Efektivitas Ujian Tulis Versus Ujian Lisan dan Praktik

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Evaluasi merupakan langkah untuk melihat hasil dari sekian panjang sebuah kegiatan belajar-mengajar dilaksanakan. Kegiatan ini menjadi tolok ukur apakah pembelajaraan selama ini sudah sampai pada target pencapaian standar ajaran atau tidak. Sehingga menjadi pertimbangan apakah langkah –langkah yang dilakukan atau yang diambil selama ini memenuhi tujuan pendidikan. Atau perlukah pembenahan metode maupun yang lainnya.
Evaluasi memiliki beberapa jenis. Diantaranya evaluasi secara tertulis atau biasa di sebut ujian tulis dan evaluasi lisan maupun praktik. Evaluasi tulis sering dilakukan dengan cara menjawab soal-soal secara tertulis baik isian maupun pilihan ganda. Sedangkan evaluasi secara lisan biasanya dilakukan dengan cara memberi soal kepada peserta uji kemudian langsung dijawab secara lisan. Adapun praktik yakni evaluasi yang dilakukan dengan cara penerapan ilmu secara langsung. Contohnya kelas otomotif melakukan ujian praktik dengan cara mengotak - atik langsung pada objeknya, yakni sepedah motor, mobil, ataupun yang lainnya.
Advertisement
Dua evaluasi tersebut pada praktiknya memiliki beberapa kekurangan dan kelebihan. Pada evaluasi model tulis, peserta cenderung tidak menampilkan dirinya sendiri. Dan lemahnya pengawasan pada saat ujian berlangsung juga sangat mempengaruhi hasil dari evaluasi ini. Banyak sekali kecurangan-kecurangan yang bisa terjadi. Pada ujian-ujian penting negara pun banyak kasus-kasus yang sudah menjadi rahasia umum.
Ujian nasional misalnya. Sudah banyak yang tahu mengenai beredarnya kunci jawaban. Bahkan sudah menjadi peluang bisnis bagi oknum-oknum tertentu. Dan ini masih lancar terjadi. Padahal hasil dari ujian nasional sangat berpengaruh terhadap kelanjutan pendidikan peserta didik. Meskipun saat ini sistem sudah berubah. Mengingat masih banyak ujian-ujian tulis di laksanakan. Maka tidak menutup kemungkinan-kemungkinan seperti yang telah terjadi.
Ujian praktik dan ujian lisan pun memiliki beberapa kelemahan. Diantaranya memerlukan lebih banyak waktu, tenaga, dan tempat jika di bandingkan dengan ujian tulis. Bisa di bayangkan jika ujian tulis satu hari hanya butuh satu ruangan, satu atau dua pengawas dan semisal 60 menit untuk menguji 30 orang. Sedang pada ujian praktik atau lisan, untuk menguji 30 orang harus menambah waktu atau orang atau ruangan.
Beberapa evaluasi di atas, yakni lisan dan tulisan memanglah mempunya kelemahan dan kelebihan masing-masing. Namun yang sangat popular dan banyak di gunakan di Negara ini adalah ujian tulis. Sangat disayangkan oleh penulis.
Berdasarkan pengalaman. Penulis mempunyai kesan buruk pada ujian tulis. Dilingkungan seringkali terjadi, mungkin tidak hanya di lingkungan penulis. Namun bisa saja terjadi di lingkungan lainnya. Yang pintar akan kalah nilainya dengan yang kurang menguasai materi. Yang ngawur nilainya lebih besar dari yang benar-benar menguras energinya untuk mengingat-ingat materi. Yang jujur (tidak mencontek) tertindas oleh yang menyelipkan jawaban di dalam laci. Yang ngoyo ( bahasa jawa : bekerja keras) presentasi akan kalah dengan yang unggul di ujian tulis sebab jawaban dari internetan.
Betapa perlu dipertanyakan ke efektivitasan dari evaluasi selama ini. Pendidikan di Negeri ini tidak lagi berusia belia. Banyak kampus-kampus tua dan sekolah-sekolah yang sudah tidak lagi muda. Berarti membuktikan bahwa seharusnya evaluasi sudah tidak hanya menjadi formalitas semata. Atau pelengkap system sesuai dengan teori-teori yang dianut agar gugur kewajiban dan lengkap diakui sebagai pendidikan.
Namun penyakit manusia berupa curang, yang penting tenang, apalagi yang penting uang masih terus saja tumbuh subur atau paling tidak tetap lestari. Lebih-libih ikut terdidik selama ini. Makin lihai, makin tidak merasa bersalah, atau bahkan menjadi budaya. Dianggap biasa, karena bapaknya, kakeknya, nenek moyangnya juga tetap bisa tertawa, bisa hidup bahagia, tidak kurang rezekinya, meskipun dulu ujian tulis dengan mencontek, beli jawaban, ataupun kecurangan yang lebih tidak di perhitungkan.
Timbul pertanyaan, untuk apa evaluasi dilakukan. Apakah evaluasi hanya formalitas saja? Ataukah evaluasi kehilangan marwahnya karena kepentingan manusia belaka? Atau biar saja pendidikan ini dievaluasi dengan apa adanya? Toh yang hidup tetap bernafas. Dan yang sekolah akan tetap memakai seragam dan membayar bulanan.
***
*)Oleh: Khoiriyah, mahasiswa-santri Tadris Bahasa Indonesia Institut Agama Islam Darussalam Blokagung Banyuwangi.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Ronny Wicaksono |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |