Kopi TIMES

Efektivitas Hukuman Mati Kasus Korupsi

Sabtu, 07 November 2020 - 03:22 | 331.42k
Rama Fatahillah Yulianto, Mahasiswa Taruna Politeknik Ilmu Pemasyarakatan (Sekolah ikatan dinas Kementerian Hukum dan HAM RI).
Rama Fatahillah Yulianto, Mahasiswa Taruna Politeknik Ilmu Pemasyarakatan (Sekolah ikatan dinas Kementerian Hukum dan HAM RI).
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTAKorupsi adalah sebutan bagi mereka yang melakukan perbuatan memperkaya diri yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara. Korupsi tidak selalu diperbuat oleh pejabat, tidak menutup kemungkinan seseorang yang statusnya biasa-biasa saja dapat melakukan perbuatan keji ini.

Hukuman korupsi sendiri diatur pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bahkan disempurnakan pada tahun 2020 yakni pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lantas apakah grafik tindak pidana korupsi menurun?

Advertisement

Dilansir melalui https://www.bps.go.id, Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) meningkat dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2020 ini tercatat IPAK Indonesia sebesar 3,84, dimana angka ini lebih besar dibandingkan tahun 2019 yang sebesar 3,70.

Bagaimana cara membaca IPAK? Perlu diketahui semakin nilai IPAK mendekati angka 5 maka masyarakat di negara tersebut semakin anti terhadap korupsi, begitu sebaliknya, jika mendekati angka 0 maka masyarakat di negara tersebut semakin permisif terhadap korupsi.

Selanjutnya kita bandingkan dengan angka Indeks Prestasi Korupsi (IPK) Indonesia, pada tahun 2020 tercatat sebesar 40, dimana negara Indonesia menduduki ranking 85 dari 180 negara. Prestasi yang cukup baik, dikarenakan meningkat dari tahun 2018 yakni berada di poin 38. Perlu diketahui untuk membaca IPK semakin mendekati angka 100 maka negara tersebut semakin bersih terhadap korupsi, begitupun sebaliknya, semakin mendekati angka 0 maka negara tersebut sangat korup.

Masyarakat tetap menilai korupsi harus diberantas hingga akar-akarnya, angka statistik tidak menjamin kedepannya akan semakin bersih, bisa saja semakin memburuk. Salah satu cetusan dari masyarakat adalah menghukum mati para koruptor di Indonesia, kita berusaha mengadopsi tatanan hukum di China, dimana mereka menghukum mati para koruptor di sana, selanjutnya apakah efektif?

Kasus korupsi di China naik 90% sekitar 18.000 orang lebih dituntut. Dilansir melalui Indoparameter, sekitar 84.9% menyetujui adanya hukuman mati bagi kasus narkoba, korupsi, pembunuhan, kekerasan seksual, dan terorisme (extraordinary crimes) dan 8.6% tidak menyutujui dikarenakan alasan melanggar HAM, tidak menimbulkan efek jera, dan ada metode lebih manusiawi.

Masyarakat kini dihadapkan oleh perasaan desperado, kita selalu dihadapkan kepada situasi dimana kejahatan terus berulang yang tak kunjung usai, dan masyarakat memilih cara yang praktis, singkat, dan cepat, di sisi lain hukuman mati dinilai perlu ditegakkan dikarenakan sebagai tindakan preventif bagi mereka yang berkeinginan melanggar hukum. 

Hukuman mati sendiri belum pasti akan menyelesaikan masalah korupsi di Indonesia, lantaran kita berkaca kepada kasus narkotika, meskipun dilegalkan hukuman mati peredaran narkotika tetap beredar di seluruh pelosok negeri. Karena mereka berpikiran mati ada di tangan Tuhan, semua yang bernyawa pasti akan mati, jadi sah-sah saja melakukan apapun yang mereka inginkan, hal ini membuat mereka tidak jera.

Apa hukuman yang lebih efektif? Indonesia adalah negara hukum, yang dibutuhkan saat ini adalah ‘kepastian hukum’. Pertanyaan selanjutnya, apakah nanti jika dilegalkan hukuman mati para Aparat Penegak Hukum akan berani untuk menjatuhkan hukuman mati kepada para koruptor? Karena hakim dalam memutuskan perkara berdasarkan alat dan barang bukti ditambah keyakinan dalam hatinya. Sedangkan jika kita berkaca kepada hal yang sudah terjadi, masih banyak mereka para koruptor yang berada di daerah dengan kasus yang sama, namun tidak mendapat hukuman yang sama seperti mereka yang tersorot oleh media. Hal ini yang perlu dibenahi khususnya dalam konteks ‘kepastian hukum’

Hukuman mati menuai kontroversi, terlepas akan dilegalkan atau tidak terkhusus bagi koruptor, Asset Recovery harus selalu diberikan kepada koruptor, penegak hukum perlu paham terhadap asset recovery. Asset Recovery adalah pengembalian asset negara yang telah dikorupsi, contohnya aset apa yang harus dikembalikan dan berada dimana saat ini, karena jika tidak dituangkan secara rinci dalam putusan pengadilan, itu akan sulit untuk dikembalikan.

KPK dan Aparat Penegak Hukum lainnya perlu mengetahui lebih dalam terkait Asset Recovery ini. Kepolisian pada tatanan pra ajudikasi dapat merampas aset-aset yang dimiliki oleh para koruptor di awal, sehingga ketika diputuskan pengadilan nanti tidak terlalu susah untuk mencari tahu dimana keberadaannya. Jadi kepastian hukum ini harus segera dilaksanakan mulai tatanan pra ajudikasi. Panduan ini sebenarnya telah tercantum dalam suatu kerja sama Mutual Legal Assistance (MLA). 

Hukuman mati sah-sah saja dijatuhkan karena korupsi sendiri termasuk kepada kejahatan luar biasa atau extraordinary crime. Namun dalam perumusannya perlu dipertegas dan lebih bijak lagi, melihat kondisi Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) kita saat ini sedang overcrowded apa tidak akan menambah masalah jika nantinya menyebabkan fenomena death row atau deret tunggu?

Hal yang utama adalah optimalisasi asset recovery, keadilan tidak melulu soal pemidanaan, terkadang kita harus lebih bijak dan lebih melihat suatu persoalan lebih luas demi kebaikan dan kesejahteraan bersama. berkaca dari angka statistik yang telah dituangkan, itu berarti upaya Aparat Penegak Hukum, KPK, BPK, dll sudah semakin baik, artinya tidak boleh terlena dan harus lebih baik lagi kedepannya dalam hal memerangi korupsi di Indonesia. 

***

*) Oleh: Rama Fatahillah Yulianto, Mahasiswa Taruna Politeknik Ilmu Pemasyarakatan (Sekolah ikatan dinas Kementerian Hukum dan HAM RI).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES