Kopi TIMES

Language Shift, Dekulturasi Bahasa Bugis dan Eksistensi Sureq La Galigo di Sulawesi Selatan 

Rabu, 29 Juli 2020 - 13:38 | 122.10k
Samintang, Mahasiswi Semester 3 Program Studi Akuntansi Universitas Hasanuddin.
Samintang, Mahasiswi Semester 3 Program Studi Akuntansi Universitas Hasanuddin.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MAKASSAR – Berbicara tentang budaya, Indonesia merupakan salah satu negara yang dikaruniai keberagaman kultur yang sarat dan kental dengan nilai-nilai luhur. UNESCO secara resmi mengakui banyak kekayaan budaya di Indonesia sebagai warisan dunia yang di antaranya :pencak silat, angklung, noken, keris, tari bali, batik, wayang kulit, gamelan, subak, sekaten, lumpia, tari saman, dan perahu phinisi sebagai ikonik di Sulawesi Selatan.

Namun di sisi lain, ada satu warisan budaya di Tanah Anging Mamiri ini yang mulai terasingkan seiring dengan laju peradaban yakni Aksara Lontara Bugis sebagai warisan tak benda yang diakui secara nasional.

Advertisement

Memudarnya khazanah lontara di Tanah Bugis dilatarbelakangi oleh rendahnya kuantitas tenaga pengajar dan stereotif yang menyatakan bahwa bahasa Bugis tidak prestisius dan ketinggalan jaman (baca: kuno). Pandangan tersebut melekat kuat dalam pemikiran masyarakat khususnya generasi muda. Hal yang tidak mengherankan bila Generasi Z acuh dengan kearifan lokalnya sendiri dan merasa tidak keren bila menggunakan bahasa lokal.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan UNESCO menyimpulkan bahwa ada sekitar 6.000 bahasa di dunia dan tercatat lebih dari 200 bahasa tersebut punah hanya dalam kurun waktu satu abad. Sebuah bahasa diklaim punah jika penuturnya kurang dari seribu orang dan terdapat 20 dari 600 bahasa di Indonesia yang terancam punah digerus zaman. Dan tidak menutup kemungkinan hal ini akan berimbas ke bahasa Bugis.

Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Badan Pusat Bahasa Jakarta bahwasanya Bahasa Bugis berpotensi akan punah dalam kurun waktu 25-50 tahun ke depan. Begitupun dengan penelitian Madeamin bahwa terjadi pengalihan bahasa ‘language shift’ dari bahasa Bugis ke bahasa Indonesia, bahkan di kota bisa mencapai sekitar 50%.

Demikian juga generasi muda yang enggan menggunakan bahasa Bugis baik karena orang tuanya yang tidak mengajarkannya sekaligus anggapan terkait bahasa Bugis yang tidak seprestisius bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Banyak generasi muda yang merasa kuno jika menggunakan bahasa ini dalam berkomunikasi.

Di lain pihak, regulasi pemerintah yang masih timpang karena cenderung memprioritaskan gerakan menjunjung bahasa Indonesia dan menguasai bahasa Inggris namun tak mengindahkan bahasa daerah sehingga kedudukannya bernasib marginal. Tak dapat dipungkiri, mata pelajaran bahasa Bugis mulai terpinggirkan dewasa ini. 

Sejatinya, aksara lontara Bugis memiliki kekayaan intelektual dan kultural yang kuat serta didukung dengan adanya Sureq Lagaligo sebagai epik terpanjang di dunia sebelum Mahabrata. Namun isi yang terkandung di dalamnya belum terwariskan secara berkelanjutan karena banyak generasi muda yang enggan mempelajari sehingga tidak menguasai aksara lontara. Kurangnya edukasi mengenai nilai-nilai moral kebugisan pada anak-anak sejak dini menyebabkan degradasi kesadaran terhadap keadiluhungan Sastra Bugis Lagaligo.

Para peneliti dan penggiat lontara juga mulai kehilangan penerusnya. Dalam lingkungan sivitas akademika pun mengalami kelesuan yang ditandai dengan menurunnya peminat bahasa Bugis dari tahun ke tahun. Melemahnya eksistensi lontara menunjukkan menurunnya jumlah penutur yang dapat menyebabkan kepunahan baik dengan dan tanpa jejak sama sekali.

Lontara merupakan bagian dari  kekayaan kultur yang murni khas masyarakat Bugis yang menjadi sense of belonging Sulawesi Selatan. Lontara adalah elemen dari epos terpanjang di dunia yang mengalahkan epos Mahabharata dan Ramayana dari India serta epos Homerus dari Yunani yakni Sureq Lagaligo.Menurut beberapa sumber, epos Lagaligo terdiri dari 2.851 halaman polio dan konon naskah aslinya mencapai 300 ribu baris. Naskah autentik ini berada di Perpustakaan Koninklijk Instituut voor Taal-Land-en Volkenkunde (KITLV) Leiden, Belanda. Menurut Robert Wilson, Sureq Lagaligo diprediksi memiliki panjang dua kali lipat dibandingkan Mahabharata dan Ramayana. Peneliti dari Belanda yang bernama Roger Tol juga mengatakan bahwa epos ini memiliki gaya bahasa yang indah.

Menyadari betapa berharganya warisan budaya tersebut, kita sebagai Wija To Bugis secara khusus dan masyarakat Indonesia secara umum seyogyanya giat dalam mempelajari dan mencetuskan inovasi dengan memanfaatkan kemajuan teknologi agar keberadaan bahasa Bugis tetap terjaga. Hal tersebut dapat ditempuh dengan memodifikasi pembelajaran berbasis digital dan strategi remarketing on sosial media agar tercipta ruang edukasi dan literasi kesusastraan secara luas.

Selain itu, pengenalan secara langsung kepada peserta didik juga perlu dimasifkan sejak dini melalui kurikulum yang terpadu dan pembinaan kepada tenaga pengajar bahasa lokal di Sulawesi Selatan. Dengan harapan, bahasa tersebut tetap eksis di tengah modernisasi dan generasi muda tidak gagap budaya. Sebab hal yang memprihatikankan bila kekayaan sastra tersebut dikenal oleh masyarakat dunia tetapi asing di tanah sendiri. 

***

*) Oleh: Samintang, Mahasiswi Semester 3 Program Studi Akuntansi Universitas Hasanuddin.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES