Kopi TIMES

Pro Kontra Santri Tutup Telinga dan Fenomena Matinya Kepakaran

Jumat, 17 September 2021 - 12:06 | 124.06k
Moh. Syaeful Bahar.
Moh. Syaeful Bahar.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Beberapa hari yang lalu saya sempat mengikuti sebuah webinar yang diselenggarakan oleh Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya tentang Gerakan Dakwah Salafi dan Fenomena Matinya Kepakaran. Tentu webinar ini menarik, menggairahkan dan penting untuk diikuti. Bukan hanya karena nara sumber yang dihadirkan adalah mereka yang expert di bidangnya, namun juga karena alasan kebutuhan yang mendesak. Terutama tentang fenomena matinya kepakaran. Tentang realitas masyarakat awam yang dikuasai dan sekaligus menguasai media sosial, yaitu mereka yang menjadi korban berita-berita bohong (hoax) di satu sisi, namun di sisi yang lain, di saat yang lain, mereka juga aktif  mereproduksi hoax-hoax baru.

The Death of Expertise

“Sekarang, kalau di stadion ada 50 ribu penonton sepakbola, maka sebanyak 50 ribu itu pakar sepakbola. Semua bisa bikin opini dan menyebarluaskannya”, kata Bre Redana, seorang jurnalis dan sastrawan senior di sebuah acara workshop yang digagas oleh Puslitbang Film Kemendikbud beberapa tahun yang lalu.

Advertisement

Ungkapan Bre Redana ini menjadi gambaran sempurna tentang fenomena masyarakat hari ini. Semua orang, merasa memiliki ilmu yang cukup, pengetahuan dan keterampilan yang mumpuni sehingga mereka percaya diri untuk ikut berkomentar dan membuat opini tentang sesuatu yang sebenarnya mereka tak benar-benar tahu tentang sesuatu tersebut. Dengan mudah dan murah, mereka aktif berkomentar dan membuat opini di berbagai platform media sosial.

Adalah Tom Nichols yang menulis tentang matinya kepakaran. Dalam bukunya yang berjudul The Death of Expertise, Nichols menyatakan bahwa era digital dapat menyeret ummat manusia pada jurang “kebodohan” dengan cara  meninggalkan para pakar dan menggantikannya dengan berbagai informasi yang berserakan di internet, berbagai informasi  yang serba instan dan dangkal.  Parahnya, kecenderungan menjadi bodoh ini, tidak hanya memapar masyarakat awam, tapi juga menjangkiti para pemimpin politik di berbagai belahan dunia.

Donald Trump, mantan presiden Amerika Serikat adalah salah satu pemimpin negara yang dituduh memupuk matinya kepakaran. Donald Trump ditengarai seringkali membuat kebijakan tanpa proses analisis dan kajian yang mendalam. Kajian saintifik yang melibatkan para pakar. Atas dasar keangkuhan, Trump dinilai meninggalkan para pakar yang expert di bidangnya.

 Para pemimpin politik, sebagaimana Trump, dianggap lebih senang dan lebih mengutamakan popularitas demi mendapatkan insentif electoral di saat pemilu dari pada mengikuti rekomendasi para pakar. Para pemimpin politik itu, tak lagi peduli dengan dampak jangka panjang atas kebijakan yang dibuat. Bagi mereka, selama kebijakan itu dapat memuaskan masyarakat luas, meskipun memiliki resiko jangka panjang bagi masyarakat luas dan bagi negara, mereka tak peduli, terpenting, mereka kembali dipercaya, kembali menang dan berkuasa.

Menurut Tom Nicols, ada beberapa factor penyebab yang mengiringi lahirnya fenomena matinya kepakaran. Di antaranya, adalah internet. Internet dituduh telah mengantarkan semua orang menjadi serba instan dan aktif berpendapat di media sosial. Semua orang menjadi mudah, murah dan bebas membuat penilaian dan kesimpulan tentang sesuatu yang sebenarnya mereka benar-benar tak mengetahui persoalan yang dinilainya. Mereka tak tahu detail persoalan, bahkan mereka tak memiliki keterampilan yang cukup untuk sekadar mengetahui dan memahami kebenaran informasi yang dikomentari dan dinilainya. Tapi dengan internet, mereka semua bisa beropini, bisa menilai dan bahkan menghakimi para pakar dengan kesimpulan-kesimpulan yang menyesatkan. Karena internet, seringkali para pakar kalah “pengaruh” oleh mereka yang bukan pakar namun lebih aktif menguasai media social. Masyarakat lebih banyak mempercayai mereka yang bukan pakar dibandingkan para pakar.

Beberapa orang nitezen yang sama sekali tak tahu tentang Islam, dapat dengan mudah menuduh beberapa ulama yang sudah tak lagi diragukan kepakarannya sebagai ulama sesat. Misal, tuduhan kepada Prof. Qurais Shihab, Prof. Nadhir Syah Hoesen dan Prof. Said Aqil Siradj. Semua tuduhan tersebut adalah bukti betapa orang awam dapat dengan mudah menilai dan menuduh para ulama yang sudah diakui kepakarannya tersebut. Padahal, semua tuduhan tersebut tidak memiliki landasan konseptual-teoritis yang sahih, tak diiringi refrensi yang sahih, bahkan hampir bisa dipastikan dangkal dan penuh tipu muslihat.

Selain internet, Tom Nichols juga menuduh media sebagai salah satu factor yang mendorong semakin cepatnya fenomena matinya kepakaran terjadi di dunia modern. Menurutnya, media tak lagi mempertimbang etika jurnalistik demi hanya mengejar rating dan trending. Berbagai informasi atau peristiwa yang bernilai sensasional dan akan lebih dinilai berbobot “berita” dibandingkan dengan berbagai informasi atau peristiwa yang lebih penting. Angle berita senantiasa mengedepankan kehebohan dibandingkan tawaran solusi. Nara sumber yang diburu adalah mereka yang hanya bisa membakar suasana menjadi lebih panas dibandingkan para pakar yang memiliki orientasi memecahkan solusi.

Posisi media yang tak ideal ini, semakin parah dengan munculnya orang-orang genit yang selalu merasa tahu tentang semua hal, padahal dirinya sama sekali tak tahu persoalan. Mereka adalah orang-orang gila panggung yang tak tahu cara menghormati kepakaran. Selama mereka dapat “manggung”, mereka dapat menghiasai media, komentar dimuat, dikutip oleh wartawan, mereka dengan bangga menepuk dada. Padahal, komentar dan pendapatnya dapat menyesatkan karena tak memiliki kualitas dan validitas yang terukur secara saintifik.

Matinya Kepakaran dalam Kasus Santri Menutup Telinga

Pendapat Tom Nicols tentang matinya kepakaran ini dapat kita saksikan secara nyata dalam banyak kasus di tanah air, terbaru adalah kasus santri tutup telinga. Berita ini cukup viral. Menghebohkan. Bahkan menyeret banyak tokoh nasional ikut berkomentar. Berita santri tutup telinga ini menjadi liar dan melahirkan pro dan kontra yang tak berkesudahan. Ironis namun juga menggelikan. Ironis karena silang pendapat yang terjadi tidak lagi penting, tidak substansial, tapi sangat artificial. Menggelikan, karena semua yang berkomentar adalah para badut yang tak mewakili kebenaran tapi lebih mengedepankan kepentingan.

Pro dan kontra lahir karena sudut pandang yang dibangun memang berbeda, meskipun memiliki kelemahan yang sama, yaitu kedua kelompok yang berseteru bukan pakar yang mumpuni untuk memberikan komentar dan penilaian atas kasus santri tutup telinga ini. Yang pro tak dibekali ilmu yang cukup, yang kontra juga tak memiliki ilmu yang cukup. Dua-duanya tanpa ilmu.

Kelompok yang kontra dan nyinyir atas prilaku santri, adalah kelompok yang tak pernah tahu bagaimana dunia pesantren, para santri dan para huffadh (penghafal al Qur’an) berjuang mempelajari al Qur’an, menghafal dan mempertahankan hafalannya. Mereka tak tahu, bahwa menghafal al Qur’an dan menjadi santri adalah pekerjaan yang tak mudah, yang tak hanya bisa mengandalkan kekuatan otak semata, tapi yang lebih penting dari kekuatan otak adalah kebersihan hati dan keihlasan jiwa.

Kebersihan hati, ketenangan jiwa dan konsentrasi adalah prasyarat utama bagi santri. Karena itu, mereka senantiasa berusaha meninggalkan semua perbuatan yang dapat merusak kebersihan hati, ketenangan jiwa dan konsentrasi mereka. Salah satunya adalah music. Bagi sebagian santri, musik dapat membuat mereka terlena, melupakan tuhan dan mencerabut mereka pada konsentrasi belajarnya, sehingga, musik-musik yang dapat melalaikan itu, mereka hindari dan dihukumi haram.

Kelompok yang pro para santri juga terlalu terburu nafsu menghakimi. Dengan membabi buta mengharamkan musik. Menilai panitia sebagai kelompok kiri yang tak membela agama. Apalagi diseret-seret dalam ranah politik praktis dengan mengatakan bahwa pemerintah terjangkit islamophobia akut dan selalu menyudutkan ummat Islam. Semua tuduhan ini juga terlalu dangkal. Mungkin saja tuduhan itu tak pernah dikonfirmasi pada pelaksana vaksinasi. Padahal, sangat mungkin, tujuan pemutaran musik tersebut adalah untuk menjadikan suasana lebih rileks.

Kesalahpahaman dan pro kontra terkait video santri tutup telinga yang viral ini, sekali lagi, menguatkan pendapat Tom Nicols tentang matinya kepakaran. Bagi mereka yang belajar agama dengan benar, tentu tak akan pernah mempersoalkan persoalan santri tutup telingan ini. Kenapa? Karena memang bukan masalah penting yang perlu diperdebatkan panjang lebar. Bukan hal yang substansial.

Substansi dalam Islam bukan pada musiknya, tapi pada bagaimana music itu akan berdampak pada posisi kehambaan kita di hadapan tuhan. Jika dengan bermusik justru kita akan semakin dekat dengan tuhan, maka musik tak akan menjadi masalah dalam agama. Buktinya, banyak sekali tokoh sufi yang memilih bermain musik untuk mendekatkan diri pada tuhan. Misal Jalaluddin Ar Rumi, seorang sufi yang sangat terkenal. Atau, contoh yang lain, tokoh sufi di tanah air, yaitu  Maulana Habib Lutfi Pekalongan.  Bukan rahasia umum, Habib Lutfi memainkan berbagai alat music untuk mengiringi ritual dan mengantarkannya lebih dekat pada Allah swt.

Namun, ketika musik akan menjauhkan kita dari Allah, menjadikan kita lalai dan melupakan tuhan, maka, musik menjadi haram. Beberapa ulama terdahulu bahkan ulama-ulama tanah air kontemporer mengharamkan musik. Gus Baha (KH. Bahauddin Nur Salim) adalah satu ulama yang mengharamkam music.

Pertanyaan akhirnya, apakah Gus Baha dan Habib Lutfi pernah saling serang untuk hanya sekadar untuk menyatakan bahwa posisinya adalah yang paling benar? Tentu tidak, itu tak akan pernah terjadi. Kenapa? Karena mereka berdua, Habib Lutfi dan Gus Baha adalah para pakar yang memahami dengan detail tentang bagaimana beragama yang baik.

 

*) Penulis: Moh. Syaeful Bahar, Dosen UIN Sunan Ampel dan Wakil Ketua PC. NU Bondowoso

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES