sampah dan limbah yang diduga berbahaya dan beracun hasil impor dari luar negeri.
Sampah yang tersusun rapi di dalam kontainer berjumlah sekitar 72 kontainer di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, bahkan menurut dari komisi IV DPR RI jumlah sampah yang akan masuk ke pelabuhan di Indonesia mencapai angka 1000 kontainer yang akan tersebar di 14 titik pelabuhan di Indonesia. Bayangkan ada berapa ton sampah yang masuk ke Indonesia. Padahal kita ketahui bersama, Indonesia menjadi negara kedua setelah Tiongkok dalam penghasil sampah plastik berdasarkan studi yang dirilis oleh McKinsey and Co dan Ocean Conservancy.
Indonesia dalam produksi sampah menurut data yang pernah dipublikasikan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), jumlah rata-rata produksi sampah mencapai 175.000 ton per hari atau setara dengan 64 juta ton per tahun. Bila menggunakan asumsi berdasarkan data itu, sampah yang dihasilkan setiap orang per hari sebesar 0,7 kilogram (kg) (indopos.co.id).
Mungkin kita masih ingat dengan ditemukanya ikan paus yang meninggal akibat ditemukan gondolan sampah diperutnya, atau kejadian di Jawa Timur telor yang mengandung dioksin diduga dari bahan plastik, dan disinyalir penyebabnya karena ayam mengonsumsi makanan yang di sekitar limbah sampah plastik. Dan yang terpenting adalah mampu mengantisipasi dari bahaya racun yang di hasilkan oleh sampah plastik, Badan Kesehatan
Dunia (WHO) menyebut konsumsi makanan yang terkontaminasi dioksin dalam jangka waktu lama bisa menyebabkan gangguan reproduksi, mempengaruhi sistem imun, dan kanker (BBC, News). Selain berbahaya untuk kesehatan ternyata sampah plastik juga termasuk sampah yang membutuhkan waktu yang cukup lama sekitar 20-100 tahun untuk mengalami penguraian, ini akan berakibat juga untuk lingkungan, mempengaruhi keberlangsungan kehidupan yang tidak jauh dari air, tanah, udara dan tumbuhan.
Antisipasi dan Regulasi penggunaan sampah plastik
Kecenderungan masyarakat menggunakan plastik, dan belum ada kebijakan pemerintah yang untuk mencegah penggunaan sampah yang melimpah belum benar-benar dirasakan oleh masyarakat. Dengan cara yang rasional dan tepat untuk mengurangi penggunaan plastik, bisa sekiranya berkaca pada negara-negara yang sudah berhasil mengurangi sampah plastik sekali pakai.
Sebut saja Jerman yang menjadi negara dengan tingkat daur ulang sampah terbaik di dunia (sumber: katadata.co.id) dengan sistem jaminan yang digaungkan oleh Jerman. Setiap masyarakat yang menggunakan minuman botol plastik akan mendapatkan uang jaminan jika dikembalikan pada sebuah alat yang dinamakan mesin deposit. Mesin ini bisa ditemukan masyarakat pada fasilitas umum. Jerman didaulat menjadi negara yang berhasil mendaur ulang sampah di atas 50 persen.
Fakta sebenarnya di Asia juga demikian ada beberapa negara yang cukup berhasil untuk mengurangi dan mengendalikan limbah sampah plastik, seperti Jepang, Korea Selatan, dan Singapura. Korea Selatan dengan kebijakan melarang masyarakat untuk menggunakan plastik sekali pakai dan diperbolehkan hanya untuk membungkus ikan dan daging. Jepang membebankan biaya yang cukup mahal untuk satu kantong plastik, dan Singapura memanfaatkan sampah plastik sebagai bahan energi industri dan energi listrik untuk dijual kembali.
Sebenarnya Indonesia juga tidak kalah munculnya tenaga listrik di Surabaya merupakan upaya untuk mengurangi sampah plastik. Tetapi untuk menjawab kekhawatiran masyarakat akan dampak sampah plastik, perlunya regulasi dan kebijakan yang tepat dan cerdas sebagai salah satu ikhtiar yang lebih menguntungkan keberlangsungan hidup, bukan menguntungkan pihak pengembang atau pihak-pihak yang memiliki kepentingan.
Negara-negara lain sedang berinovasi bagaimana caranya menemukan temuan baru agar bisa mendaur ulang sampah plastik dan juga berusaha untuk mengurangi pengunaan plastik sekali pakai. Kejadian impor sampah plastik menjadi tamparan keras. Ada sesuatu yang perlu diawasi dan pembenahan terus-menerus oleh pemangku kebijakan.
Karena terdengar lucu ketika Indonesia menjadi negara dengan produksi sampah terbesar kedua ternyata masih impor sampah. Pihak-pihak terkait bertanggung jawab penuh pada konstitusi sebagaimana Permendag RI No 31 Tahun 2016 Tentang Ketentuan Impor Limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun pada Pasal 4 menjelaskan Limbah Non B3 yakni pertama, tidak berupa sampah. Kedua, tidak terkontaminasi bahan berbahaya dan beracun, dan ketiga tidak tercampur dengan limbah yang tidak bisa didaur ulang.
Bisa disimpulkan dari kasus di atas merupakan sebuah keteledoran, harus ada sikap dari pihak yang berwenang, lebih konkretnya adakan sanksi terhadap pihak yang lalai, agar langkah-langkahnya ke depan tidak lagi merugikan negara dan masyarakat. (*)
*)Oleh : Wahyu Syaefulloh, Mahasiswa Universitas Peradaban, Penulis Buku Catatan Di Balik Dinding Kampus.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Ferry Agusta Satrio |
Publisher | : Sholihin Nur |