Menatap Asa Ketahanan Pangan Lewat Kelapa Sawit

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Ketahanan pangan nasional menjadi isu yang banyak diperbincangan di dalam menghadapi pandemi virus Covid-19. Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) memprediksi pandemi bisa menyebabkan krisis pangan tingkat dunia.
Masing-masing negara akan mengamankan stok pangannya untuk kebutuhan internal. Artinya negara penghasil beras seperti Thailand dan Vietnam cenderung tidak membuka ekspor beras hingga dua tahun ke depan.
Advertisement
Tidak ingin dikatakan terlambat dalam menangani isu pangan, Presiden RI Joko Widodo langsung menginstruksikan tiga menteri sekaligus untuk menciptakan kawasan food estate (lumbung pangan) di tengah pulau Kalimantan. Bukan hanya padi yang ditanam, melainkan juga ada umbi-umbian, kacang-kacangan, buah, dan sayur mayur.
Bagaimana dengan kelapa sawit? Sumber minyak goreng nabati yang paling banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia ini diakui atau tidak memainkan peran penting dalam menyediakan sumber pangan. Sawit juga disebutkan sebagai sebuah komoditas Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang disarankan PBB.
Layanan kesehatan dan fasilitas pendidikan bagi masyarakat perkebunan sawit. (FOTO: Dok. Indonesian Sustainable Palm Oil)
Adanya perkebunan sawit di Sumatra contohnya, telah banyak membantu keluarga miskin memperoleh sumber penghasilan baru. Sebuah laporan yang dirilis The European Commission (Komisi Eropa) menyebutkan bahwa para petani sawit memperoleh penghasilan sepuluh kali lebih banyak ketimbang petani yang membudidayakan tanaman lainnya.
Hari ini diperkirakan sekitar 40 persen area perkebunan di Indonesia dimiliki oleh dua juta petani sawit, baik skala besar maupun kecil. Pengentasan kemiskinan lewat sawit juga merupakan hal yang lumrah di Malaysia.
Diagram kandungan vitamin E pada lemak dan minyak nabati. (FOTO: Tangkapan layar materi BPDPKS/TIMES Indonesia)
Dalam peraturannya kebun sawit skala luas juga diwajibkan memberikan akses pendidikan dan layanan kesehatan yang layak bagi penduduk desa. Hal tersebut diatur untuk menjamin keluarga dan anak-anak pekerja kebun sawit mendapatkan standar kualitas hidup yang baik. Dengan demikian kesenjangan antara desa dan kota dapat ditekan.
Masyarakat desa tidak perlu silau akan kehidupan di kota. Investasi pada industri pangan diprediksi akan menjadi primadona di masa yang akan datang.
Logo Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). (Grafis: FOTO: bpdp.or.id)
Pada 2050 kebutuhan pangan dunia akan meningkat drastis seiring dengan tercapainya 10 miliar jumlah penduduk. Masih menurut FAO, 9,8 miliar kilogram pangan dibutuhkan setiap harinya untuk memenuhi kebutuhan manusia pada 2012. Apa kabar untuk 2025?
Organisasi pangan yang bermarkas di Roma Italia itu mengatakan, jika ingin kebutuhan pangan pada tahun 2050 terpenuhi maka produksinya harus ditingkatkan 60 persen lebih banyak dari yang sekarang. Jika dihitung-hitung, akan memerlukan 200,25 juta ton minyak nabati tambahan untuk memenuhi ketersediaan pangan warga dunia.
Menariknya, apabila warga dunia memilih minyak nabati asal sawit hanya dibutuhkan 54 juta hektar lahan pertanian. Sementara jika minyak nabati dihasilkan dari kedelai akan memerlukan 400 juta hektar lahan pertanian baru. Selain itu, minyak sawit paling efisien hasilnya dalam hitungan per hektar jika dibandingkan dengan tanaman minyak nabati lainnya. Kebutuhan pestisida dan pupuknya juga yang paling sedikit.
Petani melakukan proses panen di perkebunan kelapa sawit. (FOTO: bpdp.or.id)
Hal ini ditekankan bukan untuk mendeskritkan minyak nabati dari tanaman lain, namun lebih kepada menekankan bahwa sawit memiliki peran penting dalam isu ketahanan pangan nasional bahkan global. Dimana membuka lahan pertanian baru bukanlah perkara mudah di tengah makin padatnya penduduk dan perubahan iklim yang parah.
Jika sawit dinilai paling efisien dalam memenuhi kebutuhan pangan, bagaimana dengan kandungan gizinya?
Aspek fortifikasi atau pengayaan zat gizi pada pangan juga tidak boleh diabaikan dalam hal ini. Mengingat Indonesia merupakan salah satu negara dengan beban gizi ganda, sebagaimana laporan dari Global Nutrition Report (GNR) pada tahun 2018.
Maka dari itu untuk melakukan percepatan perbaikan gizi, pemerintah melakukan fortifikasi pada sejumlah pangan di Indonesia, seperti garam, tepung terigu, dan minyak goreng sawit.
Hasilnya, pada Februari tahun lalu Menteri Kesehatan RI Nila Moeloek merilis penurunan jumlah stunting dari 37,2% menjadi 30,8%. Namun demikian WHO tetap meminta angka stunting di bawah 20% bahkan nol.
Dr. Darmono Taniwiryono, MSc peneliti bioteknologi perkebunan sekaligus Ketua Umum Masyarakat Perkelapa-Sawitan Indonesia menyebutkan bahwa kandungan Betakaroten dalam Virgin Red Palm Oil (Minyak sawit merah alami) 15 kali lebih tinggi daripada wortel dan 30 kali lebih banyak dari tomat.
Selain itu kandungan vitamin E di dalamnya lebih banyak dibandingkan minyak nabati lainnya. Lemak jenuh dan lemak tidak jenuh pada Minyak sawit merah alami juga terhitung seimbang. Namun demikian, Darmono meminta masyarakat untuk menghindari konsumsi minyak jelantah, gunakan minyak sawit yang segar.
Pemerintah Indonesia sendiri nampaknya benar-benar serius menggarap komoditas yang satu ini. Buktinya pada tahun 2015 dibentuk Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Lembaga ini berada di bawah Kementerian Keuangan. Tugasnya menghimpun dan mengelola dana sawit dari pelaku usaha perkebunan untuk melaksanakan program pengembangan kelapa sawit yang berkelanjutan. Harapannya agar perkebunan sawit di Indonesia mampu membawa dampak yang signifikan bagi kesejahteraan masyarakat secara luas namun tetap mengutamakan aspek lingkungan.
Target produksi sebanyak 40 juta ton minyak sawit atau crude palm oil (CPO) serta 35 ton buah sawit segar atau fresh fruit bunches (FFBs) per hektare dengan tingkat ekstraksi 26% tertuang dalam visi 35:26. Maka sejalan dengan pemaparan di atas, boleh lah kita sebagai bangsa Indonesia menatap asa Ketahanan pangan lewat kelapa sawit. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |