Jangan Ada Korupsi Dana BOS

TIMESINDONESIA, MALANG – Saat wabah Corona (Covid-19) masih menghimpit bangsa Indonesia ini, logis jika terjadi pengalihan peruntukan sumberdana yang diselaraskan dengan kemaslahatannya, termasuk dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Mendibud secara umum sudah menyampaikan merestui “pengolahan” dana BOS disesuaikan dengan peruntukan anak atau pendidikannya di masa pandemi ini secara benar, yang berarti penggunaan atau pengalokasiannya tidak boleh disalahamatkan atau salahgunakan.
Dalam pasal 3 UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan, bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Sebagai negara hukum, misi mulia pendidikan nasional tersebut harus diamankan dari “gangguan” koruptor. Selama dana bantuan sekolah masih saja dijadikan obyek jarahan koruptor, maka mustahil misi pendidikan nasional bisa terwujud. Misi penggalian dan pengembangan potensi (bakat) anak didik dapat dijalankan jika ada sumberdana memadai. Saat sumberdana yang tersedia ini justru sering dikorupsi secara kolektif (berjamaah), jelas membuat misi mulia ini akan gagal di tengah jalan.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Atas kasus itu, logis hukuman maksimal akhirnya menjadi alternatif yang layak diterapkan untuk menjaring koruptor tersebut. Hukuman maksimal seperti ancaman hukuman seumur hidup atau 20 tahun penjara merupakan senjata yang bukan hanya akan memberikan efek jera atau pentobatan bagi pelakunya, tetapi juga mengandung efek edukatif, yang bukan semata mendidik koruptor supaya menyadari kesalahan yang pernah diperbuatnya, tetapi juga mendidik setiap penjaga dan pengelola dana bantuan sekolah supaya berhati-hati dalam menjalankan kewajiban publiknya.
Hukman maksimal mengandung prevensi moral psikologis bagi siapa saja yang bermaksud atau bernafsu (berambisi) hendak menyalahgunakan kekuasaan. Kecenderungan yang sangat kuat dalam diri seseorang untuk menyalah-alamatkan dana bantuan pendidikan akan tercegah sejak dini akibat bayang-bayang hukuman berat yang akan mengenai dan menyiksanya.
Hukuman maksimal bagi koruptor itu, adalah benteng terakhir yang akan mampu melindungi kekayaan publik. Apa yang menjadi hak milik publik akan aman jika manusia yang berhasrat melakukan penyelewengan atau penyalahgunaan kekuasaan sudah dibuat runtuh nyalinya, dan dibikin keder dengan gambaran akan menjalani hari-hari sulit dan berat di penjara.
Sayangnya, kita ini masih mengidap apa yang disebut O.G. Smith, bahwa “hukuman seringkali hanya mengenai orang kecil, sementara yang berduit dan berkuasa masih mendapatkan hak-hak yang memanjakannya”.
Hukuman yang dijatuhkan oleh koruptor (dalam faktanya) masih lebih ringan dengan apa yang diterima oleh pencuri sandal jepit di Masjid atau Musola. Bahkan terkadang lebih berat yang ditanggung pencuri sandal ini dibandingkan koruptor, karena tidak ada koruptor yang jadi korban amukan massa atau praktik main hakim sendiri (eigenrichting), sementara tidak sedikit pencuri sandal yang babak belur dihajar massa dan meringkuk lama di penjara “hanya” karena pelanggaran hukum yang dengan obyek yang sangat kecil (secara ekonomis).
INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Memberikan sanksi hukuman ringan terhadap koruptor dana BOS (apalagi kalau sampai terjadi di musim pandemic Corona) sama dengan tindakan membuka pintu secara lebih lebar dan vulgar baginya untuk meneruskan atau melanggengkan praktik kotor itu, di samping mendorong lahirnya dan meluasnya bibit-bibit korupsi sekarnag atau masa-masa mendatang di negeri ini.
Dalam ranah itu, bisa saja mereka yang semula takut korupsi, akhirnya nekad ikut-ikutan dan membiasakan atau membudayakannya, karena khawatir jika tidak ikut tidak akan mendapatkan bagian atau dihabiskan oleh yang lainnya. Inilah yang disebut “prinsip” sama edanya akibat membenarkan cara korupsi sebagai opsi logisnya.
Ketakutan tidak mendapatkan keuntungan melalui korupsi itulah yang terbukti hingga kini masih terus terjadi dan melekat dalam tubuh pihak-pihak yang dipercaya melindungi dan mengelola dana rakyat. Mereka ini gampang atau cenderung rentan tergoda oleh penyakit kekhawatiran ditinggalkan oleh teman, kolega, atau atasannya yang berlaku korupsi. Mereka seolah-seolah menempatkan dirinya sebagai sosok yang “tidak pintar” dan “cerdik” jika tidak melakukan korupsi, atau bahkan merasa “bodoh” jika tidak ikut ramai-ramai menyalahgunakan kekuasaan (kewenangan) demi mendapatkan uang berlimpah.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
*)Penulis: Anang Sulistyono, Dosen dan Ketua BKBH Fakultas Hukum Universitas Islam Malang (UNISMA).
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Advertisement
Editor | : AJP-5 Editor Team |
Publisher | : Rochmat Shobirin |
Konten promosi pada widget ini bukan konten yang diproduksi oleh redaksi TIMES Indonesia. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.