Kopi TIMES

RUU HIP, Kepentingan Siapa?

Jumat, 19 Juni 2020 - 22:00 | 89.29k
Alfaro Muhammad, Mahasiswa di Fakultas Kedokteran Universitas Pattimura Ambon.
Alfaro Muhammad, Mahasiswa di Fakultas Kedokteran Universitas Pattimura Ambon.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, AMBON – Saat ini, Negara Indonesia sedang mengalami beberapa masalah yang kontroversial, Di antaranya kasus covid-19 yang semakin naik tajam dan progresif penyebarluasannya yang menurut masyarakat telah memberikan dampak terhadap ketahanan pangan. Banyak masyarakat kecil yang tertindas akibat kebijakan-kebijakan pemerintah yang juga tidak pro terhadap rakyat dan lain sebagainya. Selain itu, salah satu permasalahan yang menarik adalah orang yang menduduki dan menjadi representasi rakyat di Senayan sedang membahas RUU Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP), sebuah Rancangan Undang-Undang yang urgensinya tidak dapat dibenarkan di masa pandemi ini.

Jika kita melihat dari asal muasal penyusunan RUU ini adalah bahwa saat ini belum ada undang-undang sebagai landasan hukum yang mengatur Haluan Ideologi Pancasila untuk menjadi pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Advertisement

Terdapat 3 poin kritis yang terdapat dalam RUU HIP.

Poin pertama adalah RUU ini sebenarnya cacat dalam hal fundamental dan hukum. Pancasila yang merupakan dasar negara, dasar filosofi negara, ideologi negara, dan cita hukum negara untuk mewujudkan tujuan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, serta berdaulat dalam tata masyarakat adil dan makmur sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, merupakan hasil konsepsi pemikiran para The Founding Father kita yang merumuskan Pancasila dan Tatanan nya diambil dari nilai-nilai kehidupan yang sebenarnya telah ada jauh sebelum Pancasila itu dilahirkan.

Selain itu Pancasila yang merupakan dasar idiologi yang sangat fundamental tersebut, nilai-nilai nya telah mengakar serta dijabarkan dan merupakan suatu induk atau haluan untuk UUD 1945 yang secara hierarki hukum di indonesia UUD 1945 lah merupakan konsepsi peraturan tertinggi yang ada. Namun ini menjadi berbeda dan sangat tidak logis ketika nilai-nilai haluan Pancasila malah diatur dalam UU yang secara hirarki pun dibawah dari UUD 1945 dan Tap MPR. 

Polemik yang terjadi selanjutnya adalah, didalam isi draft Rancangan Undang-Undang tersebut pada pasal 7 ayat 2 tertulis bahwa 'Ciri Pokok Pancasila berupa trisila, yaitu sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan. Dan pada ayat 3 dijelaskan bahwa Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-royong.

Hal ini merupakan kecacatan dalam pembentukan UU tersebut. Seperti yang kita ketahui bahwa hasil konsepsi dari Pancasila tersebut adalah 5 sila atau dasar atau poin, yang dimana poin pertama mengatur tentang kebebasan beragama dan kepercayaan dan juga hubungan antara tuhan dan manusia. Ke empat sila yang lain merupakan suatu nilai yang dimana dijewantahkannya nilai ketuhanan yang maha esa. Sehingga kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dengan musyawarah untuk mufakat dan keadilan sosial haruslah berbanding lurus dan tidak dapat dipisahkan dan mengacu pada nilai nilai ketuhanan. 

Jika dibiarkan, maka nilai-nilai ketuhanan dan keagamaan akan terdesentralisasi dan di marginalisasikan, dan tentu saja nilai-nilai agama yang menjadi pendidikan kararkter bangsa yang merupakan pendidikan untuk  menjadikan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan juga berakhlak mulia (UU No.20 tahun 2013 pasal 3) tentu saja akan memudar. Hal ini akibat isi dari RUU HIP tersebut seakan membenturkan antara nasionalis kemanusiaan dan nasionalis keagaaman.

Jika kita merujuk pada pasal 7 RUU tersebut terdapat degradasi pengecilan dari 5 sila, menjadi Trisila dan mengatur bahwa Ketuhanan yang berlandaskan Kebudayaan. Jika kita merujuk pada Teori-Teori Sosiologi, sebut saja NDP (Nilai dasar perjuangan) bab 1 tentang dasar-dasar kepercayaan. Bahwa kebudayaan itu berasal dari tradisi dan tradisi berasal dari kegiatan-kegiatan dan kegiatan berasal dari aktivitas manusia. Yang artinya bahwa isi RUU HIP itu sebagian besar merujuk pada humanisme tanpa ada nilai keagamaan dan kepercayaan. Dan juga RUU HIP yang mengatur tentang Trisila tersebut haruslah terkristalisasi pada nilai ekasila, yaitu Gotong Royong. Namun nilai gotong royong pun merupakan nilai-nilai yang teraktualisasikan dari kemanusiaan, dan bukan ketuhanan.

Realitas sejarah kemerdekaan Indonesia telah mencatat bahwa perebutan kekuasaan kemerdekaan Indonesia tak lepas dari peran-peran tokoh agama seperti kyai ataupun ulama. Sebut saja KH Hasyim Asyari, KH Ahmad Dahlan, KH Zainal Arifin, KH Wahid hasyim dan masih banyak lagi. Gerakan transformasi dan dinamika pergerakan umat Islam untuk memperjuangkan dan juga memberikan tongkat estafet bangsa pada penerus bangsa tak terlepas dari pengaruh khitah-khitah perjuangan dari para kyai dan juga ulama.

Banyak kelompok-kelompok gerakan Transformasi pergerakan islam yang ada di indonesia dan sebenarnya mempunyai ideologi keagamaan yang berasal dari suatu nilai kebenaran ilahi, yaitu Al-Quran dan Al-hadits. Namun banyak yang salah mengartikan bahwa pergerakan ini adalah suatu pergerakan yang tendensinya bertolak belakang dengan nilai-nilai normatif dan mengarah kepada radikalisme. Padahal nilai-nilai pancasila juga merupakan nilai yang mengacu pada nilai-nilai keagamaan. Yang artinya, kelompok-kelompok tersebut mengakui bahwa Pancasila adalah ideologi bangsa dan ideologi agamais berjalan lurus dengan Pancasila. 

Hal ini ditakutkan akan terjadi pergolakan besar dan menjadi kekacauan jika RUU HIP ini terealisasikan, karena akan membentur dan menjadikan percaturan ideologi antara kelompok nasionalisme-agamais dan juga nasionalisme-sekuler. Sebut saja asas tunggal pada tahun 80-an yang dimana UU Nomor 3 Tahun 1985 yang mengharuskan Pancasila menjadi Asas Tunggal pada setiap Organisasi. Juga bubarnya Partai Masyumi pada tahun 1960, merupakan langkah Pemerintah dalam menggeneralisasikan dan menghapuskan ideologi-ideologi lain selain Pancasila. Maka jika RUU HIP ini menjadi suatu produk hukum, maka tidak dipungkiri akan terjadi pergolakan-pergolakan dan perbenturan ideologi di Indonesia.

Dan yang menjadi poin ketiga yang harus dikritisi dalam RUU HIP ini adalah pada pasal 13 dan pasal 1 yang menjelaskan bahwa Demokrasi Pancasila meliputi Demokrasi Ekonomi, yang di mana merujuk pada penguasaan berlebihan negara terhadap sektor ekonomi. 

Sehingga jika kita tarik kesimpulan dari poin kritis di atas maka sebaiknya Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila seharusnya tidak dilanjutkan karena banyak polemik yang terjadi, dan juga sebaiknya DPR yang merupakan representasi dari rakyat lebih mementingkan Urgensi permasalahan yang ada seperti pandemi ini. 

***

*)Oleh: Alfaro Muhammad, Mahasiswa di Fakultas Kedokteran Universitas Pattimura Ambon.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES