Kopi TIMES

Melacak Jejak 3 Kiai Blitar di Banda

Minggu, 14 Maret 2021 - 09:30 | 216.27k
Rijal Mumazziq Zionis adalah Rektor Institut Agama Islam al-Falah Assunniyyah (INAIFAS) Kencong, Jember dan pecinta buku.
Rijal Mumazziq Zionis adalah Rektor Institut Agama Islam al-Falah Assunniyyah (INAIFAS) Kencong, Jember dan pecinta buku.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, BANDA NEIRA – "[D]ua orang anggota Sjarikat Islam lainnya dibuang ke Banda Naira tidak lama setelah pemberontakan yang gagal melawan Belanda pada 1926, tetapi kemudian mereka dibebaskan dan dikembalikan ke Jawa."

Des Alwi, "Sejarah Banda Naira" (hlm.255-256)

Advertisement

***
Di buku karyanya, sejarawan dan dokumentator ulung tersebut menyebut Neira dengan Naira. Apa bedanya? Naira itu semakna dengan nur, cahaya dalam bahasa Arab. Banda yang Bercahaya. Sengaja saya pakai Naira, karena selain doa, juga menjauhkan dari bias kolonialisme yang menyebutnya dengan Neira. Demikian alasan Om Des, saat akademisi kelahiran Banda Neira, Muhammad Farid, bertanya di pengujung tahun 2005, tatkala menjadi editor buku tersebut.

Di buku itu pula, Om Des mencatat kedatangan dua anggota Sjarikat Islam ke Banda Neira. Walau tidak menyebut nama, namun besar kemungkinan dua orang ini adalah Kiai Muhammad Bukhori dan Kiai Abdullah Faqih. Dua ulama Blitar yang diasingkan ke pulau cantik itu. Ada satu nama lagi, sebenarnya, yang tidak masuk hitungan Om Des. Namanya Kiai Shofwan, putra Kiai Bukhori. Mengapa tidak dihitung? Sebab, statusnya "menemani" ayahnya yang usianya menjelang senja.

Sebagaimana ulasan kemarin, di Monumen Parigirante, terdapat 3 nama ulama Blitar yang dibuang di Banda Neira. Kiai Imam Bukhori dan anaknya, Kiai Shofwan, keduanya dari Jatinom, Kanigoro; serta Kiai Abdullah Faqih, Plosokerep, Sanan Wetan. Nama-nama mereka tertera berjajar dengan para pendiri bangsa, juga para ulama dan bangsawan dari Aceh, Palembang, Minangkabau, Pontianak dan Tondano yang pernah dibuang di pulau ini.

Wajah Kiai Imam Bukhori ada di salah satu bersama HOS. Tjokroaminoto dalam Vergadering De Sarekat Islam (Semacam Silaturrahmi Nasional)  di Blitar tahun 1914. Foto itu didokumentasi oleh GAJ Hazeu, seorang penasehat Pemerintah Kolonial Belanda untuk urusan pribumi. Aura wajahnya kuat berwibawa. Kumis mbaplangnya juga mendukung kharismanya. Dugaan awal, Kiai Imam Bukhori ini yang menjadi salah satu guru spiritual dan mentor diskusi Pak Tjokro. Untuk menjauhkan relasi keduanya, Belanda membuang Kiai Bukhori ke Banda Neira. Sepulang dari pembuangan, Kiai Imam Bukhori melanjutkan kiprah pendidikan dakwahnya di pesantren. Untuk mengenang pulau indah tempatnya diasingkan, beliau membawa 6 pasang bibit pala, rempah yang melambungkan reputasi Banda selama beberapa abad. Sepasang ditanam di Istana Gebang Blitar (Rumah Bung Karno), satu pasang ditanam di kerabat di Blitar, dan sepasang ditanam di pelataran pesantren. Dan, hingga saat ini, pohon tersebut masih ada. Bahkan pohon pala dimasukkan dalam logo pesantren.

Tjokroaminoto.jpgKiai Bukhori duduk berbaju putih. HOS. Tjokroaminoto duduk di sampingnya.

Di Banda Neira, Kiai Imam Bukhori berkawan dengan Hatta, Sjahrir, dr.Tjipto Mangunkusumo dan Iwa Kusumasumantri. Dua tokoh penggerak kemerdekaan bangsa.

Dalam memoar berjudul "Bersama Hatta, Sjahrir, dr. Tjipto dan Iwa K. Sumantri", Des Alwi menulis cerita seorang kiai sepuh dari Jawa yang membuatkan rak buku untuk Oom Tjip, sapaan akrab Dokter Cipto. Kiai sepuh itulah Kiai Imam Bukhori dan Kiai Abdullah Faqih.


"....[P]ada suatu hari, kami mendapatkan kunjungan dua orang lelaki sepuh, yang ternyata sesama orang buangan yang dihukum ke Banda jauh sebelum Oom Tjip. Mereka orang sederhana yang berbahasa Jawa dan Indonesia. Kami memanggil yang tertua dengan sebutan Pak Kiai. Beliau mengunjungi kami secara teratur. Ketika tanpa sengaja melihat tumpukan kayu papan bekas peti yang telah dibongkar, pak kiai menawarkan diri untuk membuat rak-rak buku dan lemari sederhana dari kayu bekas semampunya. 

Maka dinding-dinding kosong itu segera dipenuhi buku-buku milik Oom Tjip. Sayang sekali beban buku-buku itu terlalu berat bagi rak-rak sederhana itu. Iya juga membuat beberapa buah kursi dan sebuah meja. Hasil karyanya memang agak kurang stabil, namun maksudnya baik. Oom Tjip menghubungi kawan-kawannya di Jawa dan kira-kira satu tahun kemudian kedua orang buangan itu kembali ke Jawa."

Peristiwa yang diingat baik oleh Des Alwi, anak angkat Bung Sjahrir, tersebut terjadi kurang lebih pada 1937. Tentu Kiai Imam Bukhori sudah sepuh, karena ketika dibuang pada 1928, Kiai Bukhori sudah berusia 75 tahun, sedangkan Kiai Abdullah Faqih berumur 60 tahun. Catatan berita pengasingan ini dimuat dalam koran Hindia Belanda, De Koerier, pada 12 April 1928, dan De Indische Courant, pada 24 April 1928.

Dalam catatan arsip Belanda, kedua ulama ini disebut dengan nama Hadji Imam Boekari alias Hadji Mohammad Imam dan Hadji Abdulah Faqih alias Hadji Doellah Pekih. 

Karena usia dua kiai yang sudah sepuh inilah yang menjadikan Kiai Shofwan, yang usianya  masih 20 tahun, memutuskan ikut mendampingi ayahnya, Kiai Imam Bukhori, di pengasingan.


Menurut (Alm.) Gus Fahmi, cicit Kiai Bukhori yang menerima cerita tutur dari ibunya, Nyai Hafshoh yang mendapatkan cerita dari ayahnya, KH. Shofwan, buyutnya pernah diajak oleh KH. M. Hasyim Asy'ari untuk bergabung di awal pendirian NU, tetapi beliau menolak halus karena masih fokus dan dalam gerakan politik Sarekat Islam saat itu. 

Namun demikian Kiai Bukhori berjanji, bahwa kelak anak cucunya yang akan berkhidmah di NU. Dan terbukti, sepulang dari mendampingi ayahnya di pengasingan, Kiai Shofwan mondok walaupun tidak lama (tabarrukan) di Tebuireng. 

Ketika NU menjadi partai pada 1955, Kiai Shofwan menjadi pendiri Partai NU di Blitar bersama KH. Muhsin dan KH. Ridwan serta menjadi tokoh utama Partai NU di Blitar. 

Tidak cukup itu saja, Kiai Shofwan "mewakafkan" tiga anaknya yang masih bocah, yaitu Hafshoh (9 tahun) Muhtarom ( 7 tahun), dan Muhaimin (6 tahun) menjadi jurkam cilik keliling kampanye politik hingga Banyuwangi dan Jawa Tengah. 

Dalam safari kampanye yang berlangsung beberapa hari dalam satu putaran, para jurkam cilik putra-putri Kiai Shofwan ini selalu mendapatkan "bisyarah" alias "salam tempel" disetiap titik dari panitia. Ketika pulang ke Blitar dari roadshow tadi,  uang yang terkumpul jumlahnya sangat banyak lalu diserahkan pada Kiai Shofwan yang  lantas menyalurkannya ke Pengurus Partai NU di Blitar untuk dana kas organisasi, tanpa mengambil satu rupiahpun untuk kepentingan pribadi.  Pendidikan politik sejak dini yang asyik!

Di kemudian hari anak-cucu Kiai Imam Bukhori  juga berkhidmah di NU, khususnya Bu Nyai Hafshoh, yang menjadi tokoh sentral Muslimat NU di Blitar.

Lalu, mengapa Kiai Imam Bukhori melakukan perlawanan hingga ditangkap? Apa motifnya? Bagaimana citra dirinya dalam catatan arsip kolonial Hindia Belanda? Ikuti ulasan saya besok.

(Bersambung)

*) Penulis Rijal Mumazziq Zionis adalah Rektor Institut Agama Islam al-Falah Assunniyyah (INAIFAS) Kencong, Jember dan pecinta buku.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Dody Bayu Prasetyo
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES