Pendidikan Islam dalam Pandangan Salafi di Pondok Pesantren As-Salafiyah Medan

TIMESINDONESIA, MALANG – Pesantren adalah pusat pengajaran Islam tradisional yang mengajarkan al-Quran dan al-Hadist serta kitab-kitab klasik, dipimpin ulama yang disebut kiai, dan berfungsi membentuk para santri bertaqwa kepada Allah. Oleh karenanya, sistem pendidikan pondok pesantren as-Salafiyah yang ada di Medan dirancang dengan mengedepankan pencapaian substansi nilai keagamaan yang diinteralisasikan ke segenap santri.
Bahkan ponpes juga menjalankan sistem pendidikan tidak memandang sebagai suatu proses pengajar, tetapi suatu dakwah yang diarahkan pada dua varian besar, yaitu proses tashfiyah (penyucian) diri dari perkara yang mungkar, maksiat dan berbau bidah, dan proses tarbiyah (pendidikan) dengan mendidik dan mengajar.
Advertisement
Di sisi yang lain, dasarkan doktrin keagamaan pada ajaran salafi dalam kitab al-Ushul ats-Tsalasah karya Syekh Muhammad bin Abdul Wahab. Bahkan cenderung ekstrim menekankan ajaran pendidikannya pada konsep antibidah, syirik dan lainnya dengan menambah kitab-kitab rujukan salafi seperti Kitab al-Ushul ats-Tsalatsah, Riyadhush Sholihin, Minhajul Muslim, Tafsir al-Muyassar, Shahih Fiqh Sunnah, Sirah Nabawiyyah, dan lain-lain.
Dari latar belakang tersebut, Gunawan yang salah satu mahasiswa program Doktor Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang mengangkatnya menjadi sebuah penelitian disertasi dengan tujuan untuk mencoba memahami dan mendeskripsikan konsep serta pengembangan pendidikan Islam dalam pandangan salafi di pondok pesantren as-Salafiyah Medan.
Penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif dan jenisnya studi kasus dengan rancangan satu situs ini mendeskripsikan bahwa dalam mengembangkan sistem pendidikan Islam, kaum salafi tidak akan pernah keluar dari dasar normatif tekstualitas teks-teks al-Quran dan al-Hadis.
Pengembangan sistem pendidikan Islam saat ini telah tertutup, disebabkan ijtihad tidak diperlukan pada saat ini. Sumber pendidikan Islam hanya al-Quran dan Sunnah yang dapat dipahami secara literal, sehingga mereka memposisikan ijtihad sebagai metode, bukan sebagai sumber sistem pendidikan Islam.
Jika ada perselisihan pandangan terhadap konstruksi kependidikan Islam terlebih terkait dengan pemikiran para ahli, maka mereka mengambil konstruksi sesuai dengan makna tekstual al-Quran dan al-Hadis.
Penafsiran tunggal atas teks secara literal dan menekankan pemahaman terhadap teks-teks keagamaan tanpa memperdulikan proses (latar belakang) sejarah yang melahirkan teks tersebut. Bisa dikatakan, hal ini termasuk dalam mengkonstruksi pendidikan Islam di mana sangat mementingkan makna tekstualitas teks, sehingga ia lebih menekankan operasional makna teks-teks yang fokusnya hanya pada aspek bahasa.
Wajar jika tradisi keilmuan pendidikan Islam yang dikembangkan dan ditekankan di pesantren salafi cenderung pada otoritas teks dan membatasi peran akal, sehingga relatif tidak berminat untuk mengembangkan keilmuan yang berorientasi pada dimensi kemanusiaan (humaniora atau sosial) atau kealaman (eksakta).
Tidak heran apabila mereka menolak modernisasi yang didegungkan Barat, namun mereka menerima untuk menggunakan teknologi sebagai produk ilmu pengetahuan di dalam pembelajaran pesantren. Oleh karenanya, para santri pesantren salafi tampil dengan corak ketradisionalannya yang terdorong oleh spirit ingin membawa masa kini ke masa lalu. Atau paling tidak mereka ingin menerjemahkan nilai-nilai kebudayaan Arab di tengah-tengah kehidupan mereka melalui tata kependidikan pesantren.
Tidak heran apabila pengembangan pendidikan Islam yang kaum salafi lakukan tidak lepas dari sikap purifikasi. Sikap ini memang merupakan jalan hidup kaum salafi yang dipegang sangat kuat dan diterjemahkan dalam bentuk amalan keagamaannya.
Pemikiran pendidikan Islam, terlebih lagi keberagamaannya sangat literalistik dan secara tegas menolak adanya pembaharuan (inovasi) pada seluruh doktrin (kependidikan dan keberagamaan) Islam.
Pengembangan kurikulum pendidikan Islam diwujudkan berlandaskan aqidah salafi wahabi yang terbebas dari segala intervensi luar terutama yang tidak sejalan dengan ideologi salafi. Semua pembelajaran berbasis kitab kuning yang dikodifikasi oleh ulama-ulama salafi pada abad-abad awal perkembangan peradaban Islam.
Salah satu contohnya di Pondok Pesantren as-Salafiyah Medan, mereka menggunakan kitab-kitab klasik produk ulama-ulama salaf (as-salaf as-shaleh).
Akan tetapi, kitab-kitab tersebut memuat nilai ideologis kaum salafi, kitab-kitab tersebut antara lain materi pembelajaran akidah mengacu pada kitab Syarah Al-Ushul Ats-Tsalatsah karya Syaikh Al-Utsaimin dan kitab Khudz Aqidataka karya Muhammad bin Jamil Zainu, materi pembelajaran akhlak yang dipakai kitab Rasail Fii Ath-Thaharah wa Ash-Sholat karya Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, kitab Arkan Al-Islam wa Al-Iman karya Muhammad bin Jamil Zainu, dan kitab Ad-Durar Al-Bahiyyah karya Imam Asy-Syaukani, materi pembelajaran fikih memakai kitab Al-Adab Al-Mufrad karya Imam Bukhari, materi pembelajaran al-Hadis menggunakan kitab al-Arbain An-Nawawiyah karya Imam An-Nawawi dan kitab Riyadh Ash-shalihin karya Imam An-Nawawi.
Adapun materi pembelajaran ke-manhaj-an memakai kitab Ushul As-Sunnah wa Al-Itiqad Ad-Din karya Imam Abi Hatim; dan untuk materi pembelajran tafsir memakai kitab Tafsir Al-Karim Ar-Rahman karya Imam As-Saadi. Namun, dasar teologis gerakan keagamaannya, termasuk juga pola kependidikannya yang bersumber dari sejumlah sarjana salafi klasik, termasuk Ahmad ibn Hanbal (780-855), Ahmad ibn Taimiyyah (1263-1328), dan Muhammad ibn Qayyim al-Jawziyya (1292-1350).
Pada dasarnya, penentuan struktur kurikulum pesantren salafi tersebut sama dengan pola yang dilakukan oleh pesantren-pesantren lainnya. Kurikulum yang dirancang tersebut lazimnya ditentukan langsung oleh pengasuh —yang biasa disebut kyai.
Perbedaan antara pesantren salafi dengan pesantren lainnya yang paling mencolok terletak pada muatan ideologis yang terintegrasi dalam materi dan manhaj pendidikan keagamaan dengan menggunakan literatur kitab-kitab klasik.
Mereka sangat selektif dalam menyaring kitab-kitab as-salaf as-shalih untuk digunakan sebagai referensi pesantren, dikarenakan kekhawatiran adanya pencampuran manhaj salafi dengan teologi Asyariyah, isme Syiah, atau bahan teologi liberal.
Konsekuensinya, materi pendidikan yang berkembang hanya pada ranah keilmuan keagamaan dengan tetap memuat unsur ideologi salafi. Mereka mempunyai keyakinan jika cita idealitas mereka akan terwujud melalui proses pendidikan (tarbiyah) dan purifikasi (tashfiyah) yang terancang secara sistemik dan gerakannya masif.
Dengan demikian, pendidikan Islam bisa dikatakan pada saat ini tengah menghadapi menguatnya rivalitas ideologi salafi yang terus membentuk jaringan kelembagaan.
Dari hasil penelitian diatas dapat ditarik kesimpulan dimana konsep pendidikan Islam terwujud dari upaya penafsiran melalui pengukuhan terhadap metode tekstualitas skriptualis dalam memposisikan teks-teks keagamaan Islam (al-Quran dan as-Sunnah).
Sehingga program kependidikan terikat internalisasi nilai teologis dan ideologis salafi yang berpegang kuat pada makna tekstualitas skriptualis. Wajar keilmuan pesantren salafi meruntuhkan keangkuhan rasionalitas dan modernitas.
Karenanya, pendidikan Islam muncul berdasarkan paradigma perenialis-tekstualis dari teks-teks normatif doktrin Islam (wahyu Tuhan dan Sunnah nabi Muhammad (al-Quran dan al-Hadist)) sebagai ontologiknya.
Dan kedua, pengembangan pendidikan Islam hanya dimunculkan dari kerangka dasar intepretasi tekstual skriptual yang meminimalisir kinerja rasio.
Karenanya, mereka tidak berminat mengembangkan keilmuan kemanusiaan (humaniora atau sosial) atau kealaman (eksakta), dan mereka menolak adanya pembaharuan (inovasi) pada doktrin (kependidikan dan keberagamaan) Islam. Kurikulum yang didesain berlandaskan aqidah salafi-wahabi yang bebas dari intervensi luar (seperti perilaku hizbiyyah (fanatik golongan)).
Inilah yang dikatakan sebagai model pendidikan salafi-neotradisional; dengan karakteristik tekstualis, skriptualis, dan pasif terhadap makna teks keagamaan. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Deasy Mayasari |
Publisher | : Rochmat Shobirin |