Setali Rasa: Sastra Sebagai Model Berpikir Kreatif

TIMESINDONESIA, MALANG – Saat kita berkontemplasi mengenai satu hal penting dalam hidup termasuk masalah-masalah yang kita hadapi, maka tulisan adalah tempat kita berbagi pengetahuan dan pengalaman kepada orang lain secara utuh. Lantas bagaimanakah agar yang kita rasakan tersebut dapat ekspresif dan totalitas dirasakan oleh orang lain. Maka salah satu jawaban yang dapat ditawarkan ialah tulisan sastra.
Sastra dapat menjadi ekspresi pengalaman dan pengetahuan sekaligus ekspresi jiwa bagi seorang penulisnya. Pengetahuan dan pengalaman yang terdapat dalam sastra adalah dokumentasi personal yang memiliki sifat-sifat universal. Sifat-sifat universalitas dalam sastra karena di dalamnya memuat pesan-pesan simbolik yang sifatnya sangat luhur mengenai kesejatian kehidupan di masa lalu bahkan yang akan datang.
Advertisement
Sifat luhur dalam sastra menjadi penawar kegersangan jiwa, hiburan psikologi bagi pembaca. Unsur hiburan yang terdapat di dalamnya tidak hanya sekedar pelepas lelah, melainkan ‘nyanyian jiwa’ yang dapat berupa ilustrasi keindahan kehidupan dan terkadang berupa pemberontakan. Hiburan adalah ekspresi jiwa sejati seorang penulis yang dicitrakan dalam bentuk diksi, narasi, gaya bahasa, karakter, bahkan konflik yang terkadang bertolak belakang dari hal yang realistis.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Kelima citraan tersebut menjadi model berpikir seorang sastrawan yang digambarkan secara khas sesuai dengan retorika dan maksud yang dinginkan oleh penulisnya. Konsep model berpikir dalam sastra tersebut semakin memberikan ‘titik terang’ bahwa di dalam sastra terdapat pola yang fungsional untuk berbagai kepentingan. Model funsionalitas sastra yang paling utama adalah religiusitas.
Hal ini mengindikasikan bahwa seorang sastrawan adalah orang yang memiliki kedekatan dengan Tuhan dan sublimitas yang sangat tinggi di dalam mengenal sifat-sifat Tuhan. Sublimitas ketuhanan inilah yang menjadikan seorang sastrawan menuliskan pengalaman-pengalaman religiusitasnya ke dalam sebuah tulisan yang estetik. Meskipun pengalaman-pengalaman indah batinya tidak dapat diilustrasikan secara sempurna dalam diksi ataupun dalam narasi, tetapi gaya bahasa yang tampilkan dalam dua hal tersebut menjadi sebuah simbol bahwa yang bersangkutan pernah menyentuh alam spiritual tersebut.
Tidak banyak yang dapat diilustrasi oleh seorang sastrawan terkait dengan pengalaman batinya. Hal ini karena komponen diksi yang dimiliki ataupun yang tersedia tidak cukup menampung pengalaman batinya yang sangat dahsyat. Seorang Rabiah Al Adawiyah pernah mencapai maqam tertinggi dalam spiritualitas sufinya, hanya diwakili dengan sebuah kalimat. “Andai cintaku di sisi-Mu sesuai denga napa yang kulihat dalam mimpi, berarti umurku telah terlewati tanpa sedikitpun memberi makna”.
Aspek fungsionalitas tersebut sebenarnya tidak hanya sekedar bernuansa religius, namun juga bernuansa pendidikan bagi para pembacanya. Rabiah adalah sosok representatif seoragn sufi yang mempu membahasakan pengalaman batinya dengan keterbatasan diksi yang indah. Oleh karena itu, sebuah karya sastra yang dibangun dari kepekaan batin dan pikiran biasanya akan menjadi lintera pengatahuan. Berbagai hal yang terkait dengan pengatahuan sebenarnya terdapat dalam sebuah karya sastra, namun kita sebagai pembaca sangat enggan untuk merenungkan masing-masing maknanya.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGIwww.unisma.ac.id
Moral dan keindahan sekaligus hiburan juga menjadi bagian dari lingkup funsionalitas sastra. Keindahan dari segi bentuk dan gaya retorika penulisan, bahkan pada unsur-unsur yang lain menjadi satu-kesatuan yang memberikan hiburan dan ketentraman batin bagi pembaca. Namun, apakah pada sisi yang lain, penulis merasakan kepuasan karena telah berhasil memberikan pencitraan pengalaman dan pengetauannya ke dalam sebuah tulisan. Hal ini, tetap menjadi misteri yang tidak dapat dipersentasi karena sastrawan adalah orang yang selalu kehausan pengetahuan dan pengalaman.
Dengan demikian, sastra sebagai model berpikir para sastrawan dapat dilihat dari tigas bentuk, yaitu (a) kreatifitasnya, (b) inovasinya, dan (c) gaya demokrasinya. Sastra sebagai model kreasi seorang sastrawan dapat berupa ‘white-head’ dan kreatifitas yang bernuansa daya cipta. Model-model penciptaan sastra oleh seorang sastrawan adalah sebuah benturan antar entitas dalam proses ‘subjektivitas’ dan ‘objektivitas’. Dua bentuk ini menjadi medan yang saling Tarik-menarik pada proses penciptaan karya sastra.
Satu sisi medan seorang penulis berada pada sisi subjektivitasnya dalam mengilustrasi alam dan fenomena mengguakan imajinasinya. Namun, pada sisi yang lain, di berada dalam medan objektivitasnya di mana harus mendokumentasi alam dan peristiwa-peristiwa yang dilihatnya secara sempurna. Oleh karena itu, bentuk yang pertama ini akan menjadi gaya kreasinya sehingga karyanya sangat berbeda dengan orang lain, sedangkan pada sisi yang kedua adalah imitasi karya-karyanya yang hampir sama dengan karya orang lain.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Bentuk entitas dari berpikir subjektif ini, selain dapat menghasilkan hal-hal yang baru atau inovasi dalam sastra juga dapat menjadi medan inspirasi bagi banyak orang. Hal ini karena kebaruan-kebaruan yang terdapat dalam karyanya dapat dinilai oleh pengarang lain dari sudut pandang yang berbeda. Hal inilah yang nantinya akan menjadi kekayaan informasi bagi masyarakat pembaca secara umum. Dengan kata lain, masyarakat pembaca dapat melihat satu peristwa dari berbagai sisi dan pola pikir yang berbeda.
Selain kedua hal di depan, sastra sebagai model berpikir seseorang dapat diidentifikasi dari gaya demokrasi yang dicitrakan. Gaya demokrasi dalam pandangan ini adalah model penghargaan atau menghargai identitas pihak atau pengarang yang lain dalam sebuah tulisan yang sesubstansial. Dalam pandangan Baktin konsep terakhir ini lebih dikenal dengan istilah ‘alteritas’. Konsep alteritas dalam sastra adalah sikap pluralistik di mana nilai persahabatan tetap menjadi tali yang sangat kuat meskipun terjadi perbedaan sudut pandang dalam banyak hal. Ayo menulis. ***
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
*)Penulis: Moh. Badrih, Kaprodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Islam Malang, Pengurus Pusat Asosiasi Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (ADOBSI), dan Pengurus LP Maarif Kabupaten Malang
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Dhina Chahyanti |
Publisher | : Rochmat Shobirin |