TIMESINDONESIA, JAKARTA – Penulis berusaha memahami persoalan corona ini lebih dari sekedar simbol perjuangan melawan penyakit. Diskusi yang dilakukan penulis dengan kelompok marginal di lapisan bawah atau kelompok miskin di gang-gang sempit ibu kota telah melahirkan satu kesimpulan bahwa corona ini ialah satu persoalan yang berlapis. Meskipun kesimpulan ini tidak banyak diamini.
Penulis tidak mau menjadi retorika. Selama berbulan-bulan dalam masa pandemi, kehidupan sosial ekonomi masyarakat menjadi fluktuatif dan seharusnya ini menjadi satu fakta empiris yang rasanya sulit sekali untuk tidak (juga) diamini. Kondisi faktual menunjukan bahwa kegiatan ekonomi telah menuju mati secara perlahan tapi pasti. Implikasi dari pandemi inipun merembet menciptakan kemiskinan baru, klaster-klaster baru dalam tatanan dan sistem sosial masyarakat. Pra Pandemi, masyarakat terbagi menjadi 3 kategori yaitu miskin, menengah dan kaya, tetapi klaster itu kemudian berubah menjadi miskin, hampir miskin, menengah, cukup dan kaya.
Advertisement
Roda ekonomi dari level paling mini hingga paling tinggi bergerak menjadi perlahan, bahkan ada yang sudah berhenti. Masyarakat pekerja, baik sektor formal ataupun informal menjadi tidak bekerja, dirumahkan, bersembunyi tanpa kepastian dan terpaksa bertahan.
Fakta-fakta ini tidak bisa dilobi dengan mengatakan bahwa ‘kita selesaikan dulu masalah kesehatan”. Dalam refleksi terhadap persoalan hari ini, ekonomi menjadi problem yang pada hakikatnya menjadi relevan untuk juga kita pikirkan.
Corona ini pada kenyataannya merangkum segala problematika yang perlu dikonsepsikan secara jelas. Akan tetapi, situasi riil hari ini juga jangan sampai menjadikan demokrasi kita menjadi elitis. Kita perlu merespon problem bangsa ini dengan formulasi kebangsaan, berbangsa dan bernegara.
Kita perlu sama-sama memikirkan formulasi apa saja yang bisa sekaligus menjawab masalah yang mendera bangsa kita hari ini. Kita perlu mengkajinya dengan melihat kembali pada dasar nusantara yaitu keragaman yang memperkuat persatuan. Bukan menjadikan persoalan corona ini sebagai sentimen yang tidak perlu. Kita memerlukan yang lebih dari sekedar keinginan politik, tetapi cara berpolitik milenial yang berakar pada keinginan memparipurnakan masalah bangsa yang hari ini tampaknya begitu kompleks dengan baik.
Kita sering terbawa pada perdebatan semu yang menyebabkan kita lupa untuk mengurai permasalahan bangsa ini. Pendekatan kita dalam berdebat sering kali berujung pada kesimpulan yang tidak substansial. Kadang melebar menjadi perdebatan kosong soal ras, agama, ideologi politik. Padahal, kehidupan berpolitik milenial seharusnya lebih beradab dan bermoral.
Politik milenial perlu memikirkan soal konstruksi kebangsaan, kesatuan dalam perbedaan. Konsep tersebut seharusnya juga berakhir dalam aktualitas kehidupan kita sehari hari, dan juga hari ini.
Kembali pada persoalan corona tadi, preposisi di awal tadi seharusnya memberikan penegasan bahwa goncangan pada sektor ekonomi bukanlah sebuah sandiwara. Realitas tersebut seharusnya juga membuat Kita sepakat untuk bergerak menyiapkan pemulihan ekonomi secara perlahan. Tidak ada maksud untuk mengatakan “tidak ada pilihan”, justru ini adalah sebuah pilihan. Ini adalah pilihan yang paling terdekat dengan rakyat, apalagi bagi kelompok yang penulis sebutkan tadi di awal.
Tetapi, pilihan tersebut tidak lantas menjadikan kita begitu saja meninggalkan masalah kesehatan. Penulis meyakini bahwa kesehatan dan ekonomi ialah 2 diskursus yang memiliki keterkaitan. Dan sangat sulit bagi penulis mengabaikan keterkaitan kedua hal yang sama-sama memiliki urgensi dan relevansi tersebut.
Kita jangan lupa, 3 bulan terakhir kita telah melakukan perjalanan doktrin yang panjang. Kita sudah melihat bagaimana negara telah mengkonstruksikan kebiasan menjalankan protokol kesehatan dalam karakter sosial dan tingkah laku kita. Sehingga, Kita hanya perlu untuk terus menjadi tidak abai.
Di lain pihak, kita perlu menjadi lebih masif lagi dalam mendorong negara dan representasinya untuk terus mencari sistem dan formulasi yang terbaik dan terencana dalam menghadapi persoalan (corona) bangsa ini, dan tetap berakar dan berkerangka pada konstitusi dengan tujuan untuk mencapai keseimbangan antara menjaga kesehatan dan keselamatan masyarakat sekaligus membuat ekonomi kembali berjalan.
Kita perlu beranjak menyelesaikan persoalan corona ini secara holistik, menjadi bagian dari penyelesaian masalah, bukan menjadikan diri kita sebagai bagian dari manuver politik kelompok tertentu. Politik kekinian hari ini tidak boleh sekedar beretorika. Politik milenial harus berubah, berdampak untuk kebaikan bangsa dan Negara. Berdampak bagi rakyat yang sejatinya adalah pemilik yang sah dari setiap jengkal dari tanah air Indonesia. (*)
***
*) Oleh: Ogiandhafiz Juanda, S.H., LL.M., C.L.A., Advokat, Dosen Fakultas Hukum Universitas Nasional / Direktur Treas Constituendum Institute.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menanyangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Ronny Wicaksono |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |