Kopi TIMES

Bisnis Sosial dan Pandemi Corona: Kontroversi?

Sabtu, 18 April 2020 - 14:38 | 220.32k
Dr. Wirawan Endro Dwi Radianto. S.E., M.S.cA. Kepala LPPM Universitas Ciputra Surabaya
Dr. Wirawan Endro Dwi Radianto. S.E., M.S.cA. Kepala LPPM Universitas Ciputra Surabaya
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Sampai tulisan ini dibuat korban pandemi Corona atau Covid-19 di Indonesia sudah mencapai 1.414 kasus, 122 meninggal dan 75 orang sembuh. Sedangkan secara global telah mencapai 199 negara dengan sekitar 722.196 kasus dan 33.976 kematian menurut CNBC Indonesia. 

Merespon hal tersebut berbagai kebijakan pemerintah sudah dikeluarkan untuk menanggulangi pandemi tersebut. Media masa televisi setiap hari selalu rajin memberitakan mengenai pandemi tersebut. Sampai-sampai kitapun setiap hari menerima dan mengirimkan berita tentang Korona bahkan mungkin menjadi pengamat virus ini. 

Advertisement

Apa yang saya tulis saat ini mencoba untuk mengkaji 'sisi lain' dari dampak pandemi ini. Saya ingin secara singkat mengulas bagaimana peluang bisnis sosial ini muncul. Tulisan ini tidak bertujuan untuk 'mencari keuntungan' di tengah-tengah pandemi Corona. 

Kalau kita amati dampak Corona ternyata memunculkan beberapa bisnis sosial. Berbagai motivasi tentu melatarbelakangi kemunculan bisnis ini. Namun apapun motivasinya yang jelas memberikan dampak positif untuk masyarakat. Apa yang mereka lakukan? Mereka memproduksi APD, masker, sanitizer, disinfektan, bilik disinfektan, bahkan banyak yang membuat minuman yang dikenal dengan istilah empon-empon. Muncul juga Gerakan-gerakan pengumpulan dana untuk masyarakat yang terdampak social distance. 

Melihat fenomena ini saya langsung teringat mata kuliah yang saya ajarkan yaitu Business Opportunity Creation. Salah satu konteks orang mengenali, menemukan, mencari, dan menciptakan peluang adalah supply and demand

Ketika kebutuhan sanitizer meningkat maka banyak orang memulai bisnis tersebut. Dalam tempo yang sangat singkat permintaan produk tersebut melonjak dengan tajam, dan tidak pernah cukup alias banyak orang masih mengantri. 

Bagaimana mungkin masyarakat yang sebelumnya tidak pernah membuat sanitizer menjadi mampu melakukannya? Jawabannya karena mereka memiliki knowledge stock. Seseorang yang tidak memiliki knowledge stock pasti tidak dapat melihat peluang. 

Sebenarnya peluang ada dimana-mana, tetapi hanya yang memiliki entrepreneurial mindset saja yang dapat menangkap peluang dan mengeksekusinya. Knowledge stock merupakan bagian penting dari entrepreneurial mindset yang diperoleh dari melihat, mendengar, melakukan, mengamati, mengalami, dan merasakan sesuatu sebelumnya. 

Produksi masker juga meningkat tajam, mulai masker medis sampai masker kain. Mengutip dari seorang dokter menyatakan bahwa masker kain dapat mengurangi penularan virus sampai 72 persen, nah ini kan sangat bermanfaat. 

Ternyata masker medis dapat disubstitusi dengan masker kain. Salah satu konsep penting mempelajari peluang adalah SCAMPER yaitu substitute, combine, adapt, modify, put to other uses, eliminate dan rearrange. Melalui substitusi dapat menemukan peluang bisnis sosial. 

Beberapa pemerintah daerah menggunakan drone untuk membersihkan virus di beberapa lokasi. Ide ini adalah konsep combine yaitu mengkombinasi fungsi drone dan fungsi pemadam kebakaran tetapi memiliki jangkauan yang lebih besar dan nampaknya lebih efektif dan efisien, dan ini juga merupakan ide kreatif. 

Minuman jamu yang dibuat begitu banyak ditawarkan baik melalui media sosial atau di restoran, kedai kopi, dll. Peluang ini menurut saya sangat baik karena membuat masyarakat dapat memperolehnya di manapun berada. 

Masyarakat tidak perlu membuat karena sudah muncul banyak supplier, masyarakat tidak perlu mencari karena sudah banyak dijual. Konsep ini yang saya sebut sebagai bisnis sosial. 

Saya menyebut sebagai bisnis sosial karena bisnis ini menciptakan ide untuk mengatasi masalah sosial (dari banyak definisi, saya menggunakan yang sederhana saja). Konteks dalam bisnis sosial ini memang beragam. 

Ada yang memang bertujuan untuk membantu masyarakat jadi memberikan produknya kepada masyarakat dengan gratis namun adapula yang berorientasi laba. Sepanjang harga yang ditetapkan masih wajar dan kualitasnya juga baik maka akan memberikan dampak yang nyata. 

Adapula yang memproduksi untuk dibeli pihak tertentu yang selanjutnya disalurkan kembali secara gratis ke masyarakat.

Produk yang lebih inovatif juga bermunculan misalnya munculnya inovasi alat bantu pernafasan pasien Corona. 

Ide ini muncul dari ide katup snorkeling yang digagas oleh Cristian Fracassi yang merupakan CEO sekaligus pendiri perusahaan Isinnova di Italia. konsep ini disebut dengan Put to other uses, yaitu menggunakan produk untuk tujuan yang berbeda. 

Menariknya lagi bisnis ini memberikan katup gratis kepada penderita korona. Contoh inovasi lainnya yaitu munculnya project pitlane untuk memproduksi ventilator. Tidak main-main penggagas ide ini adalah gabungan dari Tim F1 yang digandeng pemerintah Inggris. Kita bisa bayangkan teknologi F1 digunakan untuk tujuan kemanusiaan. Lagi-lagi konsep “put to another use” dari scamper diterapkan di bisnis sosial ini. 

Contoh ini adalah bagaimana mereka mengubah bisnis mereka menjadi bisnis sosial untuk membantu memerangi wabah Corona. 

Ardichvil (2003) mengatakan bahwa Imitasi adalah salah satu konsep menemukan peluang yang berada ditingkat paling rendah. Walaupun tingkat inovasinya rendah namun keunggulan konsep imitasi ini adalah cepat diterapkan dan memiliki risiko yang paling rendah. 

Saya melihat beberapa produk yang sudah kita bicarakan sebelumnya ,muncul merupakan proses imitasi. Itulah mengapa produk-produk ini cepat dibuat dan disebarkan ke mana-mana dan muncul dari berbagai kalangan.

Harapan saya semoga bisnis sosial yang muncul saat ini bisa bertahan. Semoga mereka konsisten dan tahan uji karena bisnis imitasi cukup rentan dalam jangka panjang. Kita dapat menarik pelajaran berharga yaitu kalau anda memiliki mindset entrepreneurial maka anda akan dapat menangkap peluang dan membagikannya bagi masyarakat yang membutuhkan, bahkan anda akan menjadi agen yang berkontribusi untuk membantu menyelesaikan dampak negatif dari sebuah permasalahan. 

Teruslah ber'entrepreneurial' agar kita mampu menjadikan dunia ini lebih baik karena salah satu inti dari entrepreneurship yaitu giving value added for everyone. Jadi, milikilah mindset entrepreneur!

***

Penulis : Dr. Wirawan Endro Dwi Radianto. S.E., M.S.cA Kepala LPPM Universitas Ciputra Surabaya

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menanyangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES