Perubahan Iklim, Tantangan Dan Ancaman Terbesar Dunia Setelah Covid-19

TIMESINDONESIA, MALANG – Sudah setahun lebih pandemi Corona Virus Disease 19 (Covid-19) menghantui negara Indonesia, Covid-19 merupakan tantangan dan ancaman terbesar bagi seluruh negara di dunia. Selain Covid-19, sejatinya yang harus menjadi perhatian serius juga yaitu terdapat tantangan dan ancaman besar lain berupa Perubahan Iklim (Climate Change). Climate change atau perubahan iklim merupakan suatu fenomena yang tidak dapat dihindari saat ini.
Perubahan iklim hadir sebagai suatu bentuk fenomena kerusakan lingkungan yang memiliki dampak pada hampir setiap bidang kehidupan yang mengancam eksistensi kehidupan manusia, baik pada tataran lokal, nasional maupun pada tataran global. Beberapa dampak umum yang diakibatkan dari adanya perubahan iklim antara lain menipisnya lapisan ozon, meningkatnya pemanasan global (global warming) yang diakibatkan oleh kenaikan emisi Gas Rumah Kaca (GRK), kenaikan permukaan laut (sea level rise), gletser yang mencair, dan dampak-dampak lainnya yang memberi pengaruh terhadap segala aspek kehidupan.
Aspek lingkungan, menjadi salah satu bidang yang kerap menjadi perhatian dalam perkembangan isu perubahan iklim. Munculnya berbagai peristiwa alam menggambarkan bahwa isu perubahan iklim merupakan hal yang nyata. Sektor pertanian, kehutanan dan penggunaan lahan (agriculture, forestry and land-use) menjadi sektor yang paling sering mencatat terjadinya peristiwa alam, diantaranya kebakaran hutan dan lahan serta banjir. Peristiwa-peristiwa alam ini cukup sering terjadi di Indonesia.
Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 23 Februari 2021 telah mengeluarkan press release yang berjudul “Climate Change ‘Biggest Threat Modern Humans Have Ever Faced’, World-Renowned Naturalist Tells Security Council, Calls for Greater Global Cooperation.” Dalam press release tersebut disampaikan bahwa Perubahan iklim adalah pengganda krisis yang memiliki implikasi mendalam bagi perdamaian dan stabilitas internasional.
Dalam menangani isu perubahan iklim tersebut, pada tingkat internasional telah menyepakati untuk menerapkan langkah Mitigation and adaptation (M&A). Dalam beberapa tahun terakhir, integrasi strategi M&A sebagai cara baru untuk implementasi solusi mengatasi variabilitas iklim telah sangat diakui di tingkat internasional. Kaitan dan sinergi antara M&A perubahan iklim telah diakui pula dalam Paris Agreement (2015), Paris Agreement merupakan perjanjian internasional hasil dari pertemuan Conference of the Parties (COP) ke-21 yang dilaksanakan di Paris, Perancis, tahun 2015. Conference of the Parties (COP) merupakan suatu badan yang dibentuk oleh The United Nations Framework Convension on Cliimate Change (UNFCCC), dimana Conference of the Parties (COP) memiliki tugas untuk mengawal pelaksanaan konvensi, mengawasi para pihak (negara) dalam menjalankan kewajibannya dalam konvensi, memberikan fasilitas pertukaran informasi antar negara, memberikan rekomendasi kepada para pihak, dan membentuk lembaga-lembaga pendukung bila diperlukan.
Paris Agreement pada hakikatnya mencerminkan kesetaraan para pihak, baik negara berkembang maupun negara maju, dalam melaksanakan prinsip common hut differentiated responsibility sesuai dengan keadaan dan kondisi masing-masing negara. Dalam Paris Agreement ini terdapat kewajiban negara untuk mensubmisi dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) kepada Sekretariat UNFCCC sebagai bentuk komitmen negara peserta dalam menurunkan (Gas Rumah Kaca) GRK. NDC ini mewakili komitmen nasional negara-negara peserta Paris Agreement untuk turut serta dalam upaya mengurangi emisi GRK yang disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan masing-masing negara.
Berdasarkan pemaparan diatas, perubahan iklim di tingkat internasional menjadi pembahasan yang sangat serius selain soal pandemi Covid-19. Perubahan iklim menjadi tantangan dan ancaman serius dunia internasional saat ini.
Sebagaimana pendapat Xie Zhenhua, dalam press release Dewan Keamanan PBB 23 Februari 2021 yang merupakan utusan khusus China dalam pembahasan Perubahan Iklim mengatakan bahwa:
“Bahkan sebagai iklim global pemerintahan memasuki fase baru dan krusial, penyebaran COVID-19 menjadi ancaman serius bagi respon global. Mengingat perbedaan dalam tanggung jawab historis dan tingkat perkembangan antara serikat, ia menggarisbawahi prinsip tanggung jawab bersama tetapi berbeda dan mendesak dikembangkan bangsa untuk memimpin. Dalam membangun kembali setelah pandemi, negara harus menghormati alam, melindungi keanekaragaman hayati, gaya hidup hijau juara dan hindari jalan lama memberi tanpa mengambil dari Bumi”.
Dalam konteks itu, ia menggambarkan perubahan iklim sebagai isu pembangunan, mendesak dunia internasional komunitas untuk mendukung negara berkembang, negara kurang berkembang dan pulau kecil berkembang negara-negara dalam menerapkan langkah-langkah mitigasi dan adaptasi.
Menarik jika kita mencermati pula apa yang disampaikan Nisreen Elsaim, seorang Ketua Organisasi Pemuda Perubahan Iklim dan Kelompok Penasihat Pemuda PBB, dalam press release Dewan Keamanan PBB 23 Februari 2021 mengatakan bahwa dalam resolusi Dewan 2018 tentang Sudan, para anggota mengakui kerugian akibat dampak perubahan iklim, perubahan ekologi dan bahaya alam pada situasi di Darfur, dengan fokus khususnya pada kekeringan, penggurunan, degradasi lahan dan kerawanan pangan. Menurut Nisreen Elsaim, Kelangsungan hidup manusia, dalam situasi degradasi sumber daya, kelaparan, kemiskinan dan migrasi iklim yang tidak terkendali, akan membuat konflik hasil yang tak terelakkan. Selain itu, keadaan darurat terkait iklim menyebabkan gangguan akses terhadap kesehatan, layanan kesehatan seksual dan reproduksi yang menyelamatkan jiwa, dan mengakibatkan kerugian mata pencaharian dan mendorong perpindahan dan migrasi. Mereka juga meningkatkan risiko berbasis gender kekerasan dan praktek-praktek berbahaya dan memaksa kaum muda untuk melarikan diri untuk mencari kehidupan yang layak.
Berdasarkan pemaparan-pemaparan diatas maka dari itu, perubahan iklim dapat dikatakan salah satu ancaman paling besar bagi umat manusia kini dan masa depan. Perubahan iklim sangat mengancam keberlangsungan lingkungan, mengintai stabilitas ekonomi serta berpeluang memicu timbulnya perang baru.
Berdasarkan data Climate Change Performance Index (CCPI) 2021, Negara Indonesia penyumbang emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dengan skor sebesar 21.39 yang menduduki peringkat 30 kategori overall rating medium. Menurut NDC Indonesia, sekitar 63% emisi berasal dari kegiatan alih guna lahan dan kebakaran hutan dan lahan, dengan tambahan 19% dari kegiatan bahan bakar minyak. Dalam NDC Indonesia juga disebutkan bahwa sektor yang paling berkontribusi mengeluarkan emisi adalah sektor LUCF (land use-change and forestry), termasuk kebakaran lahan gambut, yakni sebesar 47,8% dan disusul oleh sektor energi yakni sebesar 34,9%. Dengan adanya data yang termuat dalam NDC Indonesia mengenai sektor yang berkontribusi mengeluarkan emisi gas rumah kaca, terlihat jelas bahwa Indonesia dihadapkan dengan permasalahan serius dalam kegiatan alih guna hutan dan lahan. Terkait dengan gambut, Indonesia sendiri dalam NDC-nya mencantumkan salah satu upaya mitigasinya yakni dengan kegiatan restorasi lahan gambut. Restorasi lahan gambut di Indonesia ditargetkan mencapai 2 juta hektar pada tahun 2030.
Sementara itu diketahui, bahwa Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi GRK pada tahun 2030 sebesar 29% dengan kemampuan sendiri dan sampai dengan 41% bila dengan dukungan internasional. Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara sendiri, otonomi dan kewenangan daerah dalam memberikan perizinan dan pengawasan pertambangan dihapus dan diberikan kepada Pemerintah Pusat. Selain itu pengesahan UU Minerba ini diprediksi akan mendorong investasi energi fosil batu bara yang tinggi karbon dengan peningkatan eksplorasi, dimana menjadi kontradiktif dengan target penurunan emisi GRK Indonesia.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja juga memiliki permasalahan lingkungan. Antara lain terkait pelemahan instrumen perizinan lingkungan, seperti dihapusnya istilah Izin Lingkungan dan diganti dengan istilah persetujuan lingkungan sehingga mengurangi esensi adanya Izin Lingkungan sebagai alat kontrol terhadap kewajiban pengelolaan lingkungan Pelemahan perizinan lingkungan juga dapat dilihat pada pembatasan partisipasi di Amdal UU Cipta Kerja. Selain itu pengaturan mengenai strict liability dan pengaturan minimal 30% kawasan hutan dihapus. Adanya pengaturan yang melemahkan instrumen lingkungan hidup dalam UU Minerba dan UU Cipta Kerja seperti yang telah dijelaskan, akan berpotensi tidak sejalan dengan target penurunan emisi GRK Indonesia. Padahal seharusnya kebijakan dalam era pemulihan ekonomi nasional pasca pandemi ini, harus mendorong pemulihan dan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan yang mengurangi kemungkinan terjadinya krisis di masa depan akibat dari perubahan iklim.
*) Penulis, Muhammad Fadli Efendi, S.H.Mahasiswa Pascasarjana Program Magister Ilmu Hukum Universitas Brawijaya & Peneliti Skema Institute
Advertisement
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
***
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Yatimul Ainun |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |