Kopi TIMES

Marhaenisme, Jejak Ideologi Bung Karno

Selasa, 09 Juni 2020 - 03:32 | 276.03k
Ichwan Arifin adalah Alumnus Pasca Sarjana MIP Undip Semarang dan mantan Ketua Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Semarang.
Ichwan Arifin adalah Alumnus Pasca Sarjana MIP Undip Semarang dan mantan Ketua Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Semarang.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Bulan ini, Juni merupakan Bulan Bung Karno yang dilahirkan pada 6 Juni 1901 di Jawa Timur.  Bagi sebagian generasi saat ini, Soekarno atau Bung Karno mungkin hanya dikenal sebagai Presiden Pertama Republik Indonesia atau sebagai Proklamator Kemerdekaan.

Tak banyak yang mengenal jejak pemikiran dan gagasan besar Bung Karno. Situasi yang dapat dipahami mengingat desoekarnosiasi yang dilakukan rejim Orba cukup berhasil memangkas memori masyarakat tentang Soekarno sampai titik nadir. Jika masih ada memori yang tersisa, lebih banyak pada pemahaman artifisial sosok Soekarno, bukan pada gagasan-gagasan besarnya bagi bangsa ini.

Advertisement

Generasi sekarang yang tidak selalu akrab dengan sejarah (karena mungkin dianggap sebagai hal yang “jadul”) atau tidak tertarik mempelajari ideologi dan pemikiran-pemikiran besar (mungkin karena dianggap “njlimet”) tentu tidak mengenal warisan pemikiran Bung Karno.  Karena itu, dalam Bulan Bung Karno ini, perlu kita jadikan momentum untuk mengkaji kembali pemikiran-pemikirannya, sekaligus dikaitkan dengan konteks kekinian.

Salah satu gagasan besar yang jarang dikupas adalah marhaenisme. Pemikiran brillian Bung Karno tersebut seolah terkubur dalam liang sejarah, terutama selama masa kekuasaan Orba yang secara sistematis meminimalkan peran dan sumbangsih pemikiran Bung Karno dalam narasi sejarah Indonesia. Pertanyaannya adalah apakah marhaenisme masih relevan dengan realitas kekinian?

Untuk menjawab hal tersebut, kita perlu mengurai dan memahami apa itu marhaenisme dan menghadapkannya dengan realitas saat ini.  Marhaenisme merupakan buah pergulatan pikir Bung Karno setelah sekian lama berkubang dengan pemikiran-pemikiran besar seperti marxisme, liberalisme atau sosialisme. Jejak panjangnya dalam pergerakan nasional, kontemplasi berpikir dan refleksinya atas realitas penderitaan rakyat yang hidup dalam penindasan rejim kolonial, mendorongBung Karno melahirkan ideologi dan azas perjuangan yang dinamakan marhaenisme.

Mengingat rakyat Indonesia (saat itu masih bernama Hindia Belanda) yang masih terbelakang dan suka dengan hal-hal simbolik. Bung Karno menarasikan ideologi tersebut melalui cerita pertemuannya dengan sosok petani yang disebutnya bernama Marhaen. Bung Karno mempersonifikasikan mayoritas rakyat Indonesia yang rata-rata hidup miskin pada sosok tersebut dan  menamakan pemikirannya sebagai marhaenisme.

Pada saat mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI), 4 Juli 1927, Bung Karno menempatkan marhaenisme sebagai azas partai sekaligus menggunakannya sebagai cara perjuangan. Merujuk pada tulisan Bung Karno yang dibukukan dalam buku berjudul ”Dibawah Bendera Revolusi (DBR)”, marhaenisme adalah adalah azas dan cara perjuangan yang menghendaki sususan masyarakat dan sususan negeri yang di dalam segala halnya menyelamatkan kaum marhaen.

Ada yang memahami marhaenisme sebagai marxisme yang diterapkan sesuai dengan situasi dan kondisi di Indonesia. Namun Bung Karno berpandangan bahwa marxisme tidak sepenuhnya tepat diterapkan di Indonesia karena ada beberapa aspek yang berbeda. Misalnya, kapitalisme di Indonesia pada masa itu belum sepenuhnya “matang”. Selain itu, konfigurasi rakyat juga lebih banyak petani dari pada buruh sehingga proletariat terdidik sangat minim.  Marhaenisme juga tidak mengenal perjuangan kelas karena tidak sejalan dengan kondisi keindonesiaan. Bung Karno juga tidak menggunakan konsep diktator proletariat, karena meyakini demokrasi sebagai sistem politik yang ideal. Namun, demokrasi yang dikehendaki bukanlah demokrasi “ala Barat” tapi demokrasi khas Indonesia yang bertumpu pada permufakatan masyarakat. Demokrasi yang dinginkan juga tidak hanya dalam lapangan politik tapi juga dalam aspek pemerataan kesempatan dibidang ekonomi dan sosial. Itulah yang disebut dengan sosio-demokrasi.

Bertolak belakang dengan marxisme-leninisme yang menghendaki adanya internasionalisme proletariat, Bung Karno kukuh pada gagasan nasionalisme. Dalam beragam tulisannya Bung Karno menyebutkan, nasionalisme Indonesia timbul dari rasa cinta pada manusia dan berlandaskan kemanusiaan, serta menjadi bagian dari perjuangan umat manusia di dunia untuk membebaskan diri dari penjajahan. Nasionalisme seperti itulah yang dinamakan sosio-nasionalisme.  Karena itulah, Bung Karno juga mendefinisikan marhaenisme sebagai sebagai sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi.

Apakah marhaenisme masih relevan dengan realitas kekinian? Jawabannya iya. Namun, kita tidak bisa dengan mudah menerapkannya pada saat ini secara instan, seperti membangkitkannya dari kubur sejarah. Jika itu yang dilakukan maka sama saja kita mengkhianati substansi ideologi tersebut. Karena itu, perlu dilakukan kajian mendalam dan membedah kembali marhaenisme tersebut dalam satu ruang dialog kritis.  Sikap ini juga sejalan dengan prinsip Bung Karno yang juga menolak dogmatisme ideologi. Dalam tulisannya berjudul ”Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme”, Bung Karno mengemukakan, ”Marx dan Engels bukanlah nabi-nabi, yang bisa mengadakan aturan-aturan yang bisa terpakai untuk segala jaman.  Teori-teorinya haruslah diubah, kalau jaman itu berubah, teori-teorinya haruslah diikutkan pada perubahannya dunia, kalau tidak mau menjadi bangkrut.”

Marhaenisme merupakan ideologi  yang  lahir diabad 20 sebagai ideologi perlawanan terhadap kapitalisme kolonial pada masa itu. Namun saat ini, diabad 21, kapitalisme telah tumbuh berkembang dalam wajah berbeda. Kapitalisme abad 21 merupakan kapitalisme baru yang lahir dari revolusi industri 4.0. Saat ini yang tengah terjadi adalah kapitalisme baru yang tengah berproses menghabisi kapitalisme lama, yang notabene merupakan musuh besar marhaenisme.

Karakter kapitalisme lama yaitu “kapitalisme percaloan” mulai ditinggalkan karena inefisiensi sistem ekonomi. Keuntungan hanya dinikmati oleh “middleman” atau kelompok pemburu rente, namun rakyat menanggung ketidakadilan dan biaya mahal. Kapitalisme baru memberikan keuntungan bagi berbagai pihak, termasuk rakyat miskin melalui transparansi dan efisiensi. Konsekuensinya, pemburu rente yang memainkan peran sebagai “calo” mulai terdesak. Mereka kaya karena mengambil keuntungan dari inefisiensi, praktik suap, pengaturan regulasi, penghilangan kompetisi usaha, dan sebagainya. Karena kekayaannya mulai terancam arus perubahan dunia, maka mereka perlu jargon yang dapat menumbuhkan sentimen kebangsaan.

Dalam konteks itu, jangan sampai marhaenisme  tereduksi menjadi ideologi palsu para pelaku ekonomi rente nasional dengan jargon “anti asing, anti aseng, neoliberal” dan sebagainya.

Mungkin, para marhaenis harus membuka hati dan pikiran terhadap kenyataan tersebut. Karena jika memang demikian faktanya, kaum marhaenis dapat menggunakan kredo “Lawannya Lawan adalah kawan”. Dalam konteks ini, kapitalisme baru adalah lawan kapitalisme lama, dengan demikian kapitalisme baru dapat saja berkawan dengan kaum kaum marhaenis atau sebaliknya.

Pernyataan ini terasa kontroversial, namun justru itulah tesis ini perlu diuji sebagai bagian dari teori dan keilmuan yang jika merujuk pada Karl Raymund Popper, harus memenuhi aspek falsifikasi. Selamat Merayakan Hari Lahir dan Bulan Bung Karno! (*)

***

*) Penulis: Ichwan Arifin adalah Alumnus Pasca Sarjana MIP Undip Semarang dan mantan Ketua Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Semarang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES