
TIMESINDONESIA, MAUMERE – Fenomena bunuh diri atau mengakhiri hidup dengan cara membunuh dirinya sendiri menjadi trending topic belakangan ini. Bagaimana tidak? Menurut catatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), tapi satu jam setidaknya ada satu orang yang bunuh diri. Pada 2019 tercatat 302 kasus bunuh diri sejak Januari sampai September 2019. Kasus bunuh diri yang tinggi terjadi pada Januari dan Februari yakni 55 (beritagar.id. 10/9/2019).
Bunuh Diri dan Pemicu
Advertisement
Dalam Encyclopedia of Sociology, bunuh diri sebut Suicide (Inggris). Kata ini berasal dari bahasa Latin, yaitu sui (diri sendiri) dan cide (membunuh). Jadi, bunuh diri berarti suatu tindakan yang menghabiskan nyawa sendiri dengan berbagai modus seperti mengonsumsi obat yang berlebihan (overdosis), menusuk diri sendiri, menggantung diri atau membakar diri.
Pelaku sekaligus korban dalam aksi atau tindakan bunuh diri adalah diri sendiri. Karena itu, Aksi bunuh diri seperti yang dikatakan Karl-Heinz Pescchke berdasarkan otonomi diri. Artinya ialah bunuh diri terjadi tanpa adanya keterlibatan atau campur tangan dari pihak di luar person itu sendiri.
Adapun pemicu orang bunuh diri ialah, Pertama, krisis ekonomi yang melanda kehidupan seseorang. Ekonomi merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia yang harus dijamin akan eksistensinya. Manusia dapat membangun pola hidup yang baik apabila persediaan ekonomi sangat baik. Demikian pun sebaliknya, Orang yang mengalami stagnan dalam hal ekonomi niscaya dapat memengaruhi pola kehidupan dan cara berpikir.
Kedua, stereotip dari lingkungan sekitar di mana seseorang berada. Stereotip ada ketika seseorang (korban) mengalami cacat fisik atau ada pola hidup yang menyimpang. Korban stereotip tersebut secara psikologi mengalami tekanan.
Ketiga, faktor putus cinta. Faktor ini sering ditemukan di kalangan anak-anak muda. Putus cinta bagi kaum muda merupakan sesuatu yang sulit diterima. Apalagi benih cinta itu baru tumbuh dan mulai mekar, tiba-tiba salah satu dari antar mereka memutuskan untuk berhenti melanjutkan kisah asmaranya. Orang (laki-laki atau perempuan) yang menjadi korban dari kisah asmara itu tentunya merasa kecewa dan putus asa.
Keempat, depresi. Depresi menjadi salah satu faktor pemicu orang bunuh diri. Hipotesis ini didukung oleh seorang ahli psikologi klinis yang mengatakan bahwa bunuh diri sangat mungkin terjadi karena orang tidak dapat menemukan solusi atas persoalan hidup.
Dapat disimpulkan, Orang bunuh diri karena mengalami penderitaan dalam hidup. Hal ini kemudian diafirmasi oleh seorang filsuf, Arthur Schopenhauer dalam bukunya yang berjudul Parerga und Paralipomena. Dia berargumen bahwa bunuh diri diperbolehkan ketika rasa sakit dalam hidup lebih besar daripada rasa sakit dari kematian itu sendiri.
Memaknai Penderitaan
Berhadapan dengan realitas penderitaan di atas, apakah kita melegitimasi argumentasi Schopenhauer? Jawaban, tidak. Sebagai manusia yang rasional tentu kita memiliki opsi lain untuk memaknai penderitaan itu. Pertanyaannya ialah Bagaimana kita memaknai penderitaan tersebut? Penderitaan adalah sesuatu yang dialami oleh manusia akibat dari tindakan yang merugikan dirinya.
Penderitaan datangnya dari keburukan (malum). Menurut Agustinus keburukan sebagai keadaan yang merugikan dan yang membuat orang merasa dirugikan. Dengan kata lain, keburukan (malum) ada karena kehilangan sesuatu yang seharusnya ada. Dan, setiap orang hemat penulis tidak ada yang menginginkan hidupnya menderita karena keburukan. Setiap pribadi berjuang untuk tidak terjebak dalam realitas penderitaan itu sendiri.
Karena itu, untuk memaknai penderitaan tersebut penulis mencoba menghubungkannya dengan pemikiran D. Solle. D. Solle merefleksikan penderitaan manusia dalam terang tradisi mistik kristiani dengan mengatakan di mana cinta akan kehidupan menjadi penggerak untuk menerima penderitaan (Samosir, 2010:47). Baginya, kekuatan yang membuat manusia bertahan dalam penderitaan dan mentransformasikan penderitaannya ialah kecintaan akan hidup.
Itu berarti Solle ingin mengatakan bahwa untuk melawan penderitaan dalam hidup manusia harus menerimanya dengan tulus karena dunia yang ditempati oleh manusia tidak hanya menyajikan hal-hal yang menyenangkan saja tapi juga hal-hal yang buruk. Dengan demikian, penderitaan adalah sesuatu yang sulit dihindarkan dari kehidupan manusia itu sendiri.
Tesis di atas menghantar Solle, kemudian memperkuat daya reflektifnya dengan mencoba mengangkat peristiwa para tawanan di kamp konsentrasi, Jerman, ketika rezim Nazi berkuasa. Ia menanyakan, mengapa orang-orang yang sangat menderita pada masa itu bisa bertahan? Ia mengatakan, pertama, orang menyerah untuk membangun harapan orang lain. Kedua, orang menjalani penderitaan bukan sebagai penderitaan tanpa makna. Ketiga, orang memikirkan orang lain bukan penderitaannya.
Oleh karena itu, karena ketidakmampuan seseorang untuk memaknai penderitaan sebagai bagian dari hidup memicu terjadinya aksi bunuh diri. Orang kehilangan daya atau kemampuan reflektif terhadap peristiwa yang dihadapi olehnya. Ketidakmampuan ini menghantar orang untuk memilih jalan “potong” (pintas) untuk keluar dari belenggu penderitaan ketimbang menerimanya dan berusaha melawan faktum penderitaan tersebut. Relevan ketika adagium klasik itu disematkan kembali pada konteks ini bahwa “hidup yang tidak direfleksi tidak layak untuk dihidupi”.
Socrates dalam dialog Apology menegaskan bahwa The unexamined life is not worth living, menekankan pentingnya pengetahuan (refleksi) dalam hidup di dunia. Kemampuan reflektif adalah kemampuan untuk melihat kembali ke dalam diri sendiri. Kemampuan tersebut hanya dimiliki oleh manusia. Kemampuan ini memiliki taring yang tajam ketika digunakan untuk merefleksikan seluruh kehidupan manusia. Kemampuan refleksi adalah kemampuan untuk menilai, mengevaluasi dan mengoreksi diri sendiri.
Kemampuan refleksi bisa menghantar orang pada suatu pertimbangan yang rasional atas tindakan yang akan diambilnya. Kemampuan reflektif semacam neraca yang mempertimbangkan baik-buruknya suatu perbuatan manusia. Itu artinya bahwa ketika kemampuan refleksi seseorang tidak digunakan atau diasah dengan baik maka kemungkinan orang terjebak ke dalam jurang kehancuran yang besar. Bunuh diri adalah representasi nyata seseorang tidak menggunakan nalar reflektifnya dengan baik.
Selain daya reflektif yang kurang, pelaku bunuh diri juga tidak memiliki kemampuan untuk mempertanggungjawabkan persoalan hidup yang sedang dialaminya. Etika tanggung jawab menegaskan pentingnya pertanggungjawaban (Verantwortung) atas akibat tindakan kita. Pelaku harus mempertanggungjawabkan tindakannya di depan hati nuraninya dan di depan orang lain dan bahkan di hadapan Tuhan. Karena itu, bunuh diri adalah suatu tindakan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan baik di depan orang maupun di hadapan sang Pencipta.
Karena itu, penulis kembali tekankan untuk keluar dari fenomena bunuh diri tersebut dibutuhkan kemampuan refleksi atas kehidupan yang sedang dan akan dijalani. Solle hemat penulis sangat tepat mengangkat peristiwa penderitaan di Jerman sebagai basis argumentasi refleksinya. Ia mengatakan salah satu cara untuk keluar zona penderitaan ialah menerima penderitaan sebagai bagian dari hidup manusia.
Menerima bukan berarti membiarkan penderitaan terus meracuni kehidupan kita tapi bagaimana kita melawan penderitaan dengan optimisme yang tinggi. Hanya orang yang menyerah sebelum perang saja yang kalah sebelum bertarung.
***
*) Penulis adalah Vayan Yanuarius, Mahasiswa Ilmu Filsafat Sekolah Tinggi Filasafat Katolik Ledalero Maumere NTT.
*) Tulisan opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Ronny Wicaksono |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |