Pengaturan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, Sebuah Langkah Progresif Kejaksaan
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Proses penegakan hukum pidana berjalan dalam sebuah sistem yang disebut dengan sistem peradilan pidana (criminal justice system). Istilah tersebut untuk menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem (criminal justice process) yang dimulai dari proses penyelidikan/penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di muka pengadilan, serta diakhiri dengan pelaksanaan pidana di lembaga pemasyarakatan.
Kejaksaan sebagai bagian dari sistem peradilan pidana pada hakikatnya merupakan satu-satunya lembaga yang mempunyai fungsi di bidang penuntutan dan fungsi lain yang secara tegas disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1) UU RI Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Enn en ondeelbaar yang berarti kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan, merupakan satu landasan dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya di bidang penuntutan yang bertujuan memelihara kesatuan kebijakan di bidang penuntutan sehingga dapat menampilkan ciri khas yang menyatu dalam tata pikir, tata laku, dan tata kerja Kejaksaan.
Advertisement
Keberadaan Kejaksaan sebagai institusi penegak hukum pidana mempunyai kedudukan sentral dan peran yang strategis sebagai pengendali perkara (dominus litis), dan sebagai filter antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan, serta sebagai eksekutor terhadap sebuah putusan peradilan pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde).
Dilema Penegakan Hukum
Ada tiga tujuan yang harus diperhatikan dalam proses penegakan hukum, yaitu kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Tujuan hukum berupa keadilan menjadi isu sensitif yang sangat sering dibicarakan dalam penegakan hukum. Prof. M Yahya Harahap mengemukakan jika menegakkan hukum dan keadilan adalah mustahil. Terutama menyangkut dengan keadilan itu sendiri, karena keadilan adalah sesuatu nilai dan rasa yang bersifat nisbi. Apa yang dianggap adil bagi seseorang atau suatu kelompok, belum tentu dirasakan adil bagi orang lain atau kelompok tertentu, seolah-olah nilai dan rasa keadilan terbatas untuk suatu kelompok dalam suatu batas ruang dan waktu tertentu (for a particular people and particular time and place).
Saat ini semua orang dapat berbicara tentang penegakan hukum tetapi tidak semua dapat mendudukkannya dalam keadaan yang objektif, karena sebagian besar melihat dari sudut subyektifitas masing-masing tergantung dari mana perspektif orang tersebut memandangnya. Keadaan semacam ini berpotensi membahayakan eksistensi hukum dan penegakannya itu sendiri. Penegakan hukum seolah tersandera dan dipaksa untuk memperhatikan dan bertitik tolak dari sudut pandang masing-masing orang yang berkepentingan. Setiap langkah aparat penegak hukum diminta memperhatikan dan berdiri di atas kepentingan individu atau pun kelompok golongan satu persatu.
Upaya penegakan hukum secara obyektif dapat kalah dengan isu publik yang dikemas dalam pemberitaan informasi yang negatif, sehingga seringkali hukum harus dikorbankan demi memenuhi rasa keadilan menurut masing-masing orang yang berkepentingan. Padahal menurut Soerjono Soekanto, hukum dan penegakan hukum merupakan sebagian faktor penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan, karena jika diabaikan akan menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapkan. Secara tegasnya, jangan sampai proses penegakan hukum dilakukan dengan cara yang melanggar hukum.
Adanya krisis kepercayaan terhadap penegakan hukum di Indonesia ini tentunya harus segera dipulihkan. Masyarakat tampaknya sudah terdoktrin dengan kata-kata “hukum hanya tajam ke bawah”, sehingga masyarakat cenderung jenuh dan putus asa terhadap proses penegakan hukum yang dinilai tidak mencerminkan rasa keadilan. Hal tersebut memunculkan fenomena “hukum masyarakat” yang sebenarnya lebih mencerminkan sikap arogansi namun justru dianggap lebih adil dan obyektif bagi masyarakat.
Tidak jarang para pelaku kejahatan oleh masyarakat diadili sendiri tanpa melalui prosedur hukum, baik melalui peradilan fisik atau pun peradilan opini. Selain itu sikap protes yang menunjukkan keberanian berlebihan terhadap aparat penegak hukum tidak jarang menimbulkan gesekan dan kejadian anarkis yang akhirnya terkesan merendahkan wibawa penegakan hukum itu sendiri. Kejadian semacam ini tidak lepas dari adanya dua benturan kepentingan, yaitu kepentingan penegakan hukum untuk kepastian hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan, dan kepentingan penegakan hukum untuk kepentingan keadilan dalam masyarakat.
Paradigma Hukum Progresif
Saat ini publik menginginkan penegakan hukum yang tidak selalu kaku dan saklek dengan bunyi peraturan perundang-undangan, tetapi lebih kepada hukum yang mengalir. Adanya reorientasi cara pandang publik terhadap penegakan hukum seperti ini tentunya harus dibarengi dengan aparat penegak hukum yang responsif untuk mewujudkan penegakan hukum yang tidak hanya menggunakan teori formal-positivistis.
Keadaan semacam ini relevan dengan tulisan Prof. Satjipto Rahardjo tentang “Hukum Progresif” yang bertujuan mewujudkan alternatif bagi pendekatan dominan dalam interpretasi hukum di Indonesia, yaitu pendekatan yang dianggap formalistik dan kurang memperhatikan substansi keadilan. Prof. Satjipto Rahardjo menjelaskan bahwa kepastian hukum terlalu didewakan, padahal seharusnya hukum lebih manusiawi, akar masalah dari situasi ini bersumber dari keadaan hukum tertulis sendiri, yang dengan gampang akan menghasilkan tragedi hukum.
Aparat penegak hukum dituntut untuk tidak sekedar melaksanakan tugasnya dengan hanya bertumpu pada satu kaki melalui pendekatan undang-undang saja, dengan asal sekedar memenuhi unsur ketentuan bunyi pasal maka dikatakan sudah terpenuhi semua syaratnya. Aparat penegak hukum sekarang harus juga menggunakan pendekatan kasus dengan menelaah beberapa kasus untuk bahan referensi, serta pendekatan konseptual dengan beranjak dari pandangan dan doktrin yang berkembang yang nantinya dapat melahirkan ide dan konsep hukum yang relevan.
Sejatinya aparat penegak hukum diminta untuk tidak hanya terpaku pada norma hukum apa yang dilarang atau dianjurkan, tetapi diminta berpikir lebih jauh lagi sampai ke batas akibat apa yang dapat ditimbulkan dari penegakan hukum terhadap larangan atau pun anjuran norma hukum tersebut. Para aparat penegak hukum diharapkan bisa mendobrak paham positivisme yang kaku dengan lebih mengedepankan nilai-nilai keadilan dan hati nurani namun tetap dalam koridor hukum yang berlaku.
Konstruksi Baru Penghentian Penuntutan
Sebagai manifestasi konkrit dari sebuah reposisi paradigma pemidanaan bukan untuk pembalasan melainkan sebagai pemulihan, baru-baru ini Kejaksaan melakukan langkah strategis dengan mengeluarkan Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif yang diundangkan tepat pada Hari Bhakti Adhyaksa (HBA) tanggal 22 Juli 2020.
Peraturan ini sebagai substansi hukum (legal substance) diformulasikan untuk mengeliminasi paham rigid positivistik dengan lebih mengedepankan hukum progresif berlabel keadilan restoratif (restorative justice). Adapun keadilan restoratif merupakan penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan.
Di dalam ketentuan kitab induk hukum pidana formil (KUHAP), tidak semua penegakan hukum harus berakhir di pengadilan. Kriteria dalam hal tidak terdapat cukup bukti, atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana, atau pun perkara ditutup demi hukum, maka Penuntut Umum menghentikan penuntutan dengan menuangkan dalam Surat Ketetapan. Perkara ditutup demi hukum dapat disebabkan karena terdakwa meninggal dunia, perkara daluwarsa, nebis in idem¸atau pun delik aduan yang ditarik kembali dalam batas waktu yang ditentukan.
Secara normatif memang tidak ada alasan penghentian penuntutan karena keadilan restoratif dalam peraturan setara undang-undang, namun demikian secara faktual ungkapan ubi societes ibi ius yang berarti dimana ada masyarakat disitu ada hukum membawa konsekuensi bahwa hukum harus terus berkembang sebagaimana perkembangan masyarakat. Tidak terkecuali dengan ketentuan peraturan proses penegakan hukum pidana yang menjadi dasar aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugas hukum formilnya tentunya dituntut untuk terus relevan dengan perkembangan masyarakat sehingga klausul-klausulnya pun harus terus disesuaikan.
Penghentian penuntutan karena keadilan restoratif dalam Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020 masuk dalam kategori perkara ditutup demi hukum dengan syarat-syarat yaitu tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, tindak pidana tersebut hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun, dan tindak pidana tersebut dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan tidak lebih dari dua juta lima ratus ribu rupiah.
Selain itu kedudukan perkara atau pun keadaan secara kasuistis dapat menjadi pertimbangan dengan memperhatikan telah ada pemulihan kembali pada keadaan semula yang dilakukan oleh tersangka dengan cara mengembalikan barang yang diperoleh dari tindak pidana kepada korban, mengganti kerugian korban, mengganti biaya yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana, dan/atau memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana, telah ada kesepakatan perdamaian antara korban dan tersangka, serta masyarakat merespon positif.
Adapun penghentian penuntutan karena keadilan restoratif dikecualikan terhadap tindak pidana terhadap keamanan negara, martabat Presiden dan Wakil Presiden, negara sahabat, kepala negara sahabat serta wakilnya, ketertiban umum, dan kesusilaan, tindak pidana yang diancam dengan ancaman pidana minimal, tindak pidana narkotika, tindak pidana lingkungan hidup, dan tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi.
Pengaturan penghentian penuntutan karena keadilan restoratif secara tegas dalam sebuah Peraturan Kejaksaan menjadi pijakan bagi komponen sistem hukum berikutnya yaitu struktur hukum (legal structure) dalam melaksanakan tugasnya. Jaksa sebagai aparat penegak hukum diminta untuk bisa mengedepankan nilai-nilai keadilan dan hati nurani namun tetap dalam jalur hukum yang berlaku. Hasil kerja dari struktur hukum itulah yang nantinya diharapkan membentuk pola pikir (mindset) hukum progresif yang dipercaya dalam masyarakat sebagai budaya hukum secara kausalitas dan berkesinambungan.
Selaras dengan gubahan populer quotes Jaksa Agung RI Bpk. Dr. ST. Burhanuddin bahwa hati nurani tidak ada dalam buku dan para Jaksa diminta untuk harus tetap memperhatikan rasa keadilan yang ada di masyarakat, maka Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif telah menjadi catatan konkrit sebuah langkah progresif Kejaksaan dalam penegakan hukum saat ini. Bravo Adhyaksa, terus bergerak dan berkarya.
***
*) Oleh: HANDOKO ALFIANTORO, S.H., M.Hum., Jaksa pada Kejari Situbondo/Tenaga Pengajar Pada FH Unars Situbondo/Mahasiswa S3 FH Unhas Makassar Beasiswa Badan Diklat Kejaksaan RI.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
***
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Sholihin Nur |